Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Konflik Mengganggu Jiwa Mereka

Kerusuhan tak hanya meninggalkan kehancuran, juga orang-orang yang sakit jiwa. Terapi apa yang tepat untuk mereka?

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki itu tertawa sendiri, sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Sesekali, tangannya yang memegang sebuah boneka bergerak naik-turun, bak orang tua meninabobokan seorang bayi. Namun, tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas, ia menangis sesenggukan, sambil mendekap erat boneka kumal itu. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun untuk anaknya, Nisma, 6 tahun, anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Lelaki malang itu bernama Abdul Samad, 49 tahun. Penduduk Desa Tamboro, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso ini mengalami gangguan jiwa akibat kerusuhan berdarah di sana, Mei-Juni tahun lalu. Samad kehilangan istri dan empat anaknya, dibantai gerombolan perusuh. Mayat istri dan tiga anak lelakinya ditemukan hanyut di Sungai Poso. Adapun jasad Nisma, 6 tahun, tergeletak di kebun tak jauh dari rumahnya. Samad kini menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa Mamboro, Palu. Tentu, ia tidak sendirian. Di sana ada pula Yo Safat, 29 tahun. Yo masuk rumah sakit itu pada Senin, 30 April lalu. Ia menempati bangsal "gaduh gelisah", sebutan lain untuk unit gawat darurat. Yo mengalami stres berat karena pohon cokelatnya yang siap panen berjumlah 1.600 batang dibabat habis oleh "kelompok merah". Bila malam, ia tidak bisa tidur, gelisah, dan marah-marah. Ia juga sering mau menyerang orang lain. Itu sebabnya, ketika masuk rumah sakit, ia langsung diikat. Hingga kini, lelaki itu masih tetap terikat di terali ranjang. Abdul Samad dan Yo adalah dua di antara sekian banyak orang yang mengalami gangguan jiwa akibat konflik di daerah Poso. Rumah Sakit Jiwa Mamboro, Palu, mencatat jumlah penderita gangguan jiwa 46 orang pengungsi Poso. Selain itu, ada 102 orang yang statusnya berobat jalan. Mereka yang dirawat itu, menurut Dokter Eko Marzuki--direktur rumah sakit--umumnya mengalami depresi mental atau stres dalam stadium tinggi. Eko memastikan, gangguan jiwa itu sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan konflik etnis yang terjadi di Poso. Itu bisa diperhatikan dari pembicaraan di bawah sadar mereka yang selalu menyebut hal yang berbau kerusuhan. Ekspresi wajahnya juga menampakkan ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan. "Mendengar ledakan saja, mereka langsung ketakutan. Ada juga yang baru mendengar bunyi sudah kaget dan menjerit-jerit," Eko bercerita. Ini menggambarkan betapa beban kejiwaan yang mereka rasakan tidak ringan. Memang, seperti kata Eko, stres di daerah konflik jauh lebih berat dibandingkan dengan daerah lainnya, termasuk daerah bencana alam. Di daerah bencana alam, orang stres masih bisa merekonstruksi sebuah kejadian. Orang itu juga masih bisa bermain. Hal yang sama terjadi di Aceh. Tingkat gangguan jiwa yang terjadi di Bumi Serambi Mekah itu jauh lebih tinggi daripada daerah lain. "Selama beberapa bulan terakhir ini, setiap harinya kami menerima 50-65 pasien," kata Dokter Mohd. Idris Ibrahim, Direktur Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh. Maklum, konflik yang terjadi di Aceh sudah berbilang belasan tahun, sejak diberlakukan daerah operasi militer pada 1989. Salah seorang ahli jiwa di rumah sakit itu, Dokter Sukristoro Wardoyo, memperkuat pernyataan Idris. Ia memperkirakan, penderita gangguan jiwa kategori berat di Aceh 16 ribu orang. Tentu, jumlah penderita gangguan jiwa ringan dan stres jauh lebih banyak dari itu. Untuk kategori itu, Sukristoro menyebutkan, seorang dari lima penduduk Aceh adalah penderita gangguan jiwa. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari krisis ekonomi hingga konflik bersenjata berkepanjangan, yang membuat setiap orang merasa diri terteror. Tragisnya, jumlah penderita yang tinggi itu tidak dibarengi dengan fasilitas pengobatan yang memadai. Penuturan Idris ini bisa memberikan gambaran: pasien rawat inap di rumah sakit itu saat ini berjumlah 219 orang. Padahal, daya tampungnya hanya 180 orang. Solusinya, ya, sebagian harus tidur di gang-gang. "Kami tidak mungkin menolak pasien," tutur Idris. Yang pelik adalah cara menyembuhkan mereka. Sebab, seperti dikatakan Dokter Eko, potensi kesembuhan penderita gangguan jiwa karena kerusuhan atau yang kerap disebut stres pascatrauma (post-traumatic stressing disorder) agak lama. "Diperlukan waktu dua atau tiga tahun," tutur Eko. Waktu yang tidak singkat. Tetapi, apa pun kategori gangguan jiwanya, menurut Dokter Danardi, Sp.K.J., staf Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menanganinya: obat-obatan, terapi bersifat individu, dan terapi kelompok. Untuk obat-obatan, bisa digunakan obat anticemas, antidepresi, atau kalau pasien itu diduga menderita psikosis, diberikan obat antipsikosis. Psikosis adalah sebuah jenis gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan mengendalikan emosi, pikiran, dan tak bisa membedakan antara alam realitas dan alam fantasinya. Psikosis ini jarang terjadi di daerah konflik. Kalaupun ada, itu psikosis akut yang sifatnya ringan, bukan skizofrenia. Sementara itu, terapi untuk penderita gangguan jiwa pascatrauma adalah psikoterapi singkat. Terapi ini dilakukan secara individual. Prinsip terapi ini, psikiater mencari tahu apa yang dirasakan dan dialami penderita, kemudian menelusuri apa penyebab gangguan jiwa itu. Juga, apakah pasien bisa melihat sesuatu yang bisa diselesaikan. Kalau tidak, daya tahan mentalnya dibangkitkan. Di samping itu, ada pula terapi kelompok, terapi dinamis. Dalam terapi ini, sekitar lima orang dikumpulkan, dipandu oleh seorang konselor atau terapis, lalu mereka dibimbing untuk berintegrasi, berdiskusi. Misalnya, salah seorang mengemukakan masalah, semua orang diperbolehkan bicara. Bisa juga masing-masing mengemukakan masalahnya. Pada umumnya, terapi individu dan terapi kelompok ini dilakukan lima sampai tujuh kali. Ketiga cara itu dilakukan secara berbarengan, dan diharapkan kurang dari tiga bulan sudah selesai. Artinya, tiga bulan untuk masa pemulihan, dan enam bulan sudah benar-benar sembuh. Kalaupun kambuh, gejalanya ringan dan bisa dikendalikan. Selain itu, masih ada sejumlah terapi, misalnya terapi relaksasi, terapi perilaku (behavior therapy), terapi kognitif (cognitif therapy), atau yang lebih sering dipakai adalah gabungannya, cognitif behavior therapy. Terakhir, yang mulai diperkenalkan di Indonesia, adalah Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). Program ini hasil kerja sama organisasi nirlaba Eye Movement Desensitization and Reprocessing, Humanitarian Assistance Program (EMDR-HAP) dengan UNICEF. Mustafa Ismail, J. Kamal Farza (Banda Aceh), Darlis Muhammad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus