Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kereta Api Gemas, Mereka Cemas

Perusahaan jawatan kereta api wilayah ekplorasi Ja-Bar melakukan tindakan "operasi gemas" menangkap semua pedagang usungan yang ada di atas kereta yang sedang berjalan. (sd)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN bulan Oktober tahun lalu, Perusahaan Jawatan Kereta Api wilayah eksploatasi Jawa Barat memburu "pedagang usungan". Selama 5 hari dengan bantuan tenaga Brimob, kereta api disikat bersih. Adanya pedagang usungan dianggap menyebabkan kebersihan, ketenangan dan keimanan para penumpang sudah terganggu. Tindakan yang disebut "Operasi Gemas" itu menangkapi semua pedagang usungan yang ada di atas kereta yang sedang berjalan. Mereka didenda seharga karcis jarak yang sudah dilalui. Kemudian diturunkan dan dibekali ultimatum akan dikurung kalau sempat tertangkap satu kali lagi. Kalau ada yang bertanya kenapa, langsung ditunjuk Peraturan Umum Jawatan Kereta Api sejak zaman Belanda dulu (Algemene Bepaliugen Staatspoor en Tramwegen, ABST) yang melarang berdagang di atas kereta. Operasi tersebut tidak hangat-hangat tahi ayam. Sampai sekarang di setiap stasiun dapat dijumpai 2 orang polisi ang bertugas 12 jam, untuk berjaga-jaga. Di stasiun Cikampek ada sedikit perkecualian. Para pedagang masih diperkenankan untuk berjualan, asal dari bawah kereta. Alasannya mungkin untuk memberikan kesempatan para penumpang berkantong kempes yang tak sanggup berbelanja di restorasi, memenuhi kebutuhannya. Tapi begitu kereta berangkat dari peron, para pedagang itu harus keluar, tidak diperkenankan lalu lalang. Sekitar 200 orang pedagang usungan sekarang ada di stasiun Cikampek. Dan lak kurang dari 300 orang yang dapat dijumpai di stasiun Jatibarang, Cirebon. Enam orang pedagang di Cikampek sempat ditahan polisi karena tertangkap basah di atas kereta, Desember yang lalu. Semuanya mengeluh karena sumber hidupnya terancam. "Keluarga saya morat-marjt karena penghasilan jauh menurun dari biasa," kata salah seorang di antaranya kepada Helman Eidy dari TEMPO. Sudah Afkir Di samping mengeluh, ada juga di antaranya yang mencoba bertindak. Rasmid, pedagang lontong campur tahu goreng yang sudah berusia 50 tahun, berusaha lari ke atas bus. Setelah separuh usianya dihabiskan di atas kereta ia tidak melihat jalan lain kecuali mengungsi. Untuk menukar pekerjaan, menjadi tukang beca misalnya, atau balik ke kampunnya di Ciledug, Cirebon, menjadi petani, ia tidak sanggup. Tenaganya sudah afkiran. Rasmid memilih bus jurusan Jakarta Cikampek. Kadang-kadang ia terus sampai ke Cirebon. Tetapi di atas bus, ia menemukan persoalan yang sama. Kondektur bus sekarang tidak lagi seramah dulu. Mereka juga tidak suka digerayangi oleh pedagang usungan. Di terminal-terminal, mereka selalu buru-buru menutup pintu sambil berkata: "Mereka mengganggu. Coba di satu kendaraan mereka sampai 8 orang. Kan mengganggu?!" Rasmid tidak mungkin lagi nekad bergelantungan di pintu bus, berhubung dengan tenaganya. Kalau toh dicoba, belum tentu diberikan, karena sopir-sopir sekarang juga keras. "Habis kalau mereka jatuh, yang masuk penjara kan saya juga," kata seorang sopir di terminal Pulo Gadung kepada TEMPO. Entah berapa orang pedagang usungan di kereta api yang mengikuti jejak Rasmid. Dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 500 sehari, pedagarg usungan yang biasanya berdinas dari pagi sampai malam itu, kini terpaksa harus menghadapi medan baru. Halangannya juga tidak sedikit. Sebab di terminal bus juga bukan tidak ada larangan berjualan. Di Cikampek pada tahun 1976 seorang pedagang usungan pernah tertembak senapan angin oleh petugas terminal. Meskipun ini kecelakaan, tetapi menunjukkan bahwa petugas keamanan sempat menghunus senapan angin ke arah pedagang usungan yang dianggapnya mengganggu keamanan penumpang bus. Pedagang usungan yang melayani penumpang bus ada dua macam. Rasmid sekarang adalah jenis yang ikut di dalam mobil. Ada juga yang hanya menunggu di tepi jalan, biasanya di pintu kereta. Waktu. bus-bus terpaksa berhenti menunggu kereta lewat, mereka menyerbu masuk. Di sebuah pintu kereta (tepatnya di Bojang Sari, Bekasi) tak kurang dari 200 pedagang dijumpai. Seorang petugas LLD di Karawang memperkirakan antara Jakarta-Cikampek (85 kilometer) tak kurang dari 1000 orang jumlahnya. "Kalau diteruskan sampai Cirebon lebih dari 3 000 orang," katanya. Pedagang usungan itu umumnya bermodal kecil. Untungnya juga kecil. Rata-rata mereka hanya mendapat laba Rp 200 sampai Rp 300 sehari. Tetapi ada juga yang akalnya besar. Seorang penjual teh botol misalnya di pintu kereta Bojang Sari, bisa saja mengisi botol dengan teh palsu, sehingga dapat keuntungan berlipat. Tetapi ini langsung dibantah seorang pedagang teh botol di daerah itu dengan sumpah mati. Meskipun ia tidak bisa menjelaskan kenapa tutup botol tehnya sudah penyak-penyok sebelum dibuka. Pedagang usungan memang sejak lama namanya agak buruk. Kenapa? Di stasiun Cikampek tahun yang lalu, pernah terjadi baku hantam antara pembeli dan seorang pedagang usungan gara-gara salah paham harga. Sebotol minuman yang disangka pembeli berharga Rp 25 ternyata Rp 250. Ini menimbulkan perang mulut dan kemudian cabut belati. Baik pembeli maupun penjual akhirnya terpaksa masuk Rumah Sakit. Ada juga pedagang usungan yang dituduh menjual ayam goreng yang berasal dari ayam mati. Maksudnya, tentu, mati secara tidak wajar. Terhadap tuduhan ini Kasimah yang kini masih berjualan di stasiun Cirebon, membantah keras. Ia memang mengaku bahwa kadangkala ayam-ayam yang tak laku memang digoreng lagi untuk dijual hari berikutnya. Ia juga mengaku, kadangkala jualannya kotor, tapi itu disebabkan karena ulah para pembeli sendiri yang suka membolak-balik sebelum membeli. "Tapi soal menjual ayam mati, itu omongan yang ingin menghancurkan hidup kami," ujarnya, 'Kalau iya, berapa sih ayam mati ditabrak mobil sehari?" Ada lagi keluhan berhubung adanya pedagang yang suka menawarkan dagangan sambil main paksa. Barang yang urung dibeli dicampakkan ke wajah pembelinya. Sekali waktu rokok yang sedang dihisap penumpang dirampas dan kemudian dilemparkan ke muka penumpang itu. Lain waktu, setelah berlangsung "Operasi Gemas" rumah kepala stasiun Cirebon dihujani batu. "Kadangkala mereka memang keterlaluan, kelihatannya sudah menjurus kepada kejahatan," kata polisi di Cikampek. Ini diperkuat oleh laporan seorang kondektu bus Jakarta-Cirebon, yang menyatakan kaca busnya kena lempar, setelah para pedagang itu dilarang naik. Tapi orang kepepet, lumrah 'kan, kalau marah dan nekad? Tentu saja tidak semua pedagang usungan galak-galak. Orang seperti Wasim, 41 tahun, pedagang ayam goreng yang kita sebut tadi, tidak pernah galak. Ia masih terus mencoba bertahan di stasiun Cikampek, sambil mengeluh bahwa penghasilannya sekarang jauh menciut. Ia menjual ayam goreng, kepunyaan orang lain, dengan komisi Rp 50 setiap potong. Operasi Gemas memang memhuat penghasilan rata-ratanya melorot. Dulu tidak berarti baik: meski keadaan leluasa, ia sempat juga mengalami pasaran sepi. Misalnya satu hari ia hanya mampu menjual nasi dan dua potong ayam tok. Kalau sudah begini ia selalu berkata: "Rezeki terletak di tangan Tuhan." Karena barang jualan itu bukan miliknya, risiko Wasim hanya terbatas pada tangan kosong. Yang rugi adalah sipemilik. Tetapi meskipun demikian Wasim tetap susah. Di samping untuk perutnya sendiri, ia juga harus menyisihkan Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu untuk keluarganya yang ditinggalnya di Ciledug. Sekarang Wasim mungkin sekali sudah berpikir-pikir untuk mengungsi ke dalam bus seperti yang dilakukan oleh Rasmid. Asal ia tahu saja bahwa pedagang usungan yang sekarang beroperasi di bus-bus di Jawa Barat sekitar 6 ribu orang. Dan kemungkinan Operasi Gemas juga akan menjamah bus. Ke mana akhirnya mereka harus pergi, Operasi Gemas tak kasih jalan keluar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus