Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Geliat Si 'Buski'di Tanah Borneo

Sejumlah anak di Kalimantan Selatan menderita penyakit Fasciolopsis-buski, sejenis cacingan yang langka.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD SUHAIMI, 8 tahun, seorang anak di Kalimantan Selatan, terserang penyakit aneh. Tubuhnya kurus kering, perutnya buncit, mukanya pucat, dan matanya cekung. Diduga cacingan, Ahmad diberi obat cacing yang dijual di kios. Beberapa kali menenggak obat, ia tak kunjung sembuh. Suatu hari dia muntah-muntah. Di antara muntahan itu—ah, mirip adegan film Alien saja—tampak empat ekor binatang menyerupai lintah menggeliat. Binatang itu bertubuh kenyal, berwarna hitam kemerahan, berbentuk pipih sepanjang 3 sentimeter dan lebar 1 sentimeter.

Belakangan diketahui, Ahmad menderita penyakit Fasciolopsis-buski, sebut saja buski. Dan ia tidak sendiri. Rupanya ada banyak Ahmad lain yang menderita penyakit yang tergolong langka itu. "Kasus di Kalimantan ini yang pertama di Indonesia," kata Dr. Rosihan Adhani, Kepala Sub-Dinas Bina Program Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan (Kal-Sel).

Namun, bagi Kalimantan sendiri, cacingan model begini bukan yang pertama. Sebuah survei pada 1985 di Desa Sei-papuyu, Kecamatan Babirik, Kal-Sel, telah mencatat 27 persen dari 548 orang positif terjangkit penyakit itu. Rata-rata penderita (56,8 persen dari yang positif) berusia 5 hingga 14 tahun, sebagian (16,4 persen) berusia di bawah 5 tahun, sementara 9,9 persen penderita berusia lebih dari 15 tahun.

Menurut catatan Kantor Dinas Kesehatan Kal-Sel, jumlah penderita buski tahun ini hanya 16 orang. Namun, ada 350 orang lain yang menunjukkan indikasi menderita penyakit itu. Walau cenderung menurun, misalnya dibandingkan dengan jumlah penderita pada 1999, yaitu sebanyak 78 orang, kini pihak dinas kesehatan giat memberantas si buski dengan mengikis sumber penyebarannya. Juga, sejak 12 Juli lalu, sebuah tim medis memberi masyarakat pengobatan gratis dan penyuluhan untuk memberantas penyakit. "Saya menganggap ini kasus serius karena penyakit ini menghambat pertumbuhan tubuh dan menurunkan kecerdasan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kal-Sel, Dr. Zairullah Azhar.

Fasciolopsis-buski adalah parasit pada manusia dan babi. Menurut Prof. Sri S. Margono, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang pernah meneliti Fasciolopsis-buski, parasit itu ditemukan di Cina, Taiwan, Vietnam, Thailand, Bengal, dan negara Asia Timur lain. Parasit berbentuk cacing dengan kepala mengerucut itu berwarna krem kemerah-jambuan, gemuk, oval melebar, dan berukuran sebesar ibu jari orang dewasa.

Parasit itu juga ditemukan di Indonesia. Akhir 1981, Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperoleh kiriman dua cacing yang diidentifikasi sebagai Fasciolopsis-buski. Cacing itu diambil dari muntahan seorang anak berusia 11 tahun di Kabupaten Babirik, Kecamatan Hulu Sungai Utara, Kal-Sel. Telur-telur Fasciolopsis-buski juga ditemukan pada muntahan itu.

Penyebaran buski melalui siklus yang cukup rumit. Contohnya, bila manusia yang mengandung telur cacing membuang tinja di rawa, embrio itu akan berubah menjadi larva. Setelah keluar dan berenang di air, larva itu bisa terbawa keong. Keluar dari keong, larva berubah bentuk menjadi cercariae, yang menempel pada tanaman air dan kemudian berubah menjadi metacercarie. Bila tanaman air yang telah dihinggapi metacercarie itu dimakan, penularan buski terjadi. Repotnya, yang biasanya memakan tanaman air secara serampangan adalah anak-anak.

Penyebaran penyakit buski lebih meluas karena masyarakat dari segala usia masih menggunakan air sungai, rawa, dan danau untuk air minum, mencuci, dan memasak. Lihat saja Kecamatan Babirik, Kecamatan Sungai Pandan, dan Kecamatan Danau Panggang—ketiganya di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Di kawasan itu, ada sebuah hamparan rawa monoton (danau berair dangkal yang menggenang) dengan luas mencapai ribuan hektare. Puluhan ribu warga bermukim di rawa tersebut ketika tanahnya mengering di musim kemarau. Sementara itu, sejumlah danau di sekitarnya menjadi genangan air yang menyejukkan lingkungan, dengan tumbuhan umbi teratai yang enak dimakan mentah. Alhasil, pola hidup tradisional semacam itu menjadi salah satu sumber penyebaran penyakit.

Meruyaknya penyakit buski rupanya tak menghebohkan masyarakat. Maklum, penyakit itu, seperti kata Dr. Rosihan, tidak tergolong pencabut nyawa, tak ubahnya penyakit cacingan pada umumnya. Bedanya, untuk pengobatan buski diperlukan obat khusus prazequantel—yang disuplai oleh Badan Kesehatan Dunia. Dengan menenggak obat seharga Rp 8.000 per tablet itu, penderita cacing buski biasanya tersembuhkan. Penderita akan mengeluarkan kotoran sarat cacing buski, yang jumlahnya bisa puluhan ekor. Bahkan, ada kasus seorang penderita mengeluarkan 493 ekor. Namun, kesembuhan itu tidak permanen. Bila si penderita suatu saat mengonsumsi lagi makanan atau minuman yang mengandung bibit cacing, penyakit itu bisa kambuh.

Kelik M.Nogroho, Almin Hatta (Banjarmasin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus