Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Burung-burung yang menjadi jawara lomba memang kerap menjadi incaran orang lain untuk dibeli. Semakin sering memenangi lomba, nilai tawaran akan semakin tinggi. Dan kini terus saja bermunculan burung-burung yang berhasil memenangi banyak kontes. Salah satunya adalah Yakin, milik Rohili, 28 tahun. Yakin sudah memenangi ratusan kontes di berbagai tingkatan, termasuk menjadi juara kedua di Piala Presiden tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itu, popularitasnya semakin menanjak dan tawaran harganya juga semakin tinggi. Yakin pernah ditawar orang seharga Rp 500 juta, namun tawaran ini tak membuatnya tergiur. Si pemilik hanya akan melepas burungnya jika mendapat tawaran di atas Rp 500 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada saja lomba yang ia ikuti. "Setiap hari minimal bisa dapat Rp 500 ribu," kata Rohili ketika ditemui Tempo di Depok, Rabu lalu. Hadiah itu digunakan untuk membiayai perawatan Yakin. Rohili, yang akrab disapa Likun, juga biasa membagikan hasil menang lomba kepada 12 anggota komunitasnya. Sebab, merekalah yang sering membawa burungnya itu ke arena kontes, karena ia sudah dikenali panitia dan tidak boleh ikut. "Kalau tingkat latihan bersama dan latihan prestasi, saya diusir karena dianggap pasti juara."
Burung lovebird (Agapornis Personata). TEMPO/Fully Syafi
Kisah pelarangan mengikuti lomba di dunia "perburungan" memang biasa terjadi jika ada seekor burung yang sudah menjadi juara di tingkat nasional diturunkan di kontes tingkat latihan. Ade Sulistio, yang dikenal sukses di dunia lomba burung dan bahkan kemudian menulis buku berjudul Mencetak Lovebird Juara, menjelaskan ada beberapa tingkatan dalam kontes lovebird.
Tingkatan paling bawah disebut latihan bersama atau latber, lalu ada latihan prestasi atau latpres, kemudian disusul latihan eksklusif, regional, dan tingkat nasional. "Burung yang sudah juara nasional tapi diturunkan di kelas latber atau latpres, otomatis ada panitia menolak."
Namun, jika pemilik burung mengikutsertakan burungnya di kelas yang tepat, tidak akan ditemukan pelarangan seperti itu. Ade sendiri tidak pernah menemukan pelarangan selama mengikuti kontes. Ade mengatakan pemilik burung harus peka dalam mencari kelas yang tepat dan lawan seimbang dalam mengikuti kontes. "Jadi, bukan pelarangan, seolah-olah panitia tidak adil," ujarnya.
IRSYAN HASYIM | DIKO OKTARA | KORAN TEMPO