Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah orang dengan obesitas di Indonesia terus meningkat, termasuk yang tergolong kasus ekstrem.
Penelitian di sejumlah daerah di Indonesia mendapati remaja mengkonsumsi gula jauh di atas batas normal.
Penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan bisa menekan kasus obesitas.
Dalam beberapa bulan terakhir, kita sering mendengar cerita dari media massa tentang beberapa orang dewasa yang obesitas meninggal lebih cepat dibanding rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat gunung es, kasus-kasus yang muncul ke permukaan itu hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus riil obesitas dan dampak buruknya bagi kesehatan masyarakat di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data pemerintah yang diolah oleh UNICEF menunjukkan, pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20 persen atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8 persen atau 3,3 juta), dan 1 dari 3 orang dewasa (35,5 persen atau 64,4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Jumlah ini sangat besar dan dapat berujung pada kerugian yang besar pula.
Obesitas merupakan faktor risiko tinggi untuk beberapa penyakit tidak menular dan kerap kali konsekuensinya seumur hidup, seperti terkena penyakit diabetes, jantung koroner, dan stroke. Penyakit-penyakit tersebut cenderung menurunkan produktivitas dan menghabiskan biaya tinggi dalam pengobatannya.
Penyebab obesitas atau peningkatan berat badan yang tidak sehat ini cukup kompleks, utamanya karena konsumsi kalori harian berlebih yang terjadi secara terus-menerus. Salah satunya melalui konsumsi minuman manis berlebih.
Ilustrasi remaja konsumsi manis. Shutterstock
Risetnya belum banyak di Indonesia
Bahaya yang mengintai di balik minuman manis dalam kemasan sering kali luput dari perhatian banyak pihak. Peredaran produk minuman manis ini semakin meningkat dengan harga terjangkau, bahkan bagi anak-anak.
Minuman manis yang murah meriah dan gampang diperoleh meningkatkan konsumsi minuman manis pada anak dan remaja yang merupakan salah satu faktor pemicu obesitas.
Beberapa studi di negara lain, seperti di Australia, Selandia Baru, Amerika, Inggris, Belanda, dan negara Eropa lainnya, menyebutkan bahwa anak dan remaja mengkonsumsi minuman manis lebih banyak daripada kelompok umur lainnya.
Riset di Indonesia juga menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis di Indonesia cukup tinggi, memakan 67 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Selain itu, setidaknya 2 dari 3 anak usia 3 tahun di Indonesia mengkonsumsi satu minuman manis per hari.
Di beberapa daerah di Jakarta Timur dan Bandung, konsumsi minuman manis pada remaja mencapai 20 persen dari total kalori yang dikonsumsi, melebihi anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 10 persen per hari. Riset tersebut juga mengindikasikan adanya hubungan antara konsumsi minuman manis berlebih pada anak dan remaja Indonesia terhadap peningkatan kejadian obesitas pada orang dewasa.
Sayangnya, belum banyak penelitian di Indonesia yang mengkaji hubungan antara frekuensi mengkonsumsi minuman manis pada anak-anak dengan kejadian obesitas dan penyakit tidak menular.
Karena itu, saya melakukan kajian literatur terhadap riset di berbagai negara tentang dampak kesehatan dari mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan pada anak-anak. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis berlebih dapat menyebabkan obesitas, gejala hipertensi, risiko penyakit jantung, dan diabetes melitus.
Anak-anak dan remaja yang mengalami obesitas ini cenderung mengalami obesitas pula pada masa dewasanya. Kondisi ini membuat mereka rentan akan berbagai masalah kesehatan yang merugikan karena menurunkan produktivitas, meningkatkan kemiskinan, dan meningkatkan risiko kematian.
Beberapa studi bahkan menyebutkan bahwa bahaya konsumsi berlebih dari produk minuman manis ini dapat disandingkan dengan bahaya merokok yang memerlukan perhatian serius.
Anak-anak dikepung minuman manis
Negara dan keluarga berperan untuk memenuhi hak-hak anak dan menciptakan lingkungan yang membuat anak merasa terlindungi dan bertumbuh dengan baik.
Setiap anak seharusnya memiliki akses yang sama dalam pendidikan, mengenyam bangku sekolah, serta berada di lingkungan keluarga yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembangnya.
Masalahnya adalah, di lingkungan sekolah dan rumah, anak-anak justru terpapar dan mudah mengakses minuman dan makanan manis dalam kemasan, baik olahan industri besar maupun olahan rumah tangga. Minuman manis dalam kemasan saat ini sangat mudah ditemui di mana pun, dengan jenis dan rasa yang semakin beragam.
Minuman manis juga mudah dibeli di lingkungan wisata saat anak-anak berlibur, tempat bermain, dan lingkungan umum lainnya.
Harganya sangat terjangkau, bahkan bagi anak-anak. Minuman manis dalam kemasan dijual dengan harga yang relatif sangat murah, mulai dari Rp 1.000.
Membeli minuman manis dinilai lebih menguntungkan dibanding hanya air mineral biasa. Dengan harga yang sama, kita bisa melepas dahaga sekaligus mendapatkan rasa manis yang menyenangkan, tidak seperti air mineral yang rasanya cenderung tawar.
Kita sebagai orang dewasa terkadang berpikir demikian, apalagi anak-anak dan remaja yang cenderung memiliki "lidah manis" (sweet tongue), sehingga secara alami akan memilih minuman manis dibanding yang tawar.
Bedanya, orang dewasa cenderung mengetahui dampak negatif dari kandungan gula tambahan dari produk minuman manis, sehingga pilihan yang diambil sudah berbekal pengetahuan yang cukup.
Sayangnya, anak-anak cenderung belum memahami dampak buruk dari konsumsi produk minuman manis secara berlebihan. Padahal mereka berhak mengetahui konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil, termasuk saat memilih untuk mengkonsumsi minuman manis.
Ilustrasi obesitas pada remaja. Shutterstock
Lalu apa yang harus dilakukan?
Pemenuhan hak anak untuk mengetahui dampak buruk dari konsumsi minuman manis berlebih menjadi penting dalam upaya peningkatan kesehatan mereka di masa mendatang. Bukan hanya stunting (kurang gizi) yang merusak masa depan anak, tapi juga berat badan berlebih yang tidak sehat.
Dampak dari konsumsi minuman manis berlebih memang tidak langsung terlihat saat itu juga. Peningkatan berat badan yang tidak sehat serta kondisi kesehatan yang memburuk terjadi secara perlahan dan cenderung tidak terlihat sehingga sering diabaikan. Meski demikian, kita perlu berupaya mencegah konsumsi minuman manis yang berlebihan pada anak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman anak terkait dengan dampak buruk dari mengkonsumsi gula secara berlebihan.
Upaya ini dapat dilakukan secara kreatif dengan menggunakan media berupa poster, video, storytelling, permainan, dan sebagainya.
Selain itu, lingkungan memiliki peran penting dalam "melindungi" anak dari bahaya konsumsi produk minuman manis berlebih. Budaya makan dalam keluarga, ketersediaan minuman manis di rumah, pengetahuan dan persepsi orang tua tentang dampak minuman manis, serta kondisi sosial-ekonomi orang tua ditemukan berhubungan dengan konsumsi minuman manis dalam kemasan pada anak-anak dan remaja.
Selain lingkungan keluarga dan rumah, pemerintah perlu memikirkan cukai gula untuk mengendalikan konsumsi produk manis. Bahkan beberapa negara maju telah menerapkan pajak yang cukup tinggi pada produk minuman manis seperti halnya pada rokok.
Kita perlu mengupayakan adanya tanda peringatan kandungan gula tambahan pada kemasan minuman tersebut, seperti halnya pada kemasan rokok. Infografis yang menunjukkan keamanan kadar gula dalam minuman terbukti membuat anak dan remaja memilih pilihan minuman yang lebih sehat. Infografis ini dapat diletakkan di kemasan minuman maupun kulkas atau rak tempat minuman dijual.
Secara alami, anak-anak memang akan memilih minuman manis dibandingkan dengan air mineral biasa.
Meski demikian, kita semua memiliki kewajiban untuk memenuhi hak mereka dalam memiliki pemahaman perihal bahaya mengkonsumsi minuman manis berlebih.
Kita harus mengupayakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat yang akan berdampak baik pada kualitas hidup mereka ke depan.
---
Artikel ini ditulis oleh Marya Yenita Sitohang, peneliti kesehatan masyarakat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.