Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hari Bakcang, Begini Sejarah Makanan yang Mirip Lontong Itu

Bakcang, yang dalam bahasa Indonesia disebut bacang, adalah makanan yang terbuat dari beras atau ketan, lalu dibungkus dengan daun bambu.

18 Juni 2018 | 11.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bakcang. youube.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Warga keturunan Tionghoa di Indonesia memperingati Hari Bakcang atau Peh Cun pada Senin, 18 Juni 2018. Peringatan itu dirayakan rutin setiap tahun pada hari kelima bulan lima penanggalan Lunar atau kalender Imlek.

Baca: 3 Kuliner Tradisional yang Tak Boleh Dilewatkan di Blitar
Kulineran di Djoyoboyo Food Terminal Surabaya yang Instagenic

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bakcang, yang dalam bahasa Indonesia disebut bacang, adalah makanan yang terbuat dari beras atau ketan, lalu dibungkus dengan daun bambu. Penganan ini sudah cukup familiar bagi masyarakat di Tanah Air lantaran kerap dijual di pasar-pasar tradisional, sejajar dengan kudapan lain seperti lumpia dan pastel.

Hari Bakcang sejatinya dirayakan untuk memperingati keberadaan makanan yang ternyata bersejarah. Konon, lahirnya bakcang tak lepas dari peringatan untuk mengenang tokoh Cina bernama Qu Yuan.

Pengamat budaya Tionghoa, Suwarni, mengatakan Yuan dikenal sebagai pejabat penting yang cukup berpengaruh di Negeri Tirai Bambu. “Bukan menteri, tapi ia seperti menteri perannya,” kata Suwarni saat dihubungi Tempo pada Minggu, 17 Juni 2018.

Yuan adalah tokoh yang berhasil mempersatukan enam negeri. Enam negeri itu bersatu menjadi Negeri Cho dan menyerang Negeri Chien yang dianggap mengancam.Bakcang. youube.com

Sayangnya, warga Negeri Chien menyerang balik dengan menyebar fitnah sehingga Yuan terusir dari negerinya sendiri. Yuan diasingkan. Pada tahun 278, saat mendekam di pengasingan, ia mendengar kabar bahwa pasukan Chien menyerbu ibu kota negaranya. Yuan pun meluapkan amarah dengan menuliskan sajak berjudul Li Sao yang berarti Jatuh dalam Kesukaran.

Selepas menulis sajak, Yuan menunggang perahu di Sungai Bek Lo dan menceburkan dirinya. “Penduduk di sana khawatir dengan Yuan yang akan dimakan ikan. Lalu mereka melemparkan bakcang ke sungai sambil menabuh genderang supaya ikan-ikan tidak makan Yuan,” ujar Suwarni.

Kegiatan melempar bakcang lantas menjadi ritus yang dilakukan terus-menerus setiap tahun untuk mengenang jasa Yuan. Bahkan sampai sekarang.

Bukan cuma sarat nilai sejarah, bentuk penganan yang memiliki empat sudut itu menyimpan makna filosofis. Sudut pertama berarti zhi zu. Artinya ialah merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Bisa bermakna pula bahwa orang tak boleh serakah.

Sudut kedua ialah gan en atau bersyukur. Artinya, orang tidak boleh iri dengan apa pun yang dimiliki sesamanya. Sedangkan sudut ketiga berarti shan jie atau pikiran positif. Maksudnya, orang harus menilai sesamanya dari sisi baik.

Sisi terakhir dari bakcang yakni sisi keempat adalah bao rong yang berarti merangku. Ini dimaksudkan supaya manusia mampu mengembangkan cinta kasih kepada sesama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus