MEMANG bukan baru sekali ini datang seruan betapa pentingnya
sebuah perpustakaan. Dalam penutupan Kongres IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia) IX di Hotel Sahid, 1 Mei lalu, Menteri P&K
Daoed Joesoef bahkan mencanangkan gagasan baru: P&K merencanakan
mengadakan mata pelajaran mengulas buku.
Semua itu diusahakan guna menggalakkan minat baca para pelajar.
Tapi di Yogyakarta ada seorang mahasiswa IKIP Negeri, yang bukan
karena seruan para pejabat mengusahakan satu perpustakaan gratis
untuk anak-anak kurang mampu Ita Fatia Nadia, 21 tahun, tergugah
sejak duduk di kelas II SMA. "Kalau saya bisa membaca buku
banyak dan tambah ilmu, kenapa anak-anak yang kurang mampu itu
tidak," kata gadis manis ini kepada TEMPO.
Baru September tahun lalu impian itu terlaksana. Sampai Januari
tahun ini, ia menggunakan teras rumahnya sebagai ruang
perpustakaan. Karena jumlah anggota meningkat sampai 50 anak,
apa boleh buat, musti cari tempat. Pebruari ia mendapat tempat
di sebuah gang sempit, di Ngadiwinatan. Ruang seluas 6 x 3 meter
itu dikontraknya Rp 36 ribu setahun. Semua biaya keluar dari
saku Ita sendiri -- maklum dia ini datang dari keluarga
berkecukupan. Ada juga sedikit bantuan yang kadang-kadang
diterimanya, dari Sudjoko -- dosen ITB dan kolumnis dan sering
juga menulis di TEMPO.
Itulah kenapa Perpustakaan Kawanku -- begitulah nama
perpustakaan itu dan tak ada hubungan apa pun dengan majalah
Kawanku -- sekarang agak kesulitan membeli buku-buku baru. Jika
semula perpustakaan dibuka tiga hari dalam seminggu, kini hanya
hari Minggu saja. Ini supaya 90 anak anggotanya tak cepat jemu.
Pendidikan Murah
Sebetulnya yang dilakukan mbak Ita -- begitu anak-anak
memanggilnya -- tidak hanya perpustakaan saja. Tapi boleh
dinilai sudah sebuah semi sekolah. Sebab tiap Selasa dia membuka
acara menggambar Setiap Jum'at pagi khusus untuk anak-anak
balita (di bawah lima tahun) dengan acara kegiatan bermain-main
yang alat permainannya dibelinya dari pabrik mainan anak Karya
Bakti. Jum'at sorenya untuk anak yang lebih dewasa, dengan acara
menjahit dengan tangan. Tak jelas, kenapa Ita memilih acaranya
begitu.
Kesimpulan yang bisa ditarik, mungkin, ternyata minat baca
anak-anak atau pelajar sebenarnya bukannya tak ada. Yang tak
ada ialah tempat di mana mereka bisa memperoleh buku dengan
gampang. Tak semua anak tentunya, berminat dan bisa beli buku.
Perlu pancingan. Ini terbukti dari sebuah perpustakaan anak-anak
di Pakanbaru, yang berdiri hampir bersamaan dengan perpustakaan
Kawanku. Dibuka sejak 1 Oktober 1978, sampai dengan Maret 1979
perpustakaan tersebut mencatat pengunjung 1.650 anak. Komentar
seorang guru SD di Pakanbaru yang mengikuti perkembangan
perpustakaan tersebut: "Minat baca di kalangan anakanak
sebenarnya sejak awal sudah ada. Tapi mereka lebih suka menyerbu
taman bacaan yang menyewakan komik murahan. Dengan adanya
perpustakaan ini, perhatian anak-anak bisa diarahkan."
Dibuka tiga kali seminggu -- Sabtu, Minggu dan Rabu --
perpustakaan yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan
Perpustakaan Kanwil Dep. P&K Riau ini telah memiliki seribu
lebih buku bacaan. Direncanakan tahun ini koleksi buku menjadi 3
ribu. Tentu saja Perpustakaan Kawanku di Yogya boleh iri Tapi
jangkauan Ita agaknya -- tanpa dikehendakinya sendiri -- lebih
meluas. Tidak saja anak-anak yang mendekati dia, tapi juga
ibu-ibu, yang minta diajari ini-itu.
Sayang teman-teman Ita rupanya tak cukup tertarik kepada usaha
semacam ini Padahal timbulnya perpustakaan adalah awal sebuah
pendidikan yang murah, yang intinya berarti belajar sendiri
terus-menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini