Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Keok karena Kerupuk

Tiga penggiat film Indonesia membuka rahasia fobia makanan mereka kepada Tempo pada pekan lalu. Rata-rata dipicu oleh pengalaman buruk di masa lalu.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA cuma perlu sepotong kerupuk untuk me­ngalahkan aktor laga Iko Uwais. Sehebat apa pun jurus-jurus silat Iko, setiap kali berdekatan dengan kerupuk, dia pasti langsung ngibrit. Ya, kerupuk, makanan garing berbahan dasar adonan tepung tapioka yang kerap ditaruh di kaleng itu. Jangankan menyentuh, membayangkan remah-remahnya saja Iko tidak sanggup. "Leher belakang (saya) langsung merinding," ujar pemeran Rama dalam film The Raid ini kepada Tempo.

Dihubungi pada Selasa pekan lalu, Iko menuturkan, bila ada remah kerupuk menyentuh kulitnya, dia langsung dilanda gatal-gatal—yang hanya dapat diredakan dengan siraman air. Suatu siang, dia makan di sebuah warung di Salemba, Jakarta Pusat. Di sebelahnya, seorang bapak tiba-tiba mengunyah kerupuk: "Kress, kriuk… kriu­uuk...." Remah-remahnya beterbangan mengenai leher pesilat ini. Kontan Uwais Qorny—nama lengkap Iko—berlari ke luar warung seraya membawa segelas air minum, dan mengguyurkan ke lehernya. "Saya takut kerupuk sejak SMP—enggak tahu kenapa," kata pria 29 tahun ini.

Dalam dunia kesehatan dan psikologi, pengalaman Iko adalah satu contoh lazim fobia makanan atau food phobia. Dewi Dewo, psikolog dari Ego State Therapy (EST) Indonesia, kerap menangani fobia seperti ini. Fobia adalah ketakutan pada obyek tertentu yang tak seharusnya. Maka fobia makanan dapat diartikan sebagai rasa takut kepada jenis makanan tertentu (yang seharusnya tak menimbulkan rasa takut). "Penyebabnya, pengalaman traumatis yang ditekan ke alam bawah sadar," kata alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu. Alam bawah sadar adalah gudang penyimpan pengalaman hidup seseorang.

Sejumlah gejala akan timbul manakala pengidap fobia menghadapi makanan yang dia takuti. Gejala-gejala itu mulai kecemasan, keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, histeris, tak bisa berpikir jernih, sampai pingsan. "Saya kerap menangani klien dengan gejala seperti ini," kata Bundy Lucy, psikolog dari Smartalent, Jakarta.

Mengapa urusan fobia bisa berpengaruh jauh ke fisik? Kata Dewi Dewo, "Apa yang ada di pikiran seseorang bisa mempengaruhi tubuh." Jika di pikirannya tercetus kata "gilo" atau "girapen"—bahasa Jawa yang berarti jijik atau menakutkan—tubuh memberi reaksi gatal. Mengutip Dewi, "Kontrol dipegang oleh pikiran, tubuh hanyalah robot."

l l l

Iko membuka ihwal fobianya di sela acara peluncuran film The Raid di bioskop-bioskop Jakarta pada akhir Maret lalu. Tempo juga menemukan beberapa penggiat film Indonesia lain yang mengidap fobia serupa. Misalnya produser Kemal Arsjad dan sutradara Rudi Soedjarwo.

Sejak usia 8 tahun, Kemal fobia terhadap roti. Mencium bau roti, dia langsung mual, bahkan muntah. Saking bencinya, pria 35 tahun ini menegaskan akan menolak tawaran uang Rp 100 juta jika duit itu ditaruh di sebelah roti—apalagi kalau ia harus memakan roti tersebut. "Saya enggak akan mau!" Kemal menegaskan.

Lain lagi pengalaman Rudi Soedjarwo, 41 tahun. Sejak kanak-kanak, ia takut dan jijik pada hampir semua jenis buah, terutama buah berbiji. Contohnya kelengkeng, anggur, atau pepaya. Di benaknya, buah adalah makanan kotor, jatuh dari pohon terkena tanah, dan kerap dirubung semut. Rasa jijiknya kian menjadi oleh pengalaman masa kecil: melihat orang membuang kulit atau biji buah sembarangan, lalu menginjak-injaknya. Saat melihat orang makan buah, kata Rudi, "Aku (seolah-olah) melihat mereka makan sampah."

Bapak tiga anak ini tahu persis pentingnya nutrisi dalam buah bagi tubuh. Itu sebabnya, ia mengkonsumsi banyak sayur dan multivitamin pabrikan sebagai pengganti. Tapi efek absennya buah segar tetap terasa. "Kulitku jelek. Terkena sinar matahari sebentar, langsung gosong. Kalau kondisi kurang fit, banyak keringat, wajahku gatal," kata Rudi.

Dokter Saptawati Bardosono, ahli gizi dari Departemen Nutrisi Fakultas Kedokteran UI, menjelaskan, kondisi kulit seperti yang dialami Rudi bisa lantaran kekurangan vitamin dan mineral. Buntutnya, jaringan kulit menipis dan kekurangan antioksidan—yang bertugas melawan radikal bebas dari sinar matahari. Adapun vitamin A dan C pada buah erat kaitannya dengan kesehatan kulit. Agar kondisi kekurangan vitamin dan mineral tak berlarut-larut, fobia tersebut harus dilawan dan Rudi butuh bantuan psikolog.

l l l

Dalam psikologi, dikenal beberapa teknik mengatasi fobia, antara lain hipnoterapi (penyembuhan dengan menghipnosis seseorang ke kondisi trance sehingga mau mengeluarkan isi hati) dan ego state therapy (EST, pendekatan dengan mengakses rasa takut seseorang).

Dewi Dewo mengaku lebih sering menggunakan EST. Cara ini akan membangkitkan akar masalah yang sudah dilesak ke alam bawah sadar. Tahap berikutnya, pengidap fobia dikuatkan untuk mengatasi masalahnya. Dewi mengaku memetik banyak keberhasilan dengan terapi ini. Syaratnya, si pengidap fobia harus menempuh terapi atas keinginan sendiri dan, "Percaya kepada terapisnya," kata Dewi. Bunda Lucy juga kerap menggunakan EST dalam menangani para pasiennya.

Sekali waktu Dewi menangani seorang wanita, sebut saja Ani, yang fobia rambutan. Bila menyetir dan ada tukang buah menawarkan rambutan dari luar mobil, tangan Ani langsung kaku mencengkeram setir dan tatapannya lurus ke depan. Dia bisa histeris jika tiba-tiba disodori rambutan. Bila ke supermarket, perempuan ini pasti menghindari tempat rambutan dijual.

Dalam proses terapi—saat Ani dalam kondisi tersugesti, mengalirlah cerita ini dari mulut si pasien, yang sejatinya merupakan akar masalah—di masa kecil Ani pernah menemukan tumpukan rambutan berlepotan tanah yang membikin dia jijik bukan main; "wajah" rambutan itu jelek, seperti monster. Sang psikolog kemudian menginformasikan kepada pasiennya hal-hal berikut: rambutan yang kotor telah dibuang dan lantai rumah dipel hingga bersih kembali. Intisari terapi dalam kasus Ani adalah rasa jijik—yang sudah puluhan tahun terbenam di benak—"dipotong", lalu dimunculkanlah perasaan positif agar pasien lebih kuat menghadapi buah ini kelak. Dewi memerlukan paling lama dua jam untuk menangani seorang pasien.

Proses kesembuhan terjadi bila pasien membuka mata—setelah bangkit dari kondisi sugesti—dan hilang rasa takutnya terhadap sumber fobia. Jika akar problem tak ditemukan, gangguan akan terus muncul. "Saat itulah fobianya dianggap kambuh," kata pelatih EST ini.

Daya tarik terapi yang banyak mengandalkan alam bawah sadar ini tampaknya meluas. "Kalau ada waktu, harus aku coba, nih," kata Rudi. Apalagi dua dari tiga anaknya kini mendapat gejala serupa. Iko juga berniat mencoba—hitung-hitung dia bisa berdamai dengan kerupuk, yang telah menjadi mimpi buruknya selama belasan tahun.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus