Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kisah Si Temu di Istana

Temu lawak dipercaya berkhasiat menyembuhkan banyak penyakit. Segera dinobatkan sebagai minuman nasional.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah istana di Jakarta dan segelas jus temu lawak rasa markisa. Ini disuguhkan untuk para bapak dan ibu menteri yang beranjangsana ke Istana Negara atau menghadiri sidang-sidang kabinet. Marilah menyehatkan badan. Ini ide Sampurno, Ketua Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). "Segar, bermanfaat pula," kata Sampurno, yang tengah gencar menjadikan jus temu lawak sebagai suguhan di istana.

Pemerintah memang serius hendak mengangkat pamor tanaman bernama ilmiah Curcuma xanthorrhiza ini. Se-buah program gagah lagi mentereng, Gerakan Nasional Minum Temu Lawak, segera diluncurkan awal tahun 2005 nanti. Sehelai surat edaran juga telah diteken Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Isinya, para pengelola hotel diserukan untuk menyajikan temu lawak sebagai welcome drink, minuman selamat datang resmi kepada tetamu. "Hanya, rasanya mesti dimodifikasi. Jangan pahit seperti jamu," kata Sampurno.

Ada setumpuk alasan mengapa temu lawak terpilih sebagai minuman nasional. Khasiat tanaman yang rimpangnya beraroma tajam ini telah dikenal sejak zaman nenek-moyang. Mbakyu penjual jamu gendong, misalnya, tak pernah alpa membawa botol-botol ramuan temu lawak di dalam bakul mereka. Simbok-simbok di pedesaan juga fasih menggunakan temu lawak untuk menuntaskan beragam persoalan: meningkatkan nafsu makan balita, menutup keran diare, menggenjot stamina, sampai mengusir encok-pegel-linu. Bahkan, konon, kulit wajah yang kusam berjerawat pun bisa dibikin mulus kinclong jika si empunya wajah rajin minum temu yang satu ini.

Penobatan temu lawak, menurut Sampurno, juga berlandaskan kajian ilmiah. "Berbagai riset telah dilakukan, ada yang telah mencapai uji klinis," kata Sampurno. Dalam beberapa tahun terakhir, Badan POM juga memasukkan temu lawak ke "Sembilan Tanaman Unggulan" yang layak diteliti dengan serius. Termasuk dalam daftar tumbuhan darling ini adalah sambiloto (Andrographis paniculata), kunyit (Curcuma domestica), jahe merah (Zingiber officinale), dan jambu biji (Psidium guajava).

Riwayat temu lawak menarik pula untuk diikuti. Meskipun banyak tumbuh di negara-negara Asia, sesungguhnya temu yang satu ini adalah tanaman asli Nusantara. Temu lawak dahulu kala hanya tumbuh di Pulau Jawa, Maluku, dan Kalimantan.

Pada abad ke-16, Bontius, seorang dokter Belanda yang tinggal di Batavia, mengabarkan khasiat temu lawak pada masyarakat Eropa. Sejak itulah, tanaman yang juga dikenal sebagai Curcuma javanica ini banyak diekspor ke berbagai negara dan dikenal sebagai liver tea, rimpangnya diseduh dan diminum untuk memelihara kesehatan liver atau hati. Jadi, bisa dibilang bahwa gerakan nasional minum temu lawak sebenarnya adalah membawa kembali si temu pulang ke rumah.

Lalu, gerangan apa yang membikin te-mu lawak begitu sakti? Para peneliti menyebut curcumin sebagai senyawa antioksidan di balik kesaktian temu lawak. Memang, di antara tetumbuhan dalam famili jahe-jahean (Zingiberaceae), kandungan curcumin dalam temu lawak adalah yang tertinggi, yakni 62 persen. Bandingkan dengan kunyit yang me-ngandung curcumin 47 persen.

Dr. Ernawati Sinaga, Direktur Pusat Penelitian Tumbuhan Obat, Universitas Nasional, Jakarta, termasuk dalam jajaran peneliti yang telah meneliti kesaktian temu lawak. Pada 1984, dengan menggunakan mencit (tikus putih) sebagai percobaan, Erna membuktikan bahwa sari temu lawak sanggup menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare secara signifikan. Ernawati juga menggelar riset pada sekelompok mencit yang sel-selnya sengaja dipacu tumbuh liar hingga menjadi kanker. Hasilnya, "Sel kanker terbukti lebih lambat tumbuh pada mencit yang diberi sari temu lawak," katanya.

Namun Ernawati mengakui bahwa kedua penelitiannya baru sebatas uji laboratorium dengan menggunakan mencit. "Perlu riset lebih lanjut," katanya.

Riset temu lawak juga banyak dilakukan oleh lembaga penelitian luar negeri. Lin S.C. dan Supriyatna, farmakolog dari Sekolah Kedokteran Taipei, Taiwan, misalnya, melaporkan hasil riset mereka dalam American Journal of Chinese Medicine, tahun 1995. Penelitian ini menyimpulkan bahwa temu lawak sanggup menurunkan secara signifikan kadar aspartat dan alanin transaminase serum yang menandakan adanya gangguan fungsi liver. Lin dan kawan-kawan juga membuktikan bahwa temu lawak juga bisa memperbaiki organ liver yang rusak lantaran terjadinya keracunan empedu.

Tidak berhenti hanya meneliti, Ernawati Sinaga juga cukup rajin mengkonsumsi temu lawak. "Biar tubuh selalu bugar," katanya. Ernawati lebih menyukai ramuan temu lawak asli buatan sendiri, bukan yang dikemas dalam bubuk yang siap saji. Soalnya, "Proses pengeringan pada minuman instan bisa membuat zat-zat yang berguna jadi hilang menguap," kata Erna.

Seperti halnya Ernawati, Heru, karyawan swasta yang tinggal di Jakarta, juga mendapatkan manfaat temu lawak. Setahun lalu, lelaki 38 tahun ini didiagnosis mengidap hepatitis A. Uji darah menunjukkan kadar serum aspartat transaminase (SGOT) dan alanin transaminase (SGPT) telah meningkat di atas normal pertanda adanya gangguan fungsi hati. "Belum kelewat parah, sih. Tapi setumpuk obat kimia yang mesti saya konsumsi membuat saya gentar," kata Heru. Maklumlah, terlalu banyak meminum obat kimia juga berisiko memberatkan kerja hati sebagai organ penyaring racun.

Kemudian, seorang kerabat menyarankan agar Heru minum rebusan temu lawak, kunyit putih, dan gula merah. "Dalam hitungan beberapa minggu, kondisi saya membaik," katanya. Sampai kini Heru masih rajin mengkonsumsi ramuan temu lawak kala ia merasa staminanya mulai turun. Katanya, "Sekadar jaga-jaga, begitu lemah, mual, dan pusing, saya langsung minum lagi."

Lain lagi cerita Santoso, 42 tahun. Dua tahun lalu, karyawan di perusahaan perfilman ini terserang stroke ringan. Obat-obatan yang diresepkan dokter sudah tuntas dia minum, tapi sakit kepala yang hebat masih sering muncul. Apa akal?

Santoso kemudian menjajal resep yang didapat dari sebuah acara di televisi. Irisan temu lawak dikeringkan dan diseduh dengan sereh, cengkeh, dan gula aren. "Selama sakit saya minum tiga gelas ramuan sehari, pagi-siang-malam," katanya. Tiga pekan berikutnya, Santoso berobat ke dokter dan kondisinya dinyatakan sehat walafiat.

Namun ada peringatan kritis dari Profesor Iwan Darmansjah, guru besar farmakologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Iwan menekankan bahwa banyaknya pengalaman mereka yang sembuh lantaran temu lawak belum bisa dibilang sebagai bukti sahih. Apalagi penelitian temu lawak yang ada baru sebatas uji laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan. Kalaupun ada uji klinis, sifatnya baru terbatas belum dipublikasikan luas dalam jurnal ilmiah.

Profesor Iwan juga merisaukan kemungkinan nuansa komersial yang lebih pekat dalam gerakan nasional minum temu lawak ini. "Gerakan nasional itu, jangan-jangan, karena mereka mau jualan saja," kata Iwan. Kecurigaan ini muncul karena begitu banyak obat dan jamu tradisional yang beredar dengan klaim khasiat hanya berdasar "kepercayaan" dan bukan berdasarkan penelitian ilmiah yang terukur. "Kalaupun ada penelitian, hasilnya paling begitu-begitu saja," kata Iwan.

Harus diakui, kendala utama penelitian berkualitas terletak pada terbatasnya dana. Pemerintah, Iwan melanjutkan, semestinya serius berkomitmen menyokong penelitian ilmiah terhadap obat-obatan tradisional. Bukan hanya terhadap temu lawak tetapi juga untuk bahan tradisional lain yang bernilai. Buah merah (Pandanus conoideus), yang kini sedang diributkan bisa memerangi virus HIV, misalnya, perlu diteliti dengan serius. Bila perlu, dana pendukung dicarikan dari hibah atau pinjaman superlunak dari luar negeri. "Kalau hasilnya baik," kata Iwan, "hal itu tentu bisa menjadi karya besar yang mengharumkan Indonesia."

I. Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus