Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tenggelam di Putusan Setya

Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus e-KTP. Nama-nama anggota DPR periode 2009-2014 penerima duit tak disebut di dalam putusan.

29 April 2018 | 00.00 WIB

Tenggelam di Putusan Setya
Perbesar
Tenggelam di Putusan Setya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BEGITU majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengetukkan palu tanda pembacaan putusan selesai, Setya Novanto langsung menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang sidang. Matanya beberapa kali terpejam. Mengenakan batik cokelat panjang, bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu sering menundukkan kepala dan tak mau meladeni pertanyaan wartawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Saat singgah di ruang tunggu pengadilan, Setya sama sekali tak mau berbicara kepada pengacara, bahkan keluarga. "Saya stres," ujarnya sebelum meninggalkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Setya baru mau mengutarakan sikap atas putusan hakim kepada Maqdir Ismail, yang membesuknya di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi sehari setelah sidang. Kepada salah satu pengacaranya itu, Setya mengatakan kecewa terhadap vonis hakim. Kepada Maqdir, ia juga mempertanyakan putusan yang sama sekali tak mencantumkan nama-nama anggota DPR periode 2009-2014 yang disebut di persidangan. "Dia syok mengetahui itu," kata Maqdir

Selain divonis 15 tahun penjara, bekas Ketua Fraksi Partai Golkar ketika proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) bergulir ini dihukum membayar denda Rp 500 juta. Hakim juga memerintahkan Setya mengembalikan duit US$ 7,3 juta kepada negara. Setelah bebas menjalani hukuman, bekas Bendahara Umum Golkar ini dilarang hakim terjun ke dunia politik selama lima tahun.

Menurut majelis hakim yang dipimpin Yanto, Setya terbukti menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Majelis juga menyatakan Setya menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua Fraksi Golkar saat proyek e-KTP bergulir sehingga negara rugi Rp 2,3 triliun.

Dalam putusannya, hakim menyebutkan ada 27 pihak yang diduga ikut menikmati aliran duit. Beberapa yang disebut adalah bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebesar Rp 50 juta serta Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni sebesar US$ 500 ribu dan Rp 22,5 juta. Gamawan membantah menerima duit itu.

Dari kalangan anggota parlemen, ada nama bekas Ketua DPR, Ade Komarudin, yang disebut menerima US$ 100 ribu, dan tiga anggota DPR periode 2009-2014 yang diduga menerima duit proyek. Hakim juga menyebut ada beberapa anggota DPR periode itu yang ikut menikmati duit proyek e-KTP. Diduga, uang yang mengalir ke mereka mencapai US$ 12,856 juta dan Rp 44 miliar.

Maqdir Ismail mengatakan Setya Novanto kecewa karena nama-nama yang disebut di dalam putusan sebenarnya tidak punya peran signifikan. Tim pengacara Setya mencatat ada 21 nama anggota Dewan yang disebut di persidangan tapi tak dicantumkan dalam putusan. "Mereka yang namanya hilang punya peran penting," ujar Maqdir.

Salah satu di antaranya Chairuman Harahap, Ketua Komisi Pemerintahan DPR periode 2009-2014. Ada juga nama Agun Gunandjar, yang merupakan Ketua Komisi Pertahanan pengganti Chairuman; Mirwan Amir, yang ketika proyek ini digodok merupakan Wakil Ketua Badan Anggaran; dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang ketika itu merupakan Wakil Ketua Komisi Pemerintahan. Dalam beberapa kesempatan, mereka ini membantah menerima uang.

Nama mereka sebelumnya sangat jelas tercantum dalam berkas dakwaan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, yang disidang lebih dulu. Dalam putusan, hakim menghilangkan sebagian besar nama anggota Dewan tersebut. Hanya tersisa nama politikus Golkar, Ade Komarudin dan Markus Nari, serta Miryam S. Haryani dari Fraksi Hanura.

Dalam dakwaan pengusaha Andi Narogong, nama-nama anggota Dewan itu sama sekali tak disebut. Tapi, sepanjang persidangan, nama mereka muncul sebagai pihak yang disebut menerima duit e-KTP. Dalam putusannya, hakim memasukkan sebagian nama anggota Dewan yang di persidangan menerima uang: Setya Novanto, Ade Komarudin, Miryam S. Haryani, Markus Nari, dan Mohammad Jafar Hafsah. Dalam dakwaan Setya, jaksa KPK hanya mencantumkan empat nama itu.

Seorang penegak hukum yang mengetahui kasus ini mengatakan KPK belakangan hanya mencantumkan sedikit nama dalam dakwaan Andi dan Setya karena mereka yang buktinya cukup kuat. Jafar Hafsah, kata dia, termasuk yang mengembalikan duit yang disebut dari e-KTP senilai US$ 100 ribu dari Muhammad Nazaruddin, koleganya di Fraksi Demokrat. Jafar tak menyangkal soal ini. "Kalau dianggap duit e-KTP, saya kembalikan saja," ujarnya.

Nama-nama lain menghilang dalam dakwaan Setya, kata sumber ini, karena Miryam mencabut keterangannya sebagai saksi. Padahal dialah yang pertama kali membongkar nama-nama penerima duit dari kalangan Dewan. "Ketika membuat BAP (berita acara pemeriksaan), saya ditekan penyidik," ucapnya, awal Maret tahun lalu.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Miryam diduga ditekan sejumlah politikus agar membantah semua tuduhan aliran uang ke Senayan. Ia bahkan dipanggil beberapa koleganya sebelum pemeriksaan pada saat penyidikan. Tekanan yang sama disampaikan kepada seorang saksi, yang kemudian mengubah keterangan pada saat pemeriksaan di KPK. Dimintai konfirmasi soal ini, Miryam mengaku yang menekannya justru penyidik KPK.

Di persidangan Setya, sejumlah saksi blakblakan menjelaskan aliran dana e-KTP ke anggota Dewan periode 2009-2014 di Senayan. Bahkan Setya juga menyebutkan nama-nama anggota Dewan yang menerima duit. Dua di antaranya kolega Setya di Golkar, Chairuman Harahap dan Melchias Marcus Mekeng. Chairuman saat itu adalah Ketua Komisi Pemerintahan Dewan dan Mekeng merupakan Ketua Badan Anggaran. Keduanya sudah membantah menerima duit. "Saya tak pernah berurusan dengan proyek itu," ujar Mekeng.

Di persidangan, Setya menceritakan bahwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, orang dekatnya, mengaku sudah memberikan duit US$ 500 ribu masing-masing kepada Chairuman dan Mekeng. Selain meminta konfirmasi ke Andi, Setya mengatakan dia menanyakan langsung ke Chairuman soal pemberian duit. "Kepada saya, Chairuman mengatakan itu sudah diselesaikan," katanya.

Andi bersaksi bahwa ia memberikan uang total US$ 7 juta ke DPR untuk memuluskan proyek e-KTP. Dia menyebutkan uang diberikan setelah ditagih Setya dan Chairuman. "Jadi yang dieksekusi senilai US$ 7 juta," ujar Andi.

Setya juga beberapa kali menyebut nama politikus PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, menerima duit US$ 500 ribu. Setya mengaku menerima laporan dari sejumlah saksi, termasuk Andi. Ganjar, yang kini menjadi Gubernur Jawa Tengah, menyangkal pemberian ini. "Saya tidak terima," katanya.

Mengaku mendapat informasi dari Andi dan keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi, Setya juga mengatakan di persidangan bahwa sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 menerima duit. Mereka adalah Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Arif Wibowo, dan M. Jafar Hafsah. Masing-masing, Setya menyebutkan, menerima US$ 500 ribu. Dalam berbagai kesempatan, mereka membantah menerima duit. "Tidak pernah ada uang," ujar Olly. Di persidangan, Irvan membantah pengakuan pamannya itu.

Pada persidangan akhir Maret lalu, Setya menyebut dua nama baru yang diduga menerima duit: Puan Maharani, kini Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Pramono Anung, Sekretaris Kabinet. Penyerahan duit itu, menurut Setya, ia ketahui dari koleganya, Made Oka Masagung. Dia menyatakan bahwa Made Oka yang membagikan duit tersebut. "Masing-masing US$ 500 ribu," ucap Setya.

Melalui pengacaranya, Bambang Hartono, Made Oka Masagung membantah pernah memberi tahu Setyasoal pemberian uang kepada Puan Maharani dan Pramono Anung pada Oktober 2012. "Pernyataan itu tidak benar karena Pak Made (Oka) tak pernah ke rumahSetya pada Oktober 2012," ujar Bambang.

Puan Maharani mengatakan tidak pernah menerima uang terkait dengan proyek KTP elektronik. "Selama menjadi ketua fraksi, saya tidak pernah membahas e-KTP," ucap Puan, Jumat dua pekan lalu. Pramono Anung pun membantah "nyanyian" Setyadi persidangan. "Saya itu enggak pernah ngomong satu kata pun yang berurusan dengan e-KTP," ujarnya.

Dalam berkas tuntutan Setya, jaksa tak memasukkan nama-nama anggota Dewan yang terungkap di sepanjang persidangan. Hanya tercantum nama Miryam S. Haryani, Markus Nari, Ade Komarudin, dan Jafar Hafsah. Empat nama itu bertahan sampai putusan Setya. Selebihnya, hakim hanya menyebutkan ada beberapa anggota DPR periode 2009-2014 menerima US$ 12,856 juta dan Rp 44 miliar.

Seorang penegak hukum mengatakan penyidik sedang berupaya agar Made Oka dan Irvanto Hendra mau terbuka. Keterangan mereka, kata pegawai KPK itu, akan merangkai simpul penerimaan duit ke DPR. "Keduanya tahu dan diduga turut mengalirkan dana ke anggota Dewan," ujarnya. Perkara mereka masih dalam penyidikan.

KPK sudah menetapkan Made Oka sebagai tersangka karena diduga menjadi perantara jatah proyek e-KTP bagi Setya melalui dua perusahaannya di Singapura. Total dana yang diterima Oka yang kemudian diteruskan kepada Setya sebesar US$ 3,8 juta. "MOM (Made Oka Masagung) diduga juga menjadi perantara fee untuk anggota DPR sebesar 5 persen dari proyek e-KTP," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo. Irvanto juga sudah menjadi tersangka.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan lembaganya terus menelusuri keterlibatan pihak lain dan mengembangkan kasus ke tindak pidana pencucian uang. "Kami tidak bisa menyebut nama. Itu strategi penyidikan. Tunggu saja," katanya.

Syailendra Persada, Alfan Hilmi, Indri Maulidar, Taufiq Siddiq

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus