Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Menunggu kebangkitan islam

Seminar tentang kitab keagamaan di masjid istiqlal jakarta. munawir mengungkapkan adanya tekad menjadikan abad ke-15 h nanti sebagai abad kebangkitan islam yang berdampak positif dalam penerbitan kitab.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL Muharam sebagai pembuka Tahun Baru 1409 Hijri, di Masjid Istiqlal Jakarta, disambut dengan seminar. Acara pekan lalu itu mengerek tema tentang lektur keagamaan. "Kita rayakan sesuai dengan cara Islam," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali. Mengenai lektur Islam, setahun lalu ia sudah bicara dalam diskusi Buku Agama, yang diselenggarakan Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi TEMPO di Pekan Raya Jakarta. Munawir mengungkapkan adanya tekad menjadikan abad ke-15 Hijri nanti sebagai Abad Kebangkitan Islam, yang juga berdampak positif dalam penerbitan kitab. Dan itu, ujarnya lagi, ditandai dengan kembali timbul hasrat ingin "lebih tahu" tentang Islam (TEMPO, 22 Agustus 1987). Semua seperti mengharap kebangkitan itu, antara lain dengan mengkaji kembali lektur yang tersedia. Dan itu ngetrend sejak 1987. Buktinya, dari 7.241 buku yang terbit di Indonesia dalam 7 tahun terakhir, 1.149 judul buku bertema agama. Dari jumlah yang ini, lebih dari 70,5% mengenai Islam (selebihnya Kristen 26%, Hindu dan Budha 3,5%). Belum bisa dipastikan apakah benar di tengah umat kini tumbuh semangat untuk tahu "lebih" tentang agamanya atau agama lain. Tapi tidak mustahil jika indikasi itu menunjukkan bahwa umat, terutama di kota-kota, merasa belum puas pada majelis taklim, da'i, atau kecewa pada khatib Jumat yang khotbahnya sering tak menarik. Tapi di seminar dua hari itu, dari enam makalah yang disajikan, soal di atas tak diungkap. Sedangkan Profesor Dr. Harun Nasution lalu menguraikan lektur keagamaan yang tujuh aspek, dan cabangnya 22 aliran dalam Islam. Dan di Indonesia katanya, yang berkembang masih terbatas pada urusan teologi, ibadat, muamalat, politik, serta tasawuf. Bahkan itu baru pada aliran Asy'ariyah, Syafi'iyah, dan Suni. "Lektur ini menggambarkan pemikiran yang tradisional. Bukan rasional, filosofis, dan ilmiah," kata dekan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta itu. Akibatnya, pandangan umat statis alias jabariyah. Karena terikat pada takdir dan tradisi lama, maka timbul sikap menjarak. Mereka, selain berpegang ke sumber Quran dan Hadis, bahkan terus bertahan pada ijtihad ulama masa silam. Padahal, di tengah umat malah sudah ada yang tinggi minatnya mencari informasi ke sumber agama. "Islam sebenarnya agama yang memberi penghargaan tinggi pada akal dan ilmu pengetahuan," ujar Harun. Dan menurut dia, antara agama dengan sain, di abad ke-20 ini, terdapat pula kesenjangan. Karena itu, kitab-kitab klasik karya ulama rasional segera diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Karya dimaksud, katanya, selain mempersempit kesenjangan, sekarang banyak peminatnya. Misalnya Rasail (Surat-Surat) karya Ikhwan al-Shafa (artinya Persaudaraan Suci). Ini kelompok studi filsafat bawah tanah di abad ke-12. Jumlah anggota kelompoknya tak jelas, tetapi mereka berhasil mengantisipasi kebobrokan di masa Daulah Abasiyah. Mereka berani mengembangkan ide evolusi dan menyimpulkan: manusia itu tumbuh dari kera. Pendapat ini serupa dengan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah. Cuma masih sedikit ulama mengenal pemikiran evolusi dalam Islam seperti disebut di atas. Itu tampak kalau mereka berpolemik terutama mengenai muasal Adam. Padahal evolusionisme yang dikembangkan Charles Darwin, di Barat, dasarnya melanjutkan pemikiran ulama muslim. Bedanya: Darwin tidak mengaitkan idenya ke Tuhan, Sang Pencipta. Di masa lalu, jika hendak ditelusuri kitab-kitab klasik semacam itu, tak kurang mengandung ide yang dianggap kontroversial. Contohnya, Ibn Arabi, yang menyebut iblis juga berhak masuk surga. Sebaliknya, Ibn Taymiyyah, yang dikatakan pembaru itu, mengharamkan kimia. Sementara itu, di Nusantara, ketika bersamaan runtuhnya bulan sabit di Andalusia (Spanyol) banyak karya besar dalam keagamaan. Menurut Dr. Hasan Muarif Ambary, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, karya itu berpengaruh hingga ke Semenanjung Melayu dan Pattani di Siam Selatan sejak abad ke-13. Ada juga lektur agama (yang klasik) diterjemahkan ke bahasa Melayu dan Jawa. Ajaran suluk karya Syeikh Bahri atau Sunan Bonang, contohnya, diterjemahkan dari seberkas pikiran al-Ghazali. Hal yang sama dilakukan Syeikh Arsyad al-Banjari. Mirip dengan Syeikh Siti Jenar di Jawa yang mengajarkan paham ana al-Haq (Aku Tuhan), yang dihukum bakar oleh Wali Songo, Syeikh Abdul Hamid Abuleng dari Banjar divonis hukuman pancung oleh Syekh Arsyad. Sebuah manuskripnya membuat dia dituduh mengembangkan panteisme. Dan serupa al-Hallaj dari Baghdad, ketika pengadilan Abdul Hamid menolak disebut namanya. "Tak ada Abdul Hamid. Yang ada hanya Tuhan," katanya. Di Aceh, misalnya, Hamzah Fansyuri bukan cuma mengarang Syair Perahu. Dari dia lahir Asrarul-arifinfi dayan ilm al-suluk ma'l Tahwid, mengenai sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Fansyuri bersama muridnya, Syamsuddin Samathrani dari Pasai (antara lain menulis Jauharul Haqaiq, Permata Utama) dengan paham tasawuf wahdatul-wujud-nya berhadapan dengan kubu Nuruddin al-Raniri. Selain kitab-kitabnya dibakar dan isinya diharamkan, paham mereka diganyang oleh al-Raniri dengan bukunya Shiratal Mustaqim. Pada masa itu di Indonesia memang meriah berkembang pemikiran yang lebih bebas. Apa itu lahir dari pergulatan -- atas nama peradaban -- yang mungkin bukan karena didorong "ingin lebih tahu" saja. Ahmadie Thaha & ZMP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus