DENGAN interval 11 tahun, sejenis flu dari tipe yang tak dikenal telah menggarap dunia secara besar-besaran. Penyebarannya di Asia-Pasifik terjadi tahun 1934, 1946, 1957, dan 1968. Pada ledakan tahun 1980, penyakit tak berbahaya namun menjengkelkan itu bahkan mencapai Eropa. Tahun lalu para peneliti di Amerika Serikat menemukan, virus tersebut sudah berimigrasi pula ke Benua Amerika. Maka bila terjadi pandemi alias wabah sejagat di sekitar tahun 1990 mendatang, kuat dugaan seluruh planet bumi bisa kejangkitan flu. Dari pengamatan pola pandemi pada tahun 1968 dan 1980, bisa diketahui sumber flu itu berada di sekitar Hong Kong karena itu diberi nama flu Hong Kong. Penyebabnya ternyata virus ganjil. Kendati tergolong rhinovirus seperti 300 varian virus influensa lainnya, virus penyebab flu Hong Kong mempunyai susunan genetik yang berbeda. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan, tubuh manusia tak bisa melacak dan mengenalinya. Soalnya, sistem pertahanan tubuh tak bisa mengidentifikasi antigen (racun) virus itu. Akibatnya, ketika virus ini menyerang, tubuh sama sekali tidak memroduksi antibodi untuk melawannya. Muncul dugaan, virus penyebab flu Hong Kong adalah hasil mutasi genetik. Rekaan ini ternyata benar. Kepastian datang dari hasil penelitian Organisasi Pangan Sedunia (FAO), yang diumumkan Juli lalu. Menurut para peneliti FAO (Food and Agriculture Organisation), sumber virus flu Hong Kong adalah peternakan unggas, babi, dan ikan, yang memang banyak di Cina Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara Asia Tenggara. Semula para peneliti menemukan sejenis virus aneh pada unggas air -- itik, angsa, dan belibis. Jenisnya rhinovirus dan mirip virus influensa. Ia tidak menimbulkan penyakit di kalangan unggas air. Dari percobaan terungkap, virus ini bahkan tidak menyerang manusia. Namun, ada yang menarik perhatian. Sang virus membawa gen haemaglutinin, yang juga ditemukan pada virus penyebab flu Hong Kong. Pada unggas air, virus pembawa haemaglutinin ternyata hanya menumpang berkembang biak untuk kemudian lepas ke air tambak dan kolam-kolam ikan. Ada dugaan, virus ini kemudian berkembang biak dalam tubuh ikan. Lalu lepas lagi ke air masuk ke ternak babi. Pada ternak babi terjadi pencampuran genetik yang melahirkan virus baru. Gen haemaglutinin yang dibawanya terpotong, lepas, kemudian terikat pada struktur genetik virus influensa yang terdapat dalam tubuh babi. Ternyata, inilah virus flu Hong Kong, yang oleh para peneliti FAO disebut virus influensa A. Selain menular dan menimbulkan penyakit pada ternak babi, ia juga menyerang manusia. Bahkan menyebar ke seluruh dunia. Mengapa dari Hong Kong dan Cina Selatan? FAO menemukan bahwa di kedua kawasan ini peternakan unggas air, ikan, dan babi praktis disatukan. Peternakan itik biasanya ditempatkan di atas kandang-kandang babi, supaya kotoran dan sisa makanannya bisa menjadi makanan ternak babi. Kedua peternakan tersebut ditempatkan separuh menggantung di atas kolam-kolam, tempat ikan dibudidayakan. Tujuannya tak lain agar kotoran kedua jenis ternak itu bisa menjadi makanan ikan. Peternakan terpadu inilah yang memungkinkan virus influensa A terbentuk dalam waktu singkat, dan juga berkembang biak dengan cepat. Ancaman pandemi flu yang ngumpet di balik peternakan terpadu itulah yang merupakan masalah pelik bagi FAO. Organisasi dunia ini memperkirakan, Asia di masa mendatang akan menjadi penyuplai bahan makanan terbesar di dunia. Namun, karena lahan pertanian dan peternakan di kawasan ini terdesak ledakan penduduk, dicari terobosan. Itulah konsep aquaculture. Programnya dikenal sebagai Revolusi Biru. Dalam pelaksanaannya, revolusi itu akan terjadi lewat rekayasa lahan peternakan dan pertanian, yang dirancang menggantung di daerah pesisir. Tapi kini konsep itu mendapat tantangan lain: pandemi flu. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini