Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismiyani dan Istilahani berdiri sambil berkacak pinggang. Dua ibu paruh baya ini lalu melakukan gerakan dari senam poco-poco dan sesekali saling mengingatkan pada bagian yang terlupa. "Ini silang dulu kakinya, ya, Bu Isti," kata Ismiyani menegur rekannya.
Kegiatan yang dilakukan di ruang Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta pada awal Mei itu bukan senam poco-poco biasa. Beragam gerakan senam yang sudah dimodifikasi mereka lakukan untuk mencegah ancaman alzheimer. Sudah setahun mereka melakukannya, lalu sempat terhenti. Kini kedua ibu itu ingin memulainya kembali karena tak ingin terserang penyakit yang mengganggu sel otak tersebut.
Poco-poco dapat menangkal alzheimer, tentu itu bukan pendapat mereka. Ini adalah hasil penelitian dokter Ria Maria Theresa, yang dilakukan untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada sidang 22 April lalu, Ria berhasil mempertahankan desertasinya berjudul "Intervensi Tari Poco-Poco terhadap Fungsi Eksekutif Penyandang DM Tipe 2 dengan Hendaya Kognitif Ringan Melalui Perbaikan Fungsi dan Plastisitas Neuron". "Poco-poco terbukti memperbaiki fungsi eksekutif pasien diabetes melitus (DM)," ujarnya dalam ujian sidang terbuka.
Ria menguraikan fungsi eksekutif adalah fungsi kognitif tertinggi manusia. Fungsi ini membuat manusia mampu merencanakan, memulai, menahan diri, mengambil keputusan, hingga berinteraksi. Pendeknya, kemandirian seseorang bergantung pada fungsi eksekutif. "Pada mereka yang sudah berusia lanjut, penurunan fungsi kognitif ini menyebabkan kemampuan beraktivitas normal sehari-hari memburuk," kata pengurus Yayasan Alzheimer Indonesia tersebut.
Dalam keseharian, pertanda alzheimer tampak pada kejadian sepele, seperti lupa meletakkan kunci mobil dan lupa nomor telepon. Gejala itu juga terlihat pada hal-hal yang lebih serius, dari kesulitan berbicara dan berbahasa hingga mengalami disorientasi waktu dan tempat.
Ancaman itu semakin nyata bagi penyandang diabetes melitus. Musababnya, kadar gula darah yang tinggi dapat memicu produksi radikal bebas. Sel peka ini akan muncul berupa spesies oksigen reaktif, senyawa organik yang mudah mengikat sel normal. Ini akan menyebabkan kehancuran sel. Jika antioksidan alami dalam tubuh yang bertugas melawan radikal bebas ini tidak cukup, terjadilah stres oksidatif. "Proses tersebut berujung pada penurunan fungsi eksekutif otak," kata Ria, yang juga Wakil Dekan Fakultas Kedokteran UPN Jakarta.
Merujuk pada data International Diabetes Federation pada 2014, ada 9,1 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. "Penyandang diabetes berpeluang empat kali lebih besar mengalami penurunan fungsi kognitif di otak," kata Ria.
Dari situlah ia tertarik meneliti kemungkinan intervensi untuk mencegahnya. Selama ini penyandang diabetes sudah mengenal aktivitas fisik untuk mengendalikan kadar gula, yaitu lewat senam diabetes. Tapi anggota Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia ini tidak puas. Lantaran masih ada masalah, ya, karena adanya penurunan fungsi kognitif itu.
Ria memilih intervensi yang menimbulkan suasana riang bagi penyandang DM. Dengan begitu, akan terjadi kegiatan fisik yang mengontrol kadar glukosa, regulasi insulin, dan penurunan risiko komplikasi.
Salah satu kegiatan yang menerbitkan kegembiraan adalah tarian. Persoalannya, tarian apa yang cocok. Awalnya Ria memilah-milah tarian dari seluruh Indonesia. Dari saman hingga serampang dua belas. Mengingat targetnya adalah kaum berumur, ia harus mempertimbangkan jenis gerakan.
Di sisi itulah ia menilai kedua tarian daerah tersebut kurang pas. Tari saman, misalnya, sulit karena lebih banyak dilakukan dalam posisi duduk. Ini tidak cocok bagi mereka yang punya masalah sendi. "Adapun tari serampang dua belas berisiko karena penggunaan alat berupa piring."
Maka ia melirik poco-poco. Senam yang berakar pada tarian wayase atau maku-maku itu dirasa lebih aman. "Karena dilakukan dengan berdiri terus," kata Ria. Poco-poco juga memenuhi status senam karena berhasil membuat jantung berdenyut 120 kali per menit, sehingga sudah masuk kegiatan aerobik.
Tapi Ria tak mengambil gerakan poco-poco begitu saja. Dia berkonsultasi dengan akademikus Institut Kesenian Jakarta untuk menemukan pola gerakan yang pas. Akhirnya lahirlah gerakan poco-poco modifikasi, yang meliputi lima tingkat kesulitan, dari hanya bergeser kanan-kiri, berubah menjadi serong, hingga terakhir berputar.
Ada 16 penyandang diabetes yang menjadi obyek penelitiannya, dua di antaranya Ismiyani dan Istilahani. Setahun silam, mereka menjalani senam ini sepekan sekali selama tiga bulan. Bertempat di halaman kampus Universitas Pembangunan Nasional, Pondok Labu, Jakarta Selatan, mereka berlatih 30 menit setiap kali latihan. "Butuh waktu satu bulan untuk ngapalin," kata Ismi. Maklum, ada lima pola yang harus diingat. Satu gaya dilakukan empat kali sesuai dengan arah mata angin.
Lepas dari masa hafalan, instruktur senam hanya memantau peserta. "Kami tidak tahu kalau ternyata ini penelitian," kata Ismi, yang tahun ini genap berusia 60 tahun. Tapi saat itu mereka menjalani dengan gembira, karena ada pemeriksaan gratis. Mereka juga bisa bercengkerama dengan sesama.
Bagaimana senam ini bisa berpengaruh bagus pada elemen kognitif? Gerakan yang disusun memang merangsang mereka melakukan koordinasi antartubuh ataupun dengan ruangan. Lihatlah, mereka harus melakukan aksi bersilangan antara tangan dan kaki. Lalu maju-mundur dan berputar. Penari harus mampu mengenali dan menyesuaikan ruang tempat menari serta menjaga jarak dengan penari lain. "Tarian ini melatih kemampuan spesial," kata Ria.
Sebelum dan sesudah latihan, dilakukan pemeriksaan darah. Juga dicek perubahan saraf otak pada awal dan akhir percobaan dengan stimulasi resonansi magnetik. "Hasilnya, jumlah neuron yang hidup bertambah banyak," kata Ria. Temuan itu menepis anggapan bahwa sel otak tidak berkembang lagi pada orang tua.
Jumlah neuron yang meningkat itu muncul pada otak bagian prefrontal, parietal, dan hipokampus. Prefrontal merupakan bagian terdepan, yang memiliki fungsi eksekutif. Parietal sangat penting untuk pengolahan indra tubuh. Sedangkan hipokampus adalah bagian otak yang bertanggung jawab terhadap ingatan.
Fakta itu diiyakan oleh Jan Purba, pengajar ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. "Otak itu bisa diajari," ujar spesialis saraf bergelar doktor ini. Otak yang dilatih terus-menerus akan menjaga aneka fungsi di dalamnya. Semakin rumit semakin bagus.
Pada tarian poco-poco, kata Jan, terdapat aturan dan pola bersilangan yang melatih dua bagian otak. Dengan pembiasaan, otak lama-lama familiar sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap fungsi saraf di kepala.
Di samping itu, ternyata masih ada bonus. Karena banyak mengeluarkan energi pada saat berpoco-poco, kadar glikemik turun sehingga jumlah kolesterol ikut menyusut. Begitu pula prediktor terjadinya stres oksidatif, yaitu senyawa isoprostan, turut berkurang.
Menurut Jan, kecepatan gerak senam ini membuat lemak urung menyumbat pembuluh darah. Tak hanya itu, gula pun ikut tersedot. Dus, senam poco-poco juga bisa jadi pengendali gula darah. Asyik, kan?
Bahkan Ismi merasakan keasyikan itu setelah rajin berlatih. "Saya dulu di kegiatan ibu-ibu jadi anggota pasif, tapi sekarang banyak ide," kata anggota Persatuan Diabetes Indonesia untuk wilayah Sawangan, Depok, Jawa Barat, ini. Di organisasi itu, Ismi banyak mengusulkan kegiatan anyar, misalnya berenang. "Saya kok mendadak pinter ya, kepikiran hal-hal begitu?"
Hidup, poco-poco!
Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo