Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang berbeda di keramaian car-free day di Pekanbaru. Di tengah lalu lalang warga yang berolahraga dan menikmati udara di Ibu Kota Riau pada Ahad pagi itu, terselip sekelompok anak muda yang duduk tenang dengan Al-Quran di tangan. Mereka mengaji di trotoar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak muda itu tergabung dalam komunitas One Day One Juz (ODOJ). Kegiatan pada hari bebas kendaraan bermotor itu mereka sebut Ngaji on the Street atau Ngaos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami ingin memberi tahu masyarakat bahwa mengaji tidak hanya di rumah atau di masjid," kata Deswira Jusmita, Ketua ODOJ Pekanbaru, kepada Tempo di lokasi, Ahad, 28 Agustus 2022. "Bisa di mana saja selagi tempatnya diperbolehkan dalam agama."
Ngaji On The Street (NGAOS) di Jalan Sudirman, Pekanbaru, 28 Agustus 2022. Tempo/Hendrik Khoirul
Untuk menyebarluaskan kegemaran membaca Al-Quran, ODOJ Pekanbaru berulang kali menggelar tadarus di ruang terbuka. Misalnya, di lapangan Masjid Raya An-Nur dan Ruang Terbuka Hijau Alam Mayang. Namun Jusmita cs menganggap pengunjung dua ikon Kota Pekanbaru itu sebatas warga sekitar. Mereka menilai ajang car-free day lebih menarik minat warga kota.
ODOJ Pekanbaru pun menggelar terpal biru di depan kantor Bank Indonesia di Jalan Jenderal Sudirman sebagai lokasi pengajian. Anggota komunitas yang lebih senior bertindak sebagai pembimbing.
Tidak seperti pengajian di lapangan Masjid An-Nur dan Alam Mayang yang cuma sesekali, mengaji di trotoar di Jalan Sudirman menjadi kegiatan mingguan mereka. Jusmita cs ingin menangkap antusiasme warga yang kembali mengikuti car-free day setelah lama ditutup selama masa pandemi Covid-19. "Mana tahu, insya Allah, ada yang bergabung, ikut membaca Al-Quran," ujar Jusmita. Sesekali, dia mengangsurkan selebaran berisi informasi kegiatan ODOJ kepada penikmat hari bebas kendaraan bermotor.
Seperti namanya, One Day One Juz menargetkan membaca Al-Quran satu juz, sekitar 150 ayat, per hari. Dengan demikian, setiap 30 hari, mereka bisa mengkhatamkan Al-Quran. Dibentuk pada 2009, komunitas ini membaca Al-Quran secara kolektif. Peserta dibagi dalam grup berisi 30 orang. Progres bacaan mereka dilaporkan via WhatsApp. Di Pekanbaru, anggotanya ada ratusan.
Mengaji di ruang publik menjadi fenomena baru. Akhir Maret lalu, sekelompok orang di bawah koordinasi Badan Wakaf Al-Quran Jogja menggelar pengajian di trotoar Malioboro. Kegiatan ini memicu kritik karena Malioboro merupakan pusat keramaian di jantung Yogyakarta dan tidak sepantasnya digunakan sebagai tempat acara keagamaan tertentu.
Ada juga yang mendukung dengan alasan tidak ada warga yang terganggu karena peserta sekadar duduk dan mengaji. Meski cuma berlangsung sekitar sepuluh menit, gaung mengaji di trotoar Malioboro itu menjalar hingga Lumajang, Jawa Timur.
Sabtu, 30 Juli 2022, seribuan santri dan pelajar berkumpul di Alun-alun Lumajang, tepat di depan kantor pemerintah kabupaten. Mereka duduk bersila, memangku Al-Quran, dan melafazkan ayat-ayat suci untuk merayakan tahun baru Islam, sehari sebelumnya.
"Ibu Wakil Bupati (Indah Amperawati) menyampaikan ada kegiatan mengaji di Malioboro dan menginginkan orang mengaji di Alun-alun Lumajang," kata Ahmad Fatkhillah, Direktur Pondok Pesantren Bahrusysyifa, selaku koordinator acara itu kepada Tempo. Menurut dia, tadarusan bersama di ruang publik tidak termasuk riya atau pamer, melainkan bagian dari syiar agama.
Fatkhillah mengatakan kegiatan ini awalnya dirancang untuk dilangsungkan saat bulan suci Ramadan, April lalu. Namun terhambat izin keramaian di tengah pandemi Covid-19.
Mengaji bareng di Alun-alun Lumajang, 30 Juli 2022. Dok Ponpes Bahrusysyifa
Tanggapan MUI Soal Mengaji di Trotoar
Pelaksana Harian Ketua Majelis Ulama Indonesia Lumajang, Kiai Haji Fanandri, mengatakan membaca Al-Quran merupakan satu ibadah utama. Apalagi disertai pemahaman terhadap makna sehingga fungsi Al-Quran sebagai hudal lin nas atau pedoman bisa terwujud.
Soal tempat, Fanandri melanjutkan, sebagian ulama berpandangan hukumnya makruh (dibenci) membaca Al-Quran di sejumlah tempat. Pertama, kolam pemandian, kebun tempat pembuangan kotoran, dan tempat penggilingan yang alatnya sedang bekerja. "Meski pandangan tersebut masih debatable, hal itu mengisyaratkan bahwa membaca Al-Quran tidak elok dilakukan di sembarang tempat," katanya.
Mengaji di trotoar atau alun-alun, menurut Fanandri, sah-sah saja. Tinggal melihat niatnya. Jika murni dilakukan untuk ibadah, tentu bagus. "Ketimbang duduk-duduk sambil bergosip, mending baca Quran," ujarnya. Namun, jika ada unsur riya alias pamer, bisa berabe. "Bisa termasuk syirik khafi (menyekutukan Tuhan secara tersembunyi)."
Mengaji di Trotoar sebagai Fenomena Sosial
Lukman Wijaya Baratha, sosiolog dari Universitas Negeri Jember, mengatakan agama tidak pernah surut dari ranah privat dan publik di masyarakat Indonesia. "Jadi, tidak ada masalah dengan mengaji di tempat umum," katanya.
Berbeda dengan masyarakat Barat yang sekuler, memisahkan agama dari ruang publik. "Sehingga kebangkitan agama di kehidupan publik menjadi fenomena yang menarik bagi mereka," ujarnya.
Menurut Lukman, luapan gairah keagamaan di Indonesia memasuki lingkup yang berbeda jika menyentuh dimensi politik. Kombinasi agama plus politik inilah yang mencuat selama dua dekade terakhir, setelah diharamkan oleh Orde Baru.
Menurut dosen sosiologi Universitas Riau, Achmad Hidir, mengaji di trotoar merupakan bentuk ekspresi keagamaan. Pada prinsipnya, ekspresi keagamaan bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, termasuk secara kolektif. “Masalah tepat atau tidaknya sangat tergantung situasi dan kondisi,” kata dia.
Satu parameternya, Achmad melanjutkan, adalah reaksi orang di sekitar mereka. Jika warga yang memadati car-free day di Pekanbaru senang-senang saja dengan keberadaan para pelantun Al-Quran itu, silakan melanjutkan mengaji di trotoar tersebut. "Tapi jika ada yang merasa terganggu, mungkin ada yang kurang tepat," ujarnya.
HENDRIK KHAIRUL (PEKANBARU) | DAVID PRIYASIDHARTA (LUMAJANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo