Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada pengguna media sosial yang membuat video perbandingan reaksi antara generasi Z yang lahir antara 1996 dan 2012 dengan generasi sebelumnya saat menghadapi situasi. Stereotipe yang melekat pada Gen Z adalah lebih sensitif dan tidak sekuat generasi-generasi pendahulunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah Gen Z bermental lebih lemah? Menurut aktivis HAM dan penggiat inklusi Dr. Bahrul Fuad, hal itu hanyalah stigma karena masalah seputar kesehatan mental sudah terjadi sejak lama. Hanya saja, kesadaran soal kesehatan mental di masa lalu belum seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Zaman saya, pendekatannya ke dukun, sekarang ke profesional. Kalau lihat data, orang dewasa yang dipasung di daerah pedesaan juga masih banyak. Artinya, kesehatan mental jadi persoalan sejak dulu," tutur Bahrul.
Tantangan lebih berat
Di sisi lain, Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), Dr. Sandersan Onie, menuturkan generasi muda memang lebih rentan terkena depresi. Ini disebabkan tantangan yang dihadapi jauh lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya. Persaingan jauh lebih ketat, belum lagi media sosial yang membuat mereka sibuk membandingkan diri dengan persona sempurna yang diunggah di dunia maya.
"Anak saat bertumbuh tidak cuma dibandingkan dengan kakak, adik, atau teman tapi di media sosial dibandingkan dengan anak dari seluruh dunia," katanya.
Generasi Z lebih berani mengakui kerapuhan diri karena terpapar informasi mengenai kesehatan mental. Ini patut dikagumi karena semua orang pasti mengalami masalah tapi butuh keberanian untuk terbuka mengakuinya.
Menghakimi, memberi label, bahkan menganggap remeh bukan langkah yang bijak bagi orang dewasa dalam menghadapi Generasi Z. Orang dewasa sebaiknya memberikan contoh terbaik dalam menjaga kesehatan mental.