Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kurangi Dampak Kabut Asap dengan Tanaman dan Akuarium

Tanaman dan hiasan akuarium dengan berbagai tumbuhan air dapat menyerap CO2 yang banyak terkandung pada kabut asap.

16 Oktober 2019 | 10.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah siswa SMP pulang lebih awal usai diumumkannya libur terkait kondisi kabut asap yang pekat di Palembang, Sumatera Selatan, Senin 14 Oktober 2019. Kondisi kabut asap yang sangat pekat membuat Dinas Pendidikan setempat mengeluarkan pemberitahuan bagi sekolah untuk meliburkan sekolah. ANTARA FOTO/Feny Selly

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kabut asap kembali menyelimuti beberapa daerah, meskipun hujan sudah mulai turun. Namun, kabut pekat akibat kebakaran hutan dan lahan bisa diminimalkan dampaknya dengan hiasan aquascape dan tanaman dalam ruangan yang bisa menyerap karbon dioksida (CO2).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan buku Penanggulangan Krisis Kesehatan Lindungi Diri Dari Bencana Kabut Asap Kementerian Kesehatan, hiasan akuarium dengan berbagai tumbuhan air dapat menyerap CO2 yang banyak terkandung pada kabut asap. Tangki air yang ditanamkan tumbuhan air (aquascape) seperti ganggang dan dipasangi lampu ultraviolet atau LED bisa mengurangi CO2 dan menjaga kelembaban udara karena adanya proses fotosintesis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, Kementerian Kesehatan menyebut bahwa tanaman dalam ruangan juga bisa menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen (O2) dari proses fotosintesis di dalam rumah. Tanaman yang digunakan sebaiknya yang memiliki kemampuan menyerap berbagai polutan, seperti lidah mertua atau sanseveira, lili paris, sirih gading, dan suplir.

Kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada kesehatan, khususnya gangguan saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang mengganggu pernapasan, seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx), dan ozon (O3).

Sejumlah siswa SMP pulang lebih awal usai diumumkannya libur terkait kondisi kabut asap yang pekat di Palembang, Sumatera Selatan, Senin 14 Oktober 2019. Kondisi kabut asap yang sangat pekat membuat Dinas Pendidikan setempat mengeluarkan pemberitahuan bagi sekolah untuk meliburkan sekolah. ANTARA FOTO/Feny Selly

Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada lansia, bayi, dan pengidap penyakit paru, meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa juga menyerang orang sehat. Dampak akut dari kabut asap karhutla paling banyak adalah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan iritasi pada mata, tenggorokan, hidung, serta menyebabkan sakit kepala atau alergi.

Kabut asap juga bisa berdampak kronis atau jangka panjang, yaitu menimbulkan potensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan penyakit jantung di kemudian hari. Menurut Yayasan Paru-paru Kanada, kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan bisa berakibat fatal pada penderita PPOK karena mengurangi atau memperburuk kinerja paru-paru. Semakin lama pasien terpapar kabut asap, semakin besar juga risiko kematiannya.

Kabut asap membawa partikel sangat kecil dengan ukuran 2,5 mikrogram yang disebut PM2.5. Partikel tersebut dapat masuk ke dalam tubuh lewat saluran pernapasan. Sebuah studi oleh California Environmental Protection Agency tahun 2014 membuktikan pasien yang terpapar kabut asap dalam waktu lama menggandakan risiko terkena serangan jantung atau stroke.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus