Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kenali Lemak Sebelum Berobat

Jamu penurun kolesterol ternyata banyak dikonsumsi orang. Amankah menurunkan kolesterol tanpa pengawasan dokter?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMAK itu teman sekaligus musuh. Lemak berguna bagi tubuh bila dalam takaran pas, tapi bila berlebihan ia akan mengundang bahaya sangat serius: aterosklerosis. Penyakit aterosklerosis—biasa disebut penyempitan pembuluh darah arteri—adalah pemicu beberapa penyakit "kelas berat" seperti diabetes melitus (kencing manis), jantung koroner, atau bahkan stroke. Di seluruh dunia, terosklerosis merupakan penyebab terbesar kematian.

Tak ada jalan lain. Bila ingin sehat, timbunan lemak dalam tubuh memang mesti dikikis. Cuma, pengurangan lemak tidak bisa dilakukan serampangan. Bagaimanapun, lemak tetap diperlukan tubuh, sehingga pengurangannya perlu dikontrol. Selain itu, tak semua lemak bersifat merusak. Itu sebabnya penderita obesitas (kegemukan) atau aterosklerosis, misalnya, perlu menjalani terapi khusus untuk mengurangi genangan lemak dalam darahnya. Hal itu antara lain dibahas dalam sebuah seminar tentang penanganan kelebihan lemak pada pasien dengan berbagai penyakit, yang digelar pertengahan Agustus lalu di Jakarta. Diselenggarakan oleh Perhimpunan Aterosklerosis dan Penyakit Vaskuler Indonesia, seminar itu bertema "All You Need to Know about Lipid".

Dengan pembahasan yang sangat teknis, seminar itu mungkin lebih cocok diikuti para ahli. Namun, awam pun perlu mengetahui persoalan tentang lemak. Substansi yang membuat makanan berasa lezat itu memang perlu dikenali. Ketika berbagai obat penghancur lemak dijual bebas dan kini gencar diiklankan di berbagai media massa, orang perlu teliti sebelum memutuskan untuk mengobati sendiri. Benarkah obat atau jamu bisa dengan jitu menggerus—bahkan seperti memilih—lemak di sekitar perut atau paha hingga membuat tubuh menjadi langsing? Berbahayakah mengurangi kolesterol dengan jamu-jamuan tanpa pengawasan dokter? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu membutuhkan pengenalan atas lemak.

Secara garis besar, lemak dalam tubuh bisa dibedakan menjadi lemak yang tertimbun di bawah kulit (yang membuat tubuh gemuk) dan lemak yang mengalir dalam darah. Lemak berukuran sangat kecil yang mengalir dalam darah bisa direduksi dengan obat. Sebaliknya, "Lemak di bawah kulit tidak mungkin bisa diturunkan dengan obat. Kalau ada yang mengatakan lemak macam ini bisa diturunkan, saya jamin itu pasti bohong. Jadi, kalau ada yang bilang minum obat tertentu bisa menguruskan badan, atau membuat lemaknya cair, itu bohong besar," kata Hamed Omar, dokter ahli jantung dan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lemak mempunyai beberapa fraksi—ada yang berbahaya, ada yang tidak. Ada empat fraksi: low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), trigliserida, dan kolesterol total yang merupakan gabungan ketiga fraksi lemak. Tak semua lemak itu perlu dimusuhi karena hanya LDL dan trigliserida yang boleh dibilang merupakan "kolesterol jahat". Bila kadar LDL meninggi, bakal terjadi penyempitan pembuluh darah. Sementara itu, HDL, "si kolesterol baik", mampu mencegah terjadinya timbunan lemak di selaput bagian dalam pembuluh darah. Maka, dokter selalu menyarankan agar HDL ditingkatkan dengan cara yang ternyata mudah: olahraga. Kegiatan fisik ini mampu meningkatkan kolesterol baik tapi tidak bisa menurunkan kolesterol jahat.

Untuk menurunkan LDL yang telanjur menumpuk, tak ada cara lain kecuali dengan obat. Karena itu, sebaiknya orang mencegah penumpukan LDL dengan mengurangi konsumsi asam lemak jenuh yang banyak terdapat antara lain dalam lemak hewan, minyak kelapa sawit, minyak goreng, mentega, keju, es krim, dan berbagai makanan cepat saji.

Bila LDL telanjur segunung dan mesti digerus, pengobatan seperti apa yang pas? Para dokter biasa mengobati pasien yang kelebihan kolesterol dengan obat-obatan golongan statin seperti atovarstatin, pravastatin, simvastatin, lovastatin, dan cerivastatin. "Obat-obatan tersebut terbukti aman," kata Prof. Dr. T. Santoso, guru besar bidang internis dan kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Meski seharusnya pengurangan kolesterol harus di bawah pengawasan dokter, ternyata banyak orang memilih pengobatan sendiri. Di pasar memang banyak beredar jamu peluntur lemak yang gencar diiklankan. Sebut, misalnya, Prolipid. Jamu yang diklaim bisa menurunkan kolesterol itu harga per kapsulnya cuma Rp 400 (bandingkan dengan obat generik simvastatin, yang harga per tabletnya Rp 3.600, atau Valemia—obat sejenis keluaran PT Sanbe—yang berharga Rp 6.800 per tablet). Dengan omzet Rp 6 miliar per tahun, Prolipid diperkirakan menguasai 50 persen pangsa pasar jamu sejenis di Indonesia.

Jamu produksi PT Indofarma itu terdiri dari tiga bahan utama, yaitu Guazumae folium (jati belanda) sebanyak 20 persen, Murrayae folium (kemuning) 10 persen, dan Sonchi folium (tempuyung) 10 persen. Dalam kemasannya tertulis: "Konsumsi Prolipid 2 x 2 kapsul sehari mampu menurunkan lemak dan kolesterol." Digagas sejak 1996, Prolipid meluncur di pasar pada 1997, setelah produknya diujicobakan pada karyawan Indofarma sendiri. Menurut Direktur Pemasaran Indofarma, Mohammad Jasin, Prolipid telah melaju ke pasar internasional, antara lain ke Polandia (meraup Rp 2,5 miliar) dan Rusia (menghasilkan Rp 500 juta). "Kami baru saja berpameran di Las Vegas, Amerika Serikat. Di sana responsnya juga bagus. Mereka bahkan sudah meminta agar Prolipid dicoba dipasarkan di sana," kata Jasin.

Apakah ini berarti jamu tradisional seefektif obat modern dalam menurunkan kolesterol? Tak banyak bukti ilmiah yang mendukungnya. Sejauh ini pihak Prolipid baru melakukan pengujian ilmiah di Universitas Airlangga, Surabaya, yang tampaknya belum cukup meyakinkan kalangan medis. Selain itu, penelitian hanya berupa "uji klinis" di kalangan karyawan Indofarma sendiri.

Minimnya penjelasan ilmiah seperti inilah yang membuat banyak dokter masih enggan menyarankan masyarakat untuk menurunkan kolesterol dengan obat-obatan tradisional. "Hampir semua obat tradisional belum pernah menjalani uji klinis yang baik," ujar Santosa. Suara dokter umumnya cenderung menyarankan konsumsi obat-obat yang sudah jelas teruji secara ilmiah ketimbang obat yang menurut iklannya bermanfaat tapi tak disertai bukti uji klinis. Maklum, para dokter kebanyakan berpatokan pada evidence-based medicine—obat-obatan yang sudah melewati eksperimen, penelitian laboratorium, binatang, dan klinis—yang memang menjadi patokan para klinisi di seluruh dunia.

Menurut Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Sampoerna, para dokter dan farmakolog Indonesia cenderung terbiasa menerima pola Barat. "Jadi, setiap temuan obat tradisional dikatakan bukan obat. Padahal, seperti Prolipid, ia sudah melalui penelitian medis dan bisa diterima masyarakat karena aman," ujar Sampoerna.

Kini, pilihan memang berpulang pada pasien. Memilih pengobatan tradisional atau modern, yang penting pilihan itu—dengan segala risikonya—diambil setelah mendapatkan informasi yang lengkap dan jujur.

G.S.I., Kelik M. Nugroho, Hadriani Pudjiarti, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus