Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air mata seketika membasahi pipi Dynand Fariz. Padahal, sebelumnya, obrolan itu berlangsung hangat dan penuh tawa. Penyebabnya, kami menyinggung memorinya saat pertama menggelar Jember Fashion Carnaval, 14 tahun lalu.
Yang terlintas di benak Dynand adalah cemoohan. Sekelompok mahasiswa-dia enggan menyebutkan universitasnya-membuat penelitian tentang festival busana tahunan tersebut. Selama berbulan-bulan, mereka bolak-balik bertemu sampai Dynand menganggapnya sebagai keluarga.
"Begitu hasil penelitiannya kelar, mereka menulis JFC adalah singkatan dari Jember Foolish Person Carnaval," ujarnya kepada Tempo di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Pusat, dua hari lalu. Suaranya bergetar. "Mereka menganggap peserta JFC merupakan orang-orang bodoh yang dimanfaatkan Dynand Fariz untuk mencari ketenaran."
Sakit hati itu tidak berhenti. Dynand terus mendapat serangan dari sana-sini. Dia dituduh menghamburkan anggaran daerah, berpesta di atas kemiskinan masyarakat, hingga memurtadkan generasi muda. "Saya bingung, dari sekian banyak orang yang bersemangat dengan adanya karnaval, masih ada golongan yang seperti itu," katanya.
Tapi itu dulu. Kini semua mata, juga dari luar batas negara, tertuju ke Jember saban festival itu digelar. Tahun ini, karvanal berlangsung pada 26 sampai 30 Agustus mendatang. Temanya Majapahit. "Harus ada konsep tentang Indonesia yang bisa dibawa ke dunia internasional," ujar Dynand, 52 tahun. Cita-citanya mahatinggi: karnaval Jember menjadi agenda fashion internasional, seperti pekan busana di Paris, London, Milan, dan Hong Kong.
Menanggapi mimpi itu, muncul komentar seputar pilihan pakaian yang dipamerkan di catwalk yang tidak lain adalah jalan utama Jember tersebut. Kritikus menyebutnya lebih sebagai kostum ketimbang busana.
Dynand menyahut dengan santai. Menurut dia, busana adalah semua hal yang kita kenakan, meski tidak dipakai sehari-hari. "Kreativitas dalam dunia fashion tidak terbatas," kata pengajar di sekolah mode ESMOD Jakarta dan dosen tata busana di Universitas Negeri Surabaya itu. "Kostum pun hasil kerja seni, seperti juga pakaian ready to wear."
Dynand pun membantah Karnaval Jember digolongkan parade haute couture-busana yang hanya dibuat berdasarkan pemesanan dan harganya selangit. "Prinsipnya, bila ingin karya kita dilihat, harus dibuat sungguh-sungguh dan memberikan efek 'wow' saat ditunjukkan," katanya.
Prinsip busana yang mencolok mata itu membuat banyak orang mengaitkan JFC dengan Christian pre-Lenten Festival di Brasil. Apalagi sama-sama digelar di jalanan. Tapi, menurut Dynand, inspirasi Karnaval Jember datang dari arak-arakan perayaan tujuh belasan dan reog Ponorogo. "Sayang, sekarang sudah jarang banget ada karnaval tujuh belasan," ujarnya.
Selain busana, Dynand bermain dengan kreativitas tata panggung dan koreografi. Selalu ada yang baru di setiap pergelaran. Misalnya, pada 2003, dia membuat runway di aspal sepanjang 3,6 kilometer. "Bisa bayangkan beban peserta yang mengusung kostum yang beratnya sampai 30 kilogram," katanya. Tapi, semua bahagia. Museum Rekor Indonesia melabeli Karnaval Jember sebagai festival busana dengan catwalk terpanjang.
Semua kegemerlapan itu Dynand rancang dengan bantuan "teman-teman komunitas", termasuk transgender dan penari yang kehabisan panggung. "Mereka membantu saya melebihi keluarga," ujarnya. "Karena mereka, JFC ada sampai sekarang." SUBKHAN
Dynand Fariz
Lahir: Jember, 23 Mei 1963
Orang tua: H Tirto Soetowo dan Ahyani
Pendidikan
Pekerjaan :
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo