Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit difteri berstatus kejadian luar biasa di Indonesia saat ini. Sabtu pagi pekan lalu, Fachrijal, 25 tahun, mengeluh demam sebelum berangkat kerja. Namun, kepada istrinya, Wika Kharisma, Fachrijal mengatakan tetap ingin berangkat kerja sebagai office boy di sebuah sekolah di Depok, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wika mengungkapkan, suaminya bahkan sempat makan bakso dan gorengan di tempat kerja. Sepulang kerja, demam Fachrijal bertambah tinggi. Matanya berair, dan ia susah menelan makanan. "Dia uring-uringan semalaman," kata Wika kepada Tempo di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin 11 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keesokan paginya, Wika mengantarkan suaminya ke Rumah Sakit Umum Daerah Depok. Rumah sakit itu lalu merujuknya ke RS Permata Depok karena curiga suaminya terjangkit difteri. Ternyata benar, dokter RS Permata Depok mendiagnosis suaminya terkena penyakit itu sehingga harus mendapat perawatan intensif di RSPI Sulianti Saroso, yang khusus menangani penyakit menular. Baca: Malas Bersihkan Riasan Wajah, Awas Infeksi Mata dan 4 Dampak lain
Sudah tiga hari ini suaminya diisolasi di ruangan khusus di RS tersebut. "Kondisinya sudah membaik. Kata dokter, seminggu lagi boleh pulang," ujar Wika.
Selain Fachrijal, sebanyak 33 pasien penderita difteri dirawat di ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso. Pasien pun berdatangan dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, yang rumah sakitnya kewalahan menangani pasien penyakit akibat bakteri itu. Hingga kemarin, dari 33 pasien, 22 di antaranya merupakan anak balita berusia 1-4 tahun. Baca: Foto Setya Novanto Buat Pria ini Sadar Menderita Sleep Apnea
Difteri adalah penyakit menular akibat bakteri yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan. Penyakit ini menyebabkan kematian karena bakteri menyumbat saluran pernapasan, menimbulkan komplikasi miokarditis atau radang pada dinding jantung bagian tengah, dan berakhir dengan gagal ginjal serta gagal sirkulasi. Gejalanya adalah demam hingga 38 derajat Celsius, munculnya selaput putih di tenggorokan, rasa sakit saat menelan, leher membengkak, serta sesak napas dan suara mengorok. Baca: Setya Novanto Menderita Sleep Apnea? Simak Gejalanya
Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah lewat program imunisasi wajib difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) yang diberikan kepada anak secara bertahap sejak berusia dua tahun. Namun, menurut Kementerian Kesehatan, kasus ini kembali merebak karena sebagian orang tua menolak anaknya diimunisasi dengan alasan keagamaan maupun hal lainnya. Data Kementerian menyebutkan, 66 persen penderita difteri belum menjalani imunisasi.
Akibatnya, Senin 11 Desember, Kementerian Kesehatan dan tiga provinsi serentak menggelar imunisasi ulang untuk menangkal penyebaran difteri lewat program Outbreak Response Immunization (ORI). Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mencatat, pada hari pertama pelaksanaan ORI, puluhan ribu anak disuntik vaksin. Berikut adalah peta daerah dan jumlah anak yang mendapatkan program ORI:
Difteri sebenarnya bukan penyakit baru di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah berhasil mengeliminasi penyakit difteri dari Tanah Air pada 1990 di mana program imunisasi ramai digalakkan pemerintah, termasuk imunisasi difteri yang diberikan pada bayi baru lahir. Namun penyakit difteri kembali muncul pada tahun 2009, dan secara bertahap jumlahnya meningkat dalam beberapa tahun hingga yang terjadi pada saat ini.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan mengatakan faktor yang menyebabkan difteri kembali muncul dan mewabah di Indonesia ialah menurunnya imunitas suatu kelompok yang diakibatkan dari beberapa hal. Beberapa hal tersebut antara lain adanya program imunisasi yang tidak lengkap, program imunisasi yang tak tercapai sempurna, adanya gerakan anti vaksin di masyarakat, tidak adanya pelaksanaan vaksin tiap kurun waktu 10 tahun saat dewasa, dan kesadaran masyarakat yang sangat kurang tentang bahaya penyakit difteri. Baca: Akhir Tahun Changi Airport Sajikan Nuansa Hello Kitty
Alasan lain orang tua enggan memberikan imunisasi secara penuh adalah agama. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Huzaemah Tahido Yanggo mengatakan ada orang tua yang khawatir bahwa kandungan vaksin untuk imunisasi belum halal. Untuk mengantisipasinya, kata Huzaemah, pada 2016 kandungan vaksin untuk imunisasi diteliti Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM) lalu disidangkan oleh anggota komisi fatwa MUI yang terdiri lebih dari 60 orang. "60 orang tim fatwa ini memiliki latar belakang syariah semua, dan Hukum Islam. Selain itu, ada pula perwakilan dari organisasi masyarakat Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,” katanya.
Hasil sidang fatwa itu menyebutkan hukum vaksin untuk imunisasi dibolehkan, bukan dihalalkan. “Pemberian vaksin imunisasi ini al-Dlarurat dan al Hajat, kalau tidak diimunisasi, akibatnya itu bisa lumpuh, cacat atau meninggal," katanya. Baca: Tempat Kerja Jauh Picu Gangguan Jiwa, Cek 3 Solusinya
Dalam fatwa MUI dengan nomor 04 Tahun 2016 tentang imunisasi, tertulis bahwa MUI memutuskan bahwa vaksin imunisasi termasuk imunisasi dasar untuk penyakit difteri bersifat al - Dlarurat yang artinya kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Al Hajat artinya kondisi keterdesakkan yang apabila tidak diimunisasi maka akan menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
Difteri bisa efektif dicegah dengan vaksin apabila capaian imunisasi mencakup 95 persen dari yang ditargetkan. Ketika cakupan imunisasi mencapai 95 persen maka akan terbentuk kekebalan kelompok di mana bakteri tidak bisa berkembang. Secara otomatis, 5 persen yang tidak divaksin akan terlindungi dari 95 persen penduduk yang imun terhadap difteri. Baca: Sukses di Box Office, Ini Keistimewaan Film Coco
Sebaliknya saat cakupan dari kekebalan kelompok itu menurun, di situlah bakteri penyebab penyakit difteri bisa menyerang, termasuk kepada orang-orang yang sudah divaksin.