PADA setiap lubang masuk ke terowongan bawah tanah di tambang
emas Cirotan ada kalimat peringatan. "Utamakan Keselamatan
Kerja. Keluarga Anda Menanti Di Rumah." Kalimat ini mungkin
tidak sempat lagi dibaca para buruh tambang. Tapi ia tetap
melekat di sana. Seakan ia selalu berbisik kepada setiap buruh
maut selalu mengintai.
Tambang emas Cirotan terletak 17 Km di utara Cikotok. Cikotok 36
Km dari Cimaya (Banten Selatan). Dan Cimaya 10 Km dari Pelabuhan
Ratu. Lebih kurang 242 Km dari Jakarta. Antara Cikotok-Cirotan
jalanan berbatu selebar 3 meter, melingkar di pundak gunung
diapit jeram. Pada musim hujan sangat berbahaya karena selalu
ada tanah longsor. Cikotok pada mulanya juga tambang emas, tapi
sejak akhir 1976 sudah ditutup. Kini di samping Cirotan tambang
emas ada di Cimari dan Elatemi. Tapi sebutan tambang emas
Cikotok tetap terkenal.
Jam 05.30 pagi kabut masih bergumpal di puncak gunung memeluk
Cirotan yang berada pada ketinggian 1000 meter dari muka laut
Saat itu ratusan buruh sudah berangkat dalam kelompok-kelompok
menuju lubang penggalian. Mereka mengenakan overan biru, kotor
dan lusuh. Di kepala ada helm dengan sebuah handuk kecil
membelit leher. Memakai sepatu karet sebatas lutut, semuanya
bergerak sambil menenteng lampu karbit.
Ada 9 buah terowongan utama dengan nomor: "L-100 sampai L-900."
Sistim 3 angka ini cara Amerika. Jarak vertikal tiap terowongan
30 meter. Dari terowongan utama dibuat lorong-lorong ke kiri dan
kanan (bahasa tambangnya cross-cut) dalam jumlah puluhan. Ada
juga lubang naik-turun yang menghubungkan tiap terowongan,
disebut adit. Terowongan yang paling panjang mencapai 900
meter.
Lorong-lorong bawah tanah itu becek. Air menetes dari atas.
Kalau batubatuannya rapuh, dinding terowongan terpaksa disangga
dengan kayu. Ada relrel di terowongan utama, untuk lokomotif
kecil yang menyeret lori pengangkut bijih emas yang hendak
dibawa ke luar lubang. Untuk penerangan dipergunakan lampu
karbit. Udara cukup segar dihembuskan dari luar melalui pipa
udara.
Di ujung lubang 700, terdengar suara mesin bor gemuruh. Asap
memenuhi seluruh ruang. Samar-samar tampak tubuh tinggi kekar
dengan kumis lebat melintang dan berewok yang subur. Ia adalah
Tatang yang masih 27 tahun. Ia sedang ngebor dinding batu
formasi "adesit tua".
Setiap hari Tatang harus membuat paling sedikit 20 buah lubang.
Masingmasing sedalam 1,40 meter. Ini sudah jadi target. Tapi
tidak selalu dapat terpenuhi. "Tergantung dari keras batunya,
mesinnya dan keahlian tukang bor," kata Tatang kepada Iwan
Bungsu dari TEMPO. Ia bekerja dengan seorang kawannya, karena
tukang bor selalu bekerja berpasangan.
Takut Selalu Ada
Tatang hanya lulusan SD. Ia dulu suka berkelahi. Sekali waktu di
Jampang Tengah ia menghajar seorang sopir. Lalu ia melamar di
tambang ini. Mula-mula ia sebagai buruh harian lepas. Sekarang
masa kerjanya sudah 7 tahun dengan status tenaga kerja bulanan
(TKB). Gajinya Rp 24 ribu sebulan, menunjang satu anak dan
isteri ketiga yang berasal dari Gombong. "Kerja di sini pengen
tahu, sampai di mana saya ini laki-laki," ujarnya kalem.
Ketika pertama kali ngebor, Tatang takut mendengar suaranya. Tak
kurang dari tiga bulan ia ajar kenal dengan barang itu. Seorang
mandor mengujinya dengan cermat mengenai menentukan jarak
lubang, dalamnya, jumlahnya, susunan khusus untuk lubang
naik/turun dan sebagainya. Sesudah lulus itu, ia baru dipercayai
membawa sebuah bor, sekaligus dengan segala tanggung jawabnya.
Kalau dinding sudah dibor, lalu muncul juru tembak. Orang ini
punya lampu tambang di dahinya yang dinyalakan oleh aki yang ada
di pinggang. Mereka menenteng ransel berisi puluhan batang
ammonia gelatine dynamite. Tiap batang sebesar lilin. Ia juga
membawa detonator, kabel dan tang. Beda dengan Tatang, juru
tembak ini bekerja sendirian. Kerjanya tenang -- hanya memasang
dinamit di dalam lubang.
Dinamit itu kemudian dihubungkan dengan kabel. Ujungnya diberi
sumbu peledak sepanjang 100 meter. Kalau tukang tembak sudah
siap, seluruh terowongan dikosongkan. Lalu terdengar suara
ledakan dahsyat. Lubang jadi pengab penuh debu dan bau mesiu.
Dengan cara beginilah terowongan itu maju semeter demi semeter.
Ngadimin (33 tahun) sudah 12 tahun menjadi juru tembak. "Tapi
rasa kawatir selalu ada. Justru itu membuat kita lebih
berhati-hati," ujarnya. Ia berasal dari Kutoarjo, pendidikannya
hanya SD. Ia menghidupi seorang isteri dan seorang anak dengan
gaji Rp 45 ribu. "Pak Djuhar, juru tembak yang paling tua dan
berpengalaman 20 tahun di dalam lubang, tahun kemaren meninggal
karena ledakan," ujarnya lebih lanjut. Dijelaskan pula bahwa
kematian tersebut tak diketahui ujung pangkalnya. Pada hari yang
naas itu, dinamit keburu meledak pada saat almarhum masih repot
memasangnya.
Satu ketika ia sedang sibuk kerja, tahu-tahu lumpur sudah meraba
dengkulnya. Artinya tak lama lagi ia akan terbenam dalam lumpur
itu. "Sayapun berteriak-teriak," kata Ngadimin, "Eh, nggak ada
orang!" ujarnya. Salah seorang rekannya terseret sampai ratusan
meter. Dia sendiri bersama 12 orang lainnya terkurung. Sambil
teriak-teriak, mereka terpaksa menggali, mengeruk-ngeruk dalam
kegelapan sampai tembus ke lubang lain. "Hampir satu hari baru
datang penolong dari luar," ujarnya.
Napsir (35 tahun) dari bagian pemeliharaan sehari-harinya harus
memperbaiki berbagai macam kerusakan. Meliputi mesin bor,
kompresor, lokomotif, lori, rel-rel yang bengkok, pipa dan
sebagainya. Ia selalu seradak-seruduk dengan berbagai macam
peralatan selama 14 tahun. Penghasilannya Rp 53 ribu dengan
tanggungan seorang isteri dan lima anak. Berasal dari Surabaya.
Ia tinggal di bedeng kompleks perumahan karyawan dalam petak
berukuran 3 kali 8 meter. Mungkin karena sempitnya ekonomi sejak
7 tahun lalu mereka melaksanakan KB.
"Saya tetep ngeri, kalau ingat-ingat lumpur itu, meskipun kerja
di bawah tanah sudah 'toh nyawa' kata orang Jawa," ujar Napsir.
Kejadian itu berlangsung tahun 1964. Rupanya "corongan" ang
biasa digunakan untlk mengisi kembali (filling) lubang dan
terowongan bekas, hari itu jebol. Karuan saja lumpur dan tanah
menyerbu masuk melukai banyak orang. Seorang rekannya meninggal.
Resiko lain diterangkan lebih lanjut oleh Indun (35 tahun)
kepala bagian tambang Cirotan, "Mungkin jatuh dari lubang, mabok
asap mesiu atau luka kena mesiu," ujarnya. Tahun 1977 tercatat 9
orang luka ringan, 3 luka berat dan satu meninggal. Tahun lalu,
seorang meninggal. "Sebenarnya keselamatan kerja betul-betul
diperhatikan tapi ada saja buruh yang ceroboh. Padahal mandor
selalu mengingatkan," kta lulusan STM Yogya yang berasal dari
Pangandaran ini.
Selain maut, masalah yang dihadapi buruh tambang adalah rasa
sepi. Mereka terdiri dari dua kelompok kerja. Giliran kerja pagi
dari jam 6 sampai pukul 12. Berikutnya dari pukul 12 sampai jam
6 petang. Sesudah jamjam kerja itu suasana kompleks sangat sepi.
Orang lebih suka berlindung di rumah, untuk menghindari udara
dingin. Beberapa orang membunuh waktu dengan main bilyard atau
ngobrol di warung. Sekali waktu pada hari-hari besar ada juga
pemutaran film Indonesia yang sudah tua.
"Nggak betah, sepi dan gaji kecil," kata seorang insinyur muda
yang baru satu tahun bekerja. Keluhan serupa juga datang dari
tenaga-tenaga akademis lain yang rupanya sudah terbiasa hidup di
kota. Terhadap kesepian itu, Hermawan, insinyur lulusan ITB yang
menjadi Kepala Biro Produksi dan Eksplorasi berkata "Sepi? Itu
konsekwensi profesi kita sebagai orang tambang. Saya tidak
keberatan kalau ada karyawan yang mengajukan keluhan, asal
sebelumnya menunjukkan prestasi kerja."
Hermawan rupanya sudah tidak mempan lagi dimakan sepi. Ia sudah
kenyang diuji kesunyian di tengah belantara Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan, selama empat tahun pertama kariernya.
Napsir dari bagian pemeliharaan tak banyak bicara tentang sepi.
Ia tahu memanfaatkan waktunya. Lepas kerja ia ptaktek sebagai
montir radio, tv maupun sepeda motor. Bahkan tustel juga
dikutak-kutiknya. Biasanya ia dapat order dari tetangga satu
bedeng. Kadangkala ia jadi tukang kayu, bikin alatalat rumah
tangga. Sekali tempo bisa juga jual sate atau bakso. "Bukan
semata-mata untuk nafkah tambahan, tetapi sebagai hobi dan
pengisi waktu," katanya.
Para karyawan memang memiliki cara masing-masing untuk
melewatkan waktu. Ada yang menanam cengkeh antara setengah
sampai satu hektar. Orang seperti Tatang main judi di
kampung-kampung sekitar kompleks, karena dalam kompleks
dilarang. "Kalau ngaji sekarang belum lancar, tapi judi
semalaman juga lancar," katanya kalem. "Itu kan kesenangan, asal
kita tidak ganggu barang perusahaan dan kerja tetap disiplin,
kan?"
Bagi para pekerja tambang yang sudah tua, persoalan utama bukan
lagi maut atau rasa sepi, tapi bagaimana memperbaiki nasib.
Mereka memang dapat perlengkapan kerja, perumahan, tunjangan
kesehatan, jaminan hari tua. Tapi gaji sekali lagi gaji tetap
kecil. Mereka resah kalau memikirkan masa depan anak-anaknya.
"Baik anak maupun famili lain, jangan kerJa di tambang," kata
"N". "Sudah saya rasakan pahit getirnya. Ada yang sudah 20 tahun
kerja begitu-begitu saja." Diperkuat lagi oleh buruh lain yang
berniat menyekolahkan anaknya di STM mesin. "Bagaimana juga
caranya, jangan sampai anak terpaksa kerja di tambang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini