Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tidak ada sukacita saat Jasmine Tanjung, warga Ciputat, Tangerang Selatan, kedatangan delapan burung pada 2019. Padahal ada murai (Copsychus malabaricus), primadona kicau mania yang harganya saat itu belasan juta rupiah. Lainnya adalah manyar (Ploceus manyar), cockatiel (Nymphicus hollandicus), trucuk (Pycnonotus goiavier), kacer (Copsychus saularis), dan tiga lovebird (Agapornis). Ayah Jasmine menghibahkan hewan-hewan kesayangannya itu karena habis kemalingan murai di rumahnya di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jasmine, yang saat itu hidup bersama selusin marmut, gagal paham apa enaknya memelihara burung. Bisa dilihat, tapi tak bisa disentuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara pandang Jasmine mulai berubah setelah anaknya, yang berusia sekolah dasar, menunjukkannya video-video dari Bird Day di YouTube. Kanal berbahasa Indonesia dengan 150 ribu pelanggan itu berisi panduan memelihara burung tanpa sangkar. "Baru tahu burung bisa dipelihara bebas, enggak pakai kandang," ujar Jasmine, 39 tahun, kepada Tempo, pada akhir pekan lalu.
Sejak itu, hari-hari ibu rumah tangga tersebut dipenuhi agenda bermain dengan burung. Dari memanggil-manggil namanya, menyuapi makan langsung dari tangan, hingga bermain menggunakan lidi. Intinya, mengakrabkan diri dengan peliharaan barunya tersebut.
Enam bulan kemudian, cockatiel—kerap juga disebut falk atau parkit Australia—dan lovebird milik Jasmine jinak total. Mereka anteng nangkring di tangan dan bisa diajak bermain di dalam rumah bersama hewan peliharaan lain. Murai dan kawan-kawan tidak sampai bisa dikeluarkan dari sangkar, tapi tak lagi panik atau nyakot saat Jasmine mengganti air dan makanan mereka. Kini, dia tak bisa lepas dari burung-burungnya, yang bertambah menjadi 12 ekor.
Falk/cockatiel/parkit Australia (Nymphicus hollandicus) bermain di luar sangkar. TEMPO/Reza Maulana
Belajar Memelihara Burung tanpa Sangkar dari Internet
Seperti Jasmine, YouTube meningkatkan ilmu para penggemar burung. Kebanyakan kanal dan situs web burung peliharaan menyajikan informasi tentang burung paruh bengkok (Psittaciformes). Ordo burung ini dikenal luas sebagai parrot. Per 2021, sebanyak 50 juta ekor parrot atau setengah dari populasinya merupakan hewan peliharaan.
Joel Indrawan, karyawan swasta, juga memanfaatkan Internet untuk bertukar informasi antar-pemilik burung jinak. Makin banyak dia tahu, makin banyak pula koleksinya. Sejak 10 tahun lalu, rumahnya di Deltamas, Cikarang, Jawa Barat, kian dipenuhi burung. Kini, ada sepasang beo (Gracula), dua pasang cockatiel, sepasang sun conure (Aratinga solstitialis), kakaktua (Cacatua alba), African grey (Psittacus erithacus), dan nuri (Loriini) di sana.
Semua burung paruh bengkok milik Joel—beo tak termasuk—bisa diajak bermain di luar kandang. Kunci untuk menjinakkan burung adalah merawatnya sejak piyik. Saat burung belum bisa makan secara mandiri, pemilik seperti Joel menyuapinya dengan bubur formula. Proses ini membuat burung menganggap pemilik sebagai keluarganya. "Setelah itu, dia akan nurut," kata Joel, 48 tahun.
Semanut-manutnya burung, ada saja saat dia ingin bebas. Burung Joel pernah terbang keluar dan menclok di pohon di luar rumahnya, mengabaikan sang pemilik yang memanggil-manggilnya. Joel pun terpaksa menghabiskan hari dengan menunggu, termasuk makan dan minum, di bawah pohon, sampai burung itu pulang sendiri menjelang gelap.
Falk/cockatiel/parkit Australia (Nymphicus hollandicus) dan parkit lokal (Conuropsis carolinensis) bermain bersama kucing peliharaan. TEMPO/Reza Maulana
Hewan Peliharaan Berumur Panjang
Memelihara burung paruh bengkok merupakan komitmen jangka panjang. Parkit (Melopsittacus undulatus)—spesies terkecil di ordo itu—punya harapan hidup selama lima sampai delapan tahun. Sementara itu, cockatiel bisa menemani pemiliknya hingga 15 tahun.
Seekor nuri kepala hitam (Lorius lory) malah telah menjadi bagian dari keluarga Rachajeng Intan Ericka sejak 1996. Burung yang dipanggil Uri Geviar itu merupakan pemberian kerabat. Saat datang, dia masih piyik dan belum berbulu. "Kami taruh di kardus, dilapisi seprai supaya hangat," kata Rachajeng, 38 tahun.
Setelah nuri itu makin besar, keluarga Rachajeng menempatkannya di dalam kandang, sebagaimana burung lain dipelihara. Namun Uri Geviar memaksa keluar dari sela jeruji dan membuatnya tercekik. Keluarga Rachajeng pun tak sampai hati mengurungnya lagi. "Sejak itu, kami enggak pernah kandangin dia," ujarnya.
Kini, setelah 26 tahun, nuri tersebut terus menghibur keluarga Rachajeng. Satu-satunya hal yang bikin mereka keki adalah tahi dijatuhkan tanpa permisi. Untuk itu, Rachajeng dan anaknya selalu siap dengan pel dan tisu basah.
REZA MAULANA | ANGGI ROPININTA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo