Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Maut, Sepi & Gaji Kecil: Di Cikotok

Cikotok pada mulanya juga tambang emas, tapi sejak akhir th 1976 sudah ditutup. Disamping Cirotan tambang emas ada di Cimari dan di tempat lainnya, tapi sebutan tambang emas Cikotok tetap terkenal. (sd)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA setiap lubang masuk ke terowongan bawah tanah di tambang emas Cirotan ada kalimat peringatan. "Utamakan Keselamatan Kerja. Keluarga Anda Menanti Di Rumah." Kalimat ini mungkin tidak sempat lagi dibaca para buruh tambang. Tapi ia tetap melekat di sana. Seakan ia selalu berbisik kepada setiap buruh maut selalu mengintai. Tambang emas Cirotan terletak 17 Km di utara Cikotok. Cikotok 36 Km dari Cimaya (Banten Selatan). Dan Cimaya 10 Km dari Pelabuhan Ratu. Lebih kurang 242 Km dari Jakarta. Antara Cikotok-Cirotan jalanan berbatu selebar 3 meter, melingkar di pundak gunung diapit jeram. Pada musim hujan sangat berbahaya karena selalu ada tanah longsor. Cikotok pada mulanya juga tambang emas, tapi sejak akhir 1976 sudah ditutup. Kini di samping Cirotan tambang emas ada di Cimari dan Elatemi. Tapi sebutan tambang emas Cikotok tetap terkenal. Jam 05.30 pagi kabut masih bergumpal di puncak gunung memeluk Cirotan yang berada pada ketinggian 1000 meter dari muka laut Saat itu ratusan buruh sudah berangkat dalam kelompok-kelompok menuju lubang penggalian. Mereka mengenakan overan biru, kotor dan lusuh. Di kepala ada helm dengan sebuah handuk kecil membelit leher. Memakai sepatu karet sebatas lutut, semuanya bergerak sambil menenteng lampu karbit. Ada 9 buah terowongan utama dengan nomor: "L-100 sampai L-900." Sistim 3 angka ini cara Amerika. Jarak vertikal tiap terowongan 30 meter. Dari terowongan utama dibuat lorong-lorong ke kiri dan kanan (bahasa tambangnya cross-cut) dalam jumlah puluhan. Ada juga lubang naik-turun yang menghubungkan tiap terowongan, disebut adit. Terowongan yang paling panjang mencapai 900 meter. Lorong-lorong bawah tanah itu becek. Air menetes dari atas. Kalau batubatuannya rapuh, dinding terowongan terpaksa disangga dengan kayu. Ada relrel di terowongan utama, untuk lokomotif kecil yang menyeret lori pengangkut bijih emas yang hendak dibawa ke luar lubang. Untuk penerangan dipergunakan lampu karbit. Udara cukup segar dihembuskan dari luar melalui pipa udara. Di ujung lubang 700, terdengar suara mesin bor gemuruh. Asap memenuhi seluruh ruang. Samar-samar tampak tubuh tinggi kekar dengan kumis lebat melintang dan berewok yang subur. Ia adalah Tatang yang masih 27 tahun. Ia sedang ngebor dinding batu formasi "adesit tua". Setiap hari Tatang harus membuat paling sedikit 20 buah lubang. Masingmasing sedalam 1,40 meter. Ini sudah jadi target. Tapi tidak selalu dapat terpenuhi. "Tergantung dari keras batunya, mesinnya dan keahlian tukang bor," kata Tatang kepada Iwan Bungsu dari TEMPO. Ia bekerja dengan seorang kawannya, karena tukang bor selalu bekerja berpasangan. Takut Selalu Ada Tatang hanya lulusan SD. Ia dulu suka berkelahi. Sekali waktu di Jampang Tengah ia menghajar seorang sopir. Lalu ia melamar di tambang ini. Mula-mula ia sebagai buruh harian lepas. Sekarang masa kerjanya sudah 7 tahun dengan status tenaga kerja bulanan (TKB). Gajinya Rp 24 ribu sebulan, menunjang satu anak dan isteri ketiga yang berasal dari Gombong. "Kerja di sini pengen tahu, sampai di mana saya ini laki-laki," ujarnya kalem. Ketika pertama kali ngebor, Tatang takut mendengar suaranya. Tak kurang dari tiga bulan ia ajar kenal dengan barang itu. Seorang mandor mengujinya dengan cermat mengenai menentukan jarak lubang, dalamnya, jumlahnya, susunan khusus untuk lubang naik/turun dan sebagainya. Sesudah lulus itu, ia baru dipercayai membawa sebuah bor, sekaligus dengan segala tanggung jawabnya. Kalau dinding sudah dibor, lalu muncul juru tembak. Orang ini punya lampu tambang di dahinya yang dinyalakan oleh aki yang ada di pinggang. Mereka menenteng ransel berisi puluhan batang ammonia gelatine dynamite. Tiap batang sebesar lilin. Ia juga membawa detonator, kabel dan tang. Beda dengan Tatang, juru tembak ini bekerja sendirian. Kerjanya tenang -- hanya memasang dinamit di dalam lubang. Dinamit itu kemudian dihubungkan dengan kabel. Ujungnya diberi sumbu peledak sepanjang 100 meter. Kalau tukang tembak sudah siap, seluruh terowongan dikosongkan. Lalu terdengar suara ledakan dahsyat. Lubang jadi pengab penuh debu dan bau mesiu. Dengan cara beginilah terowongan itu maju semeter demi semeter. Ngadimin (33 tahun) sudah 12 tahun menjadi juru tembak. "Tapi rasa kawatir selalu ada. Justru itu membuat kita lebih berhati-hati," ujarnya. Ia berasal dari Kutoarjo, pendidikannya hanya SD. Ia menghidupi seorang isteri dan seorang anak dengan gaji Rp 45 ribu. "Pak Djuhar, juru tembak yang paling tua dan berpengalaman 20 tahun di dalam lubang, tahun kemaren meninggal karena ledakan," ujarnya lebih lanjut. Dijelaskan pula bahwa kematian tersebut tak diketahui ujung pangkalnya. Pada hari yang naas itu, dinamit keburu meledak pada saat almarhum masih repot memasangnya. Satu ketika ia sedang sibuk kerja, tahu-tahu lumpur sudah meraba dengkulnya. Artinya tak lama lagi ia akan terbenam dalam lumpur itu. "Sayapun berteriak-teriak," kata Ngadimin, "Eh, nggak ada orang!" ujarnya. Salah seorang rekannya terseret sampai ratusan meter. Dia sendiri bersama 12 orang lainnya terkurung. Sambil teriak-teriak, mereka terpaksa menggali, mengeruk-ngeruk dalam kegelapan sampai tembus ke lubang lain. "Hampir satu hari baru datang penolong dari luar," ujarnya. Napsir (35 tahun) dari bagian pemeliharaan sehari-harinya harus memperbaiki berbagai macam kerusakan. Meliputi mesin bor, kompresor, lokomotif, lori, rel-rel yang bengkok, pipa dan sebagainya. Ia selalu seradak-seruduk dengan berbagai macam peralatan selama 14 tahun. Penghasilannya Rp 53 ribu dengan tanggungan seorang isteri dan lima anak. Berasal dari Surabaya. Ia tinggal di bedeng kompleks perumahan karyawan dalam petak berukuran 3 kali 8 meter. Mungkin karena sempitnya ekonomi sejak 7 tahun lalu mereka melaksanakan KB. "Saya tetep ngeri, kalau ingat-ingat lumpur itu, meskipun kerja di bawah tanah sudah 'toh nyawa' kata orang Jawa," ujar Napsir. Kejadian itu berlangsung tahun 1964. Rupanya "corongan" ang biasa digunakan untlk mengisi kembali (filling) lubang dan terowongan bekas, hari itu jebol. Karuan saja lumpur dan tanah menyerbu masuk melukai banyak orang. Seorang rekannya meninggal. Resiko lain diterangkan lebih lanjut oleh Indun (35 tahun) kepala bagian tambang Cirotan, "Mungkin jatuh dari lubang, mabok asap mesiu atau luka kena mesiu," ujarnya. Tahun 1977 tercatat 9 orang luka ringan, 3 luka berat dan satu meninggal. Tahun lalu, seorang meninggal. "Sebenarnya keselamatan kerja betul-betul diperhatikan tapi ada saja buruh yang ceroboh. Padahal mandor selalu mengingatkan," kta lulusan STM Yogya yang berasal dari Pangandaran ini. Selain maut, masalah yang dihadapi buruh tambang adalah rasa sepi. Mereka terdiri dari dua kelompok kerja. Giliran kerja pagi dari jam 6 sampai pukul 12. Berikutnya dari pukul 12 sampai jam 6 petang. Sesudah jamjam kerja itu suasana kompleks sangat sepi. Orang lebih suka berlindung di rumah, untuk menghindari udara dingin. Beberapa orang membunuh waktu dengan main bilyard atau ngobrol di warung. Sekali waktu pada hari-hari besar ada juga pemutaran film Indonesia yang sudah tua. "Nggak betah, sepi dan gaji kecil," kata seorang insinyur muda yang baru satu tahun bekerja. Keluhan serupa juga datang dari tenaga-tenaga akademis lain yang rupanya sudah terbiasa hidup di kota. Terhadap kesepian itu, Hermawan, insinyur lulusan ITB yang menjadi Kepala Biro Produksi dan Eksplorasi berkata "Sepi? Itu konsekwensi profesi kita sebagai orang tambang. Saya tidak keberatan kalau ada karyawan yang mengajukan keluhan, asal sebelumnya menunjukkan prestasi kerja." Hermawan rupanya sudah tidak mempan lagi dimakan sepi. Ia sudah kenyang diuji kesunyian di tengah belantara Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, selama empat tahun pertama kariernya. Napsir dari bagian pemeliharaan tak banyak bicara tentang sepi. Ia tahu memanfaatkan waktunya. Lepas kerja ia ptaktek sebagai montir radio, tv maupun sepeda motor. Bahkan tustel juga dikutak-kutiknya. Biasanya ia dapat order dari tetangga satu bedeng. Kadangkala ia jadi tukang kayu, bikin alatalat rumah tangga. Sekali tempo bisa juga jual sate atau bakso. "Bukan semata-mata untuk nafkah tambahan, tetapi sebagai hobi dan pengisi waktu," katanya. Para karyawan memang memiliki cara masing-masing untuk melewatkan waktu. Ada yang menanam cengkeh antara setengah sampai satu hektar. Orang seperti Tatang main judi di kampung-kampung sekitar kompleks, karena dalam kompleks dilarang. "Kalau ngaji sekarang belum lancar, tapi judi semalaman juga lancar," katanya kalem. "Itu kan kesenangan, asal kita tidak ganggu barang perusahaan dan kerja tetap disiplin, kan?" Bagi para pekerja tambang yang sudah tua, persoalan utama bukan lagi maut atau rasa sepi, tapi bagaimana memperbaiki nasib. Mereka memang dapat perlengkapan kerja, perumahan, tunjangan kesehatan, jaminan hari tua. Tapi gaji sekali lagi gaji tetap kecil. Mereka resah kalau memikirkan masa depan anak-anaknya. "Baik anak maupun famili lain, jangan kerJa di tambang," kata "N". "Sudah saya rasakan pahit getirnya. Ada yang sudah 20 tahun kerja begitu-begitu saja." Diperkuat lagi oleh buruh lain yang berniat menyekolahkan anaknya di STM mesin. "Bagaimana juga caranya, jangan sampai anak terpaksa kerja di tambang," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus