Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penjarah Mujur dari Gunung Leuser

Sejumlah tersangka pembabat hutan Taman Nasional Gunung Leuser divonis bebas. Padahal bangunan dan peralatan milik mereka jelas berada di lokasi Taman Nasional.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dalam ruang tahanan Kejaksaan Negeri Kutacane, Aceh Tenggara, Haji Muhammad Nyakoeb kini lebih banyak termenung. Direktur CV Putra Selatan Kluet itu tengah menjalani pemeriksaan aparat kejaksaan lantaran ulahnya menjarah kayu di Taman Nasional Gunung Leuser. Nyakoeb sempat buron setahun sebelum menyerahkan diri ke polisi pada Oktober lalu.

Memang masih belum jelas kapan Nyakoeb dibawa ke ruang sidang. Yang pasti, kini tinggal dialah satu-satunya dari lima tersangka pembalak hutan di Aceh Tenggara yang nasibnya belum jelas. Empat rekannya yang lain sudah ”merdeka”. Dua dinyatakan bebas oleh pengadilan, dan dua lainnya kasusnya dihentikan di tingkat penyelidikan. Kasus pembalakan Taman Nasional Gunung Leuser itu kini menjadi perhatian utama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh. ”Kami belajar dari kasus Desky, itulah preseden paling buruk penanganan pembalakan liar di Aceh,” kata Dewa Gumay, Direktur Eksekutif Walhi Aceh.

Yang dimaksud Gumay dengan Desky tak lain adalah Marzuki Desky alias Kiki, pemuda 28 tahun, Direktur CV Armana Agratama. Bersama Julisman (Direktur CV Panca Utama Karya Bakti), Marzuki divonis bebas pada Agustus lalu dalam kasus perambahan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Di Aceh Tenggara nama Kiki cukup terkenal. Ia adalah putra Armen Desky, Bupati Aceh Tenggara yang bulan lalu baru saja kalah saat bertarung mempertahankan kursi bupati untuk kedua kalinya. Di wilayah ini, Armen juga menjabat Ketua Golkar. ”Keluarga besar Desky” banyak menduduki jabatan penting di Aceh Tenggara. Umuruddin, paman Marzuki, misalnya, adalah Ketua DPRD Aceh Tenggara.

Adapun dua orang yang tak sampai taraf penyidikan adalah Dedy Faisal, Direktur Utama CV Bintang Putra, dan Raidin, Direktur Utama CV Irwanka. Bersama Marzuki dan Julisman, kedua orang ini adalah pemilik sejumlah izin pengelola hutan produksi alias industri primer hasil hutan kayu di Aceh Tenggara. Lahan tempat mereka berproduksi terletak tak jauh dari areal Taman Na-sional Gunung Leuser.

Tapi inilah yang terjadi. Di lapangan, ternyata izin pengelola hutan itu masuk ke areal Taman Nasional. ”Sebelas dari dua belas izin yang ada itu berada di dalam Taman Nasional. Bukan cuma mengambil kayu, kilang mereka pun di dalam areal Taman Nasional,” kata seorang petugas Balai Taman Nasional yang menolak disebut namanya kepada Tempo. Kepastian penyerobotan lahan itu diperoleh pihak Taman Nasional dari pengecekan lapangan lewat sistem navigasi berbasis satelit (GPS).

Dalam ”peta” Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara memang merupakan penyangga utama Gunung Leuser. Selain Kabupaten Gayo Lues, 30 persen wilayah Taman Nasional Gunung Leuser ada di Aceh Tenggara. Kantor Balai Taman Nasional ini pun terletak di Kutacane, ibu kota Aceh Tenggara. Yang pasti, akibat pembalakan di Taman Nasional itu, Walhi mencatat ada 21 titik rawan bencana di kabupaten ini. Tiga di antaranya sudah terbukti. Pada Oktober dan April tahun lalu tiga wilayah itu dihajar banjir bandang dan longsor. Sebanyak 35 orang tewas terkena bencana itu.

Tahun lalu polisi bersama kejaksaan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Taman Nasional, serta Balai Pemantapan Kawasan Hutan menggelar operasi. Saat itulah sejumlah pemilik perusahaan penebangan kayu itu ditangkap dengan tuduhan menebang di areal Gunung Leuser. Cuma, dalam perjalanannya, satu per satu bebas. Kini tinggal Nyakoeb satu-satunya yang belum selesai proses pemeriksaannya. ”Kami hati-hati mengusut kasus ini, supaya nanti tidak divonis bebas lagi,” kata Eddy Hidayat, salah seorang jaksa yang juga mengusut kasus Marzuki Desky.

Vonis bebas terhadap Marzuki Desky dan Julisman itu memang menjadi buah bibir kalangan aparat penegak hukum dan LSM di Aceh Tenggara. Sejumlah petugas Taman Nasional Gunung Leuser kecewa. Soalnya, sejumlah bangunan dan mesin penggergajian milik perusahaan para tersangka itu jelas-jelas ditemukan di areal Taman Nasional. ”Ada buldoser, truk, juga kayunya. Hanya, tak ada satu pun orang bekerja,” kata seorang petugas Taman Nasional kepada Tempo. Pekan lalu, Tempo mendatangi lokasi yang ditunjuk petugas tersebut. Di areal Taman Gunung Leuser memang tampak bangunan tempat beberapa mesin gergaji dan pondok pekerja yang kosong melompong. Menurut petugas, itu semua milik perusahaan Marzuki.

Kiki dan Julisman sendiri diajukan ke pengadilan pada Desember 2005. Jaksa mendakwa keduanya melanggar Undang-Undang Kehutanan. Hanya, tuntutannya terbilang ringan: dua tahun penjara. Di persidangan terjadi ”keanehan”. Hakim menolak bukti ordinat GPS wilayah Taman Nasional yang ditunjukkan saksi ahli. Tak hanya itu, tujuh saksi yang sebelumnya dalam berita acara pemeriksaan memberatkan Marzuki dan Julisman pun belakangan menarik kesaksian mereka. Alhasil, majelis hakim menyatakan tuduhan terhadap Marzuki tak terbukti dan membebaskannya dari dakwaan.

Ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, Imanuel Tarigan, salah satu anggota majelis hakim kasus Marzuki, menyatakan tak ada bukti Marzuki melakukan pembalakan di Taman Nasional Gunung Leuser. ”Dia tidak pernah ke sana, dan bukan dia yang mengelola perusahaan itu,” ujar Imanuel. Bebasnya Marzuki dan Julisman tak diterima pihak kejaksaan. Mereka langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. ”Kami sedang menunggu hasil keputusan Mahkamah Agung,” ujar jaksa Eddy Hidayat. Marzuki sendiri tak bisa dimintai konfirmasi. Didatangi pada Rabu lalu di rumahnya, seorang penjaga menyatakan Marzuki tak ada di Aceh. ”Kalau tidak ke Jakarta, mungkin ke Singapura,” ujar sang penjaga.

Seorang bekas pembalak kepada Tempo membisikkan sebuah nama cukong yang berada di balik sejumlah perusahaan yang membabat hutan Aceh Tenggara: Aseng. Menurut sumber tersebut, warga Malaysia yang kini tinggal di Medan itulah yang berada di balik ”pembalakan berizin” di Aceh Tenggara. ”Aseng memberikan modal ratusan juta rupiah dengan syarat semua kayu yang didapat dijual ke dia,” ujar sumber itu. Aseng sendiri kini menjadi buron polisi.

Tapi kepada Tempo sejumlah petugas Taman Nasional Gunung Leuser tak percaya jika Aseng bekerja sendirian tanpa melibatkan oknum Dinas Kehutanan. ”Izin tak mungkin keluar bila oknum Dinas Kehutanan lokal tidak diajak bekerja sama,” ujar petugas tersebut. Menurut dia, sebenarnya sejak 1991 hutan produksi di Aceh Tenggara sudah tak memiliki potensi lagi. ”Tapi aneh, izin penebangan selalu keluar,” ujarnya. Adapun lokasi izin itu, menurut sang petugas, selalu berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Jadi, ujung-ujungnya, para pemilik izin penebangan hutan pun ”masuk” dan ”berpesta” di Taman Nasional Gunung Leuser.

Kurie Suditomo, Hambali Batubara (Kutacane)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus