Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Obat Jamu Masuk Rumah Sakit

Beberapa klinik dan rumah sakit sudah membuka diri terhadap obat-obatan tradisional. Obat tradisional memang punya kelebihan, di samping kelemahan.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUMIATI sekarang bisa bernapas lebih lega. Penderita asma kronis berusia setengah baya ini hampir saja frustrasi mengobati penyakitnya. Sudah lama ibu yang tinggal di Surabaya ini bergantung pada obat modern, malah ia sudah disuntik dan selalu berbekal obat semprot, tapi asmanya tak kunjung sembuh. Oleh dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, Surabaya, ia diberi saran agar mencoba obat di klinik obat tradisional milik rumah sakit yang sama. Eh, ternyata cocok. Setelah menjalani kontrol dan pengobatan rutin berupa minum seduhan jamu, ia sekarang tak lagi sering mendapat serangan asma. Berdiri sejak 1999, klinik tersebut memang dianjurkan mempergunakan obat-obatan tradisional seperti jamu atau obat berbahan baku tanaman. Menurut Aryjanto Jonosewojo, kepala klinik obat tradisional, kebanyakan obat tradisional diresepkan sebagai pendamping obat modern. Klinik itu juga dilengkapi daftar obat tradisional yang disusun oleh ahli pengobatan dari Jepang serta direkomendasikan para farmakolog dan ahli tanaman. Misalnya saja sambiloto dan daun jambu mangli untuk kencing manis (kini sambiloto sedang dikembangkan sebagai obat malaria oleh ahli obat di Jerman) atau yang berbentuk jamu dari pabrik seperti obat bermerek Lecur dari bahan kurkumin untuk mengobati penyakit hati. "Sembilan puluh persen obat yang diberikan dari sini berbentuk jamu yang direbus dan 10 persen dikemas dalam bentuk kapsul," cerita Aryjanto. Daftar Aryjanto akan bertambah karena, akhir April lalu, produsen jamu PT Ny. Meneer Semarang berhasil meloloskan obat bermerek Rheumaneer sebagai obat rematik. Obat ini sudah melalui uji preklinis yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) selama empat bulan dan uji klinis oleh Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengujian preklinis, meliputi toksisitas dan khasiat, berlangsung sejak Oktober tahun lalu hingga Maret 2001. Menurut Direktur Teknologi Medika dan Farmasi BPPT, Listyanti Wijayanti, pada tikus percobaan di laboratorium, Rheumaneer tidak menampakkan efek samping. Sedangkan pengujian di Yogyakarta yang menelan sekitar Rp 200 juta itu, seperti dijelaskan Dr. Budiono Santoso, Kepala Laboratorium Farmakologi Klinik PPOT UGM, dilakukan untuk menguji efek anti-inflamasi, toksisitas, dan uji klinis produk. Komposisi Rheumaneer terdiri atas bahan alami yang secara tradisional memang telah dikenal mempunyai khasiat obat. Kunyit, misalnya, sudah lama diketahui sebagai penyembuh bengkak-bengkak rematik dan masuk angin, untuk membersihkan perut, peluruh angin, dan penurun panas. Sedangkan jahe berkhasiat menghangatkan badan dan temu lawak dikenal berguna, antara lain, untuk obat luka, pencahar, dan penurun panas. Setelah lolos dari uji preklinis dan klinis, April lalu, Ny. Meneer menggandeng 12 klinik dan rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Jawa Timur, Medan, dan Bali untuk bekerja sama memasarkan obatnya. Saat ini, pabrik jamu tertua di Indonesia itu bisa memproduksi Rheumaneer 50 ribu kilogram tiap bulan dengan omzet penjualan Rp 250 juta. Dalam kerja sama itu, tiga bulan pertama, ke-12 klinik itu mendapatkan jamu dengan cuma-cuma. Setelah itu, tentu saja hitung-hitungan bisnis yang dipergunakan. Klinik Kesehatan ESTI di Jalan Bangka, Jakarta, adalah salah satu penanda tangan kerja sama itu. Menurut Yudi Dahlan, apoteker dan manajer umum di klinik itu, pasien rematik di kliniknya, yang mencapai 10 orang per minggu, banyak yang tak lagi mengeluhkan gangguan lambung akibat pengobatan modern. Nyeri pada lambung memang merupakan salah satu efek samping yang ditimbulkan obat-obatan rematik modern. Efek semacam ini tidak dimunculkan Rheumaneer, yang dijual Rp 1.500 per kapsul berdosis 500 miligram dan dikemas dalam dua papan berisi 20 kapsul. "Pasien kami mengaku tak lagi mendapat gangguan apa pun," katanya. Di pasar fitofarmaka, Rheumaneer bukanlah satu-satunya pemain yang bisa bersanding dengan obat-obatan modern. Pabrik obat Phapros, misalnya, akhir tahun lalu sudah meluncurkan sekaligus tiga fitofarmaka di pasar obat. Produk itu adalah Hepagard, untuk melindungi liver; Lipogard, yang bermanfaat mengurangi risiko penggumpalan pelat-pelat darah di dalam pembuluh darah dan hipertensi; serta Fitagard, yang membantu proses penyembuhan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan membersihkan penumpukan racun. PT Bintang Toedjoe juga meluncurkan dua merek obat tradisional: obat kuat lelaki bermerek Irex dan obat bermerek Nephrolit untuk mengobati batu saluran kemih. Selain itu, ada pula PT Indofarma, yang sudah memasarkan Prorilex, Prolipid, dan Probagin. Berbagai produk fitofarmaka itu tak hanya dihasilkan oleh perusahaan, tapi juga oleh perorangan. Contohnya obat bermerek Cursil untuk penyakit kuning dan radang hati serta hepatitis kronis yang ditemukan Dr. Sujono Hadi dari Universitas Padjadjaran. Contoh lain, Doktor Suprapto Maat berhasil menemukan Phyllanthus, obat yang berasal dari ekstrak tanaman meniran, untuk mengobati penyakit hepatitis B. Menurut Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, fitofarmaka punya kelebihan tersendiri. Pemakaian fitofarmaka, katanya, antara lain bisa memperkecil risiko terkena efek samping dari obat modern. "Dia malah bisa menjadi internal protector bagi kandungan kimia lain," katanya. Namun, obat-obatan fitofamarka juga punya kelemahan. Obat berbahan baku alami ini umumnya tak cukup mujarab untuk mengobati penyakit stadium lanjut. Karena itu, obat tradisional banyak dipakai sebagai pelengkap obat-obatan modern. Untuk penyakit kanker, misalnya. Obat tradisional tidak dipakai untuk membunuh sel kankernya, tapi hanya sebagai obat untuk mengatasi efek samping--seperti kerontokan rambut atau mual-mual--yang ditimbulkan obat modern. I G.G.M. Adi, Endah W.S., Bandelan A. (Semarang), Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus