Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pulangnya Orang yang Baik Budi

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Remy Sylado Musikus, novelis

Pada suatu siang saya menerima telepon dari bos Twilite Orchestra. Addie M.S. berpesan supaya saya menyaksikan konsernya besok malam, karena itu akan lain dari biasanya: Harry Roesli akan tampil di situ. Pesannya, "Harry sendiri ingin ditonton oleh gurunya."

Di dalam buku acara konser Twilite Orchestra itu memang ditulis pengakuan Harry bahwa ia belajar musik dari saya. Itu pun sudah ditulis musikolog Dieter Mack dalam sebuah penelitiannya. Sudah tentu itu membuat saya merasa terlalu dihargai. Sebab, Harry sudah terampil bermain musik, dengan basic klasik, ketika saya berkenalan dengan dia di beberapa panggung pertunjukan musik di Bandung 1970-an tempat kebetulan kami sama-sama tampil.

Anak-anak muda di Bandung pada tahun-tahun itu pasti ingat sosok buyung nan tambun bermain musik rock & blues dengan vokal melengking elok. Lalu, merasa jemu dengan itu, dia kemudian beralih ke instrumen akustik. Dengan kelompoknya The Gang of Harry Rusli—waktu itu dia mengeja Rusli, bukan Roesli, sebab katanya kakeknya pun, pengarang yang harum namanya itu, menulis Marah Rusli—dia membuat rekaman yang terinspirasi dari protes-protes Bob Dylan.

Sejak itu, dia akrab dengan saya. Sering berbincang, sering datang ke rumah saya. Jika tidak, paling-paling kasih halo lewat telepon. Dan kalau dia bertelepon, selalu ceria, selalu disertai dengan banyak ha-ha-ha. Kecuali ketika dia bermasalah dengan polisi, gara-gara memelesetkan sebuah lagu nasional dalam upacara peringatan hari kebangsaan. Suaranya agak tegang. Dia minta saya menjadi "saksi ahli" kalau sampai perkaranya diadili di meja hijau. Kebetulan sebuah surat kabar pagi di Jakarta meminta saya menulis kasus Harry itu. Maka, dalam tulisan itu saya mempersalahkan polisi dengan katakanlah memberi pengetahuan asasi soal estetika musik: kebebasan ekspresi, keleluasaan imajinasi, dan ketidakterbatasan kreatif dalam mencipta parodi, menyangkut apa yang dikenal dalam kritik musik sebagai impersonasi lirik, parafrase tonal, dan travesty terhadap bentuk yang baku, semuanya dalam wujud penafsiran-penafsiran ganda.

Secara alami Harry memiliki itu dalam bakatnya. Dialah anak muda 1970-an yang cerdik, berselera bagus, dan terampil memperagakan jiwa rock dan blues, serta setia dalam memilih berpenampilan nyeleneh dengan pakaian hitam-hitam, kadang-kadang kucel dan seakan-akan tak acuh, namun ternyata seorang sahabat yang tulus menghargai orang, memberi perhatian yang tinggi kepada orang-orang yang susah, sekali sering juga menertawai pengalaman-pengalaman masa pertumbuhannya sebagai pemain musik.

Kalau dia bercerita tentang pengalaman-pengalaman awal bermain musik—ketika dia masih bercelana pendek dan bergabung dalam "band bocah"—dia melakukannya seperti seorang aktor me-review kejadian-kejadian dalam acting. Dan cerita yang lucu bagi Harry bisa mengundang cemberut bagi orang yang jadi obyek cerita-ceritanya. Begitu, misalnya, ketika dia bercerita pengalaman "band bocah"-nya bersama-sama Deddy Dores, dan saya muat itu di majalah tempat saya mencari nafkah. Kata Harry, ketika dia dan Deddy tampil pertama kali di gedung kesenian JPK, Jalan Naripan I, mereka sama-sama gemetar. Deddy mengintip di belakang layar dan mengatakan bahwa penontonnya sudah banyak. Harry bertanya, ada berapa penontonnya itu. Jawab Deddy, kira-kira ada 200 orang. Karena penasaran, ia mengintip sendiri. Ceritanya kepada saya, "Ternyata cuma ada 20 orang. Soalnya, mata Deddy yang juling, dengan kacamata hitam, melihat yang 20 menjadi 200."

Dia pintar bikin cerita. Angannya ingin juga menjadi penulis cerita, seperti kakeknya. Tetapi dia belum pernah mencoba menulis. Waktu itu dia baru mulai menulis-nulis puisi. Setelah merilis rekamannya dengan The Gang of Harry Rusli, dia mulai rajin menulis puisi. Sebuah bundel puisinya, berupa naskah, ada yang ditik ada pula yang ditulis tangan, pernah dibawanya ke rumah saya. Katanya, dia ingin menerbitkan itu. Meminta saya membuat pengantar dan menghias beberapa halaman dengan sketsa-sketsa. Dia bilang, pekan depan dia akan kembali mengambilnya. Tapi sampai dua tahun dia tidak muncul. Ternyata dia pergi ke Belanda melanjutkan kuliah musik di sana.

Ujuk-ujuk pada tahun ketiga dia muncul. Malam-malam gerimis dia ketuk pintu rumah saya. Pada waktu itu, pukul 21.00 di Bandung sudah termasuk sepi. Jadi, malam yang sepi, disertai dengan hujan rintik-rintik, membuat saya aras-arasen membukakan pintu. Begitu pintu dibuka, Harry tertawa. Dia muncul dengan memegang sebuah map. Walau dia nakal dan teman-teman dekat menyebutnya "slengekan", basa-basinya terjaga. Dia memulai kalimatnya dengan maaf. Katanya dengan ber-"lu & gua" dalam lentong Sunda yang kental, "Sori euy, gua ngeganggu lu. Soalnya, sebelum gua ke mana-mana, gua harus ke lu dulu ngucapin terima kasih. Sebab, gara-gara lu 'ngeracunin' gua, jadi gua belajar di Belanda, dan sekarang udah lulus. Nih." Dia membuka map yang dibawanya, lantas mengeluarkan ijazah dari Belanda yang sudah dilaminasi segala.

Setelah dari Belanda, dia memang seperti sungai di musim hujan. Tiada tepermanai kreativitasnya mengalir. Dari hasil timba ilmu di Belanda, dia memulai dengan menggarap puisi Yudhistira Ardi Noegraha lewat eksperimen baru pada melodi-ritme-harmoni, yang kata saya: persis seperti rujak ulek antara Cage, Stockhausen, dan Xenakis. Untuk itu, dia minta saya membuatkan pengantar dalam buku acara pertunjukannya. Saya bilang kepadanya, kalau dia mau masuk ke wilayah musik "avant-garde", avant garde dalam pengertian Indonesia adalah perjumpaan yang dipaksa menjadi mempelai antara tradisi musik Timur dan progresi musik Barat dalam mana di atas sisik eksistensi materialnya dijubahi dengan apologia-apologia kesekolahan dan teori-teori cerdik yang dia harus siap kesepian, siap terasing, dan siap dianggap aneh oleh orang-orang awam, kelas penguasa yang selalu memandang manfaat seni lebih mustahak ketimbang martabat seniman.

Sampai begitu jauh, setelah berjalan kurang sepuluh tahun, barulah saya mendengar pendapat orang awam, kelas penguasa, tentang musik kontemporernya Harry Roesli. Moerdiono, yang waktu itu menjabat Menteri Sekretaris Negara, menyaksikan pertunjukan musik Harry di Flores Room, Hotel Borobudur. Renny Djajoesman, yang menyelenggarakan acara itu, meminta saya duduk menemani sang Menteri. Kelihatannya sang Menteri terkesima. Tapi ia bertanya kepada saya, "Musik apa ini?" dan jawab saya seperti guru SD inpres: "Ini yang disebut musik kontemporer, Pak" Lalu, katanya, "Kalau disuruh main musik yang bener, bisa tidak?"

Naga-naganya, Harry harus berubah memasuki dunia awam. Begitu akhirnya saya liat dia ketika dia tampil tiap pekan di Indosiar menjadi juri AFI, sebuah dunia mimpi khalayak awam yang penuh ditabur glamor—atau dalam bahasa komponis Suka Hardjana "dunianya orang-orang bodoh tapi ditresnani Gusti Allah". Yang membuat saya agak masygul, Harry Roesli yang doktor musik yang belajar di dua negara maju—dan menurut pengarang cerpen Bre Redhana, di kartu namanya bahkan ditulis Prof. Dr. Harry Roesli—kok membiarkan harkatnya menjadi peran bayang-bayang di belakang Trie Utami yang asbun-asbun dengan istilah-istilah "nginggris" yang ngaco.

Tapi, ya na'am, begitulah, Harry sahabat yang baik, teman yang berpengertian, cempiang yang dikagumi kaum muda, pahlawan bagi orang-orang yang termarginalkan, serta cantrik yang cendikia, sekarang telah berpulang ke rahmat Allah. Sungguh saya sangat terkinjat, termangu, dan terpukul ketika pertama kali mendapat kabar itu dari SMS yang dikirim Jajang C. Noer, sekian menit setelah Harry mengembuskan napasnya yang penghabisan.

Rasanya ini memang jelimet. Dan seperti mustahil. Sebab, beberapa bulan lalu Harry masih menemui saya di Dago Tea House, Bandung, berkata dengan amat serius dengan gaya tuturnya yang khas itu, "Lu harus bener-bener jaga kesehatan, euy. Soalnya, kalo lu enggak ada, gua lebih dulu yang bakal merasa kehilangan."

Keruan saya sangat terharu.

Innalillahi wainnailaihi rajiun.

Karena dia orang beriman, saya percaya dia masuk surga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus