TAK lama setelah ia duduk di kursi Direktur Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan, Dr Midian Sirait pernah menyatakan niatnya
untuk menciutkan jumlah merek-dagang obat-obatan. Itu sesuai
dengan pandangan sementara orang yang menganggap jumlah 7000
lebih terlalu banyak.
Berbulan-bulan lamanya setelah pernyataan itu, orang menanti
tindakan apa yang akan dilakukannya. Rupanya ia sedang
bersiap-siap. Ruangan kerjanya yang terletak di gedung tua di
Jalan Percetakan Negara ia rombak sedikit. Posisi-meja drs
Sunarto Prawirosujanto (dirjen lama) yang menghadap ke selatan
ia pindahkan ke barat. Dirobahnya pula sebagian ruangan kerja
itu menjadi kamar kecil.
Mei, sepuluh bulan kemudian, dirjen baru ini menghentak dan
mengumumkan tindakannya. Ia mencabut sementara izin usaha satu
Pedagang Besar Farmasi di Jawa Barat, karena mengedarkan
obat-obatannya langsung kepada dokter, yang bertentangan dengan
peraturan. Dua lagi PBF dari Jawa Tengah dan Bali, karena
mengedarkan obat di bawah standar mutu, mendapat ganjaran yang
sama. Selain itu sebuah apotik -- Tanjung -- di Jakarta disegel
karena gudangnya tak memiliki izin, tak menjamin keselamatan
obat yang disimpan di situ.
"Dengan tindakan ini saya menginginkan pulihnya kepercayaan
masyarakat terhadap obat. Juga untuk menjamin bahwa obat yang
beredar memang diawasi pemerintah. Sebab di kepala rakyat selama
ini sudah ditanamkan bahwa obat yang mereka makan sudah diawasi
pemerintah," kata dirjen Sirait.
Tapi dirjen keberatan untuk menyebutkan nama semua perusahaan
yang ditindaknya. Begitu juga nama obat yang tak terjamin lagi
keselamatannya tetap menjadi rahasia. PBF dari Bali yang kena
ganjar itu, menurut Sirait jelas menperdagangkan obat keras.
Berbahayakah obat itu? "Efek sampingnya tak ada. Cuma kalau
dimakan tidak membikin sembuh penyakit karena sub standar,"
jawabnya.
Di Bali, pernah seorang pasien membeli tetracycline di sebuah
apotik setempat. Ia menghabiskan obat tersebut, tapi penyakitnya
tak sembuh juga. Ia kemudian melaporkan pengalamannya itu kepada
seorang familinya yang ahli obat-obatan di Surabaya. Sesudah
diperiksa, ternyata obat tadi jauh di bawah standar mutu. Dari
sini terbongkarlah nama sebuah PBF yang menjadi penyalur obat
tetracycline itu.
Di Jakarta, pekan lalu polisi berhasil membongkar pemalsuan
Rovamycine (Rhodia) yang kabarnya dilaksanakan di sebuah hotel.
Bioneuron (Phapros) dan Erthrocine (Abbot) juga dipalsukan
orang.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi, drs Sudirman mendukung
tindakan tersebut, tapi ia sendiri tak tahu obat apa yang telah
beredar di Bali itu. Beberapa sumber di bidang kefarmasian juga
tak tahu. Namun seorang dokter dari FKUI, menganggap kesimpulan
bahwa obat sub standar tidak punya efek samping, kurang
berdasar. "Rifampicin untuk penyakit TBC dan Prednison untuk
alergi dan encok, kalau diberikan dalam dosis yang kurang
justeru mengakibatkan efek samping yang lebih besar," kata
dokter tersebut. Tapi obat-obatan sub standar dari Bali itu tak
bakal diberikan dokter lagi, karena seluruhnya sudah disita.
Midian Sirait tak mau menyebutkan nama obat, katanya, supaya
masyarakat tak terganggu ketenangannya. Namun, ada kejutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini