LAMPU gedung dipadamkan perlahan-lahan, disusul lengkingan bunyi
musik elektronik. Lantas layar terangkat. Sembilan penari
terbagi dalam tiga kelompok masing-masing 3 orang, berkostum
cerah warna-warni. Bentuknya ganjil: wajah dan tubuh terselubung
semacam sarung kain elastis yang tertutup di kedua ujungnya.
Hanya ada dua lubang kecil sebagai lubang mata.
Masing-masing kelompok menari pada sebuah level berbentuk segi
tiga, yang sudut depan merupakan garis lengkung. Dua penari
berdiri di muka, yang ketiga di tengah belakang--pada level yang
sedikit lebih tinggi dan dapat berputar.
Ini sebuah gambaran karya Nikolais yang bersama rombongannya
(Nikolais Dance Theatre) berpentas di Teater Terbuka TIM, 15 dan
16 0ktober kemarin. Nomor tersebut, Temple ( 1974), saya amati
ketika grup ini berpentas di Macky Auditorium, Universitas
Colorado 15 April 1976. Sebuah pertunjukan yang ganjil dan
menarik dan memang patut diamati--bukan saja oleh kalangan tari
tapi juga kalangan teater, musik, seni rupa dan lainnya.
Sesudah generasi Martha Graham, Alwin Nikolais adalah sebuah
nama besar dalam tari modern bukan saja di Amerika, tapi di
dunia (Barat). Dia hadir mandiri dengan teater tarinya yang
khas, bertolak belakang dengan konsepsi para penata tari modern
pendahulunya.
Ia menolak simbolisme Freudian, tema cerita, masalah sosial
serta egosentrisme yang mendominasi karya tari modern
sebelumnya. Secara tuntas Nikolais menjelajahi potensi abstrak
ekspresionisme dan multi-media dalam teater. Ia membuktikan,
bahwa 'gerak sebagai gerak' jika ditata dengan kecermatan dan
kecerdikan--mampu menghadirkan dunianya sendiri yang memikat dan
mengesankan. "Jika saya meng gerakkan tangan saya ke bawah dan
ke atas dan sebaliknya selama dua jam, tanpa tujuan lain kecuali
menggerakkan tangan, sungguh mati itu tentu akan sangat
membosankan anda. Tapi itulah sebuah tarian," katanya suatu
saat.
Film Bisu
Itulah sebabnya, dalam awal kariernya, banyak kritikus yang
menolak karyanya sebagai tari. Karier pertamanya dalam dunia
seni pertunjukan justru dimulainya sebagai pianis. Menginjak
usia 15 tahun ia bermain piano untuk mengi ringi film bisu.
Sementara itu juga belajar melukis, akting, penyutradaraan,
disain dan tata lampu. Ketika film bisu mulai "bicara", Nik
pindah mengiringi kelas tari. Namun ia memang tertarik pada
banyak hal. Ia juga menjadi direktur scbuah eater-boneka. Dan
saat itulah ia temukan konsep-teater yang kemudian ia
kembangkan. "Rahasia teater boneka adalah gerak (motion). Walau
boneka tidak punya syaraf dan bukan benda hidup, ia dapat
digerakkan dan kita suruh melakukan hal-hal yang luar biasa,"
katanya.
Tahun 1929, ia melihat konser tari Mary Wigman dari Jerman dan
sangat terkesan. Dan sejak itu ia temukan dirinya. Ia belajar
menari pada usia 23 tahun dan sadar keterbatasan bakatnya dalam
bidang ini. Tetapi sebagai seniman pentas yang menguasai begitu
banyak bidang, ia tak ada duanya.
Nikolais bekerja berdasar konsep teater yang total: gerak,
properti, bunyi, warna dan cahaya merupakan bahan ramuan yang
memiliki peranan sama penting. Dia memang bukan hanya
koreografer. Dan banyak karyanya ia menciptakan sendiri musik
iringannya, menata sendiri kostum, pentas, cahaya serta
peralatan pentas lainnya.
Singkat kata karyanya selalu merupakan paduan yang utuh antara
tari, musik dan berbagai elemen visual yang mungkin dapat
ditampilkan. Tontonannya adalah tontonan visual yang mantap:
mampu mengubah pentas menjadi dunia khayal yang tak pernah
dibayangkan penonton.
Baginya, ruang pentas adalah sebuah kanvas tiga dimensi yang
harus digarap dengan berbagai macam media. Nikolais memang
seniman pentas yang lengkap.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini