Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Melatih burung dalam sangkar

Melatih dan menjinakkan burung merupakan suatu keahlian yang dapat menjadikan tempat mencari nafkah. hal yang diperlukan adalah kesabaran dan keselarasan kita. (sd)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP pagi, menyongsong matahari terbit, Wak Koboi asyik menikmati kicau burung merbuk kesayangannya sembari bergolek-golek. "Rasanya nikmat," ujarnya. "Saya harnpir tak bisa berpisah dengan burung," katanya lagi. Dengan nama asli Ali Redjo, 65 tahun, Wak Koboi adalah pelatih burung yang cukup beken di Medan. Tak jelas sejak kapan dan mengapa Ali Redjo dipanggil Wak Koboi. Tapi barangkali karena keahliannya menjinakkan dan melatih burung -- seperti halnya coboy ahli menjinakkan kuda dan sapi. Di pasarburung Jalan Bintang, Medan, nama Wak Kobol juga dikenal sebagai satu-satunya pelatih burung yang pintar menirukan sekitar 15 kicauan berbagai jenis burung. Itu berkat pengalamannya selama 30 tahun menggauli dunia burung. Sejak muda, ketika masih di Jawa, ia sering menjerat hewan itu di hutan-hutan. Keahlian itu pula yang akhirnya menjadi gantungan nafkahnya. Para penggemar burung biasanya tidak mahir menjinakkan dan melatih burung yang mereka beli dari Wak Koboi. Itulah sebabnya sang koboi sering dipanggil kembali buat mengatasinya. "Kalau hanya untuk menjinakkan saja, artinya sekedar tak lasak dalam sangkar, cukup dua bulan saja saya tangani," katanya. Caranya antara lain dimandikan seminggu dua kali, setiap Selasa dan Jumat Kliwon -- selain dikasih tambahan makan "jamu burung" yang banyak dijual di pasar-pasar burung. Khusus burung merbuk, Wak Koboi memandikannya dengan air bekas cucian beras yang disebut leri, setiap pukul 7 pagi--lantas dibelai sambil dilatih berkicau. Sebelum burungnya pandai, tentu Wak Koboi sendiri yang berkicau. Setelah itu dikembalikan ke dalam sangkar yang dikerek pada sebatang tiang yang tinggi "Hal itu mesti dilakukan setiap hari, tanpa jcmu dan penuh dengan rasa sayang," katanya lagi. Burung yang dianggap "jadi", katanya, ialah yang akrab dengan pemiliknya dan berkicau bagus. "Yang paling sulit dijinakkan ialah burung merbuk berkaki hitam," kata Wak Koboi yang beranak lima itu. Menurut Wak Koboi, burung vang sudah "jadi" biasanya bereaksi bila pemiliknya mendekat. Mengibas-ngibaskan ekor, mengepak-ngepakkan sayap atau berkicau. Di antara burung-burung yang dijualnya, burung merbuk yang paling laku. Tarif yang dipasangnya cukup tinggi Rp 150.000 per ekor, termasuk menjinakkan dan melatihnya. Dari kegiatan itu ia bisa mengantungi Rp 2.000 per hari. Untuk melatih burung agar pandai berkicau atau menirukan kata-kata manusia, ada cara lain yang lebih khusus. Hal itu misalnya dilakukan Mbok Ginem, 45 tahun, salah seorang pelatih burung di Jakarta. Selain dibelai, si burung mesti dikasih makan setiap kali Ginem makan. "Dengan begitu, saya dan burung jadi sehati," katanya. Dan seminggu sekali, tepat di saat beduk berbunyi di Hari Jumat, burung itu dimandikan dengan air kembang setaman. Sementara dimandikan, lidah burung digigit sedikit atau digunting sedikit, lalu digosok-gosok dengan emas murni. "Saya menggosoknya dengan cincin saya sendiri," ujar Ginem yang sejak perawan gemar membelai burung kakeknya itu. Ginem memberi minum burungnya dengan air liurnya, langsunr lari mulutnya. "Boleh juga dengan tangan " tambahnya. Di rumahnya, di kawasan Kramat Kwitang (Jakarta Pusat), selain membuka warung nasi Ginem yang berasal dari Purwodadi (Jawa Tengah) itu juga menjual burung. Sejumlah sangkar bergantungan, suara kicau bermacam burung terdengar tak henti. "Yah, rumah ini memang mirip kebun binatang kok," kata Muhammad, suaminya yang juga pedagang burung itu, bergurau. Ada kutilang, kakatua, merpati, jalak. Jalak penyu kesayangannya, yang semula dibeli seharga Rp 5.500, kini sudah pandai menirukan omongan orang. Misalnya: abu, bu, san (nama panggilan pembantu Mbok Ginem), ngepel, tempe habis, jam lima, bahkan menirukan suara ayam dan kucing. Ada pengalaman Ginem yang menarik. Ketika masih kecil, orang tua Ginem mmiliki seekor burung betet yang sudah bisa ngomong bernama Melati Suatu hari si Melari dicuri orang dan ternyata ganti nama menjadi si Koper. Ketika si pemilik baru memanggil dengan sebutan Koper, hetet inl diam saja. Tapi ketika ayah Ginem berseru "Melati. oyo kabare (Melati, apa kabar?)" kontan si burung nyeletuk "Opo pak, Melati weng kene (Apa pak, Melati di sini)." Suatu hari, pada 1965, rumahnya di Kwitang hampir saja kebakaran. Taili aneh, api yang menjalar ke ruang tengah -- tempat burung derkuku dalam sangkar digantung -- segera padam hanya karena disiram air teh dari sebuah teko. Ada semacam kepercayaan derkuku yang bisa berkicau dengan bunyi bur-ketekuk-kuk-kuk (kuk tiga kali) konon antiapi. Ginem sendiri heran. Ginem juga percaya bahwa burung yang sudah ditawar untuk dibeli tapi tidak diberikan, bisa cepat mati. Terbukti. Suatu hari derkuku itu di-tawar Rp 150.000. Ginem yang sangat menyayanginya tentu tidak melepaskannya Eh, tak lama kemudian si "pemadam kebakaran" itu benar-benar mati. Ia tak sayang menyisihkan uang Rp 500 sehari untuk membeli jatah makan burung-burungnya. Di pasar burung Jalan Diponegoro, Bandung, ada empat kakak-beradik yang semuanya dikenal sebagai pelatih burung berkicau. Salah seorang di antaranya Adi Utomo, 32 tahun, yang sudah 14 tahun berdagang burung. "Kami sekeluarga, bahkan turun-temurun, memang berdarah pelatih burung," kata Adi. Konon para pecandu burung di beberapa kota di Jawa sudah mengenalnya. Ia mengaku bisa melatih semua jenis burung. "Merpati bisa dilatih mencintai tuannya, jalak atau kenari hisa dilatih menyanyi. Semua itu tergantung dari kesabaran dan ketelatenan kita," katanya bersungguh-sungguh. Burung berkicau yang paling banyak penggemarnya ialah cucakrawa, perkutut, kenari, beo dan beberapa jenis yang berasal dari Muangthai atau Hongkong seperti poksay dan wa-bie. Tiga kali setiap hari (pagi-pagi, tengah hari dan menjelang matahari terbenam), Adi melatih burung-burungnya secara bersama-sama. Yang ia latih hanya y ang bertubuh kekar, berparuh tipis dan runcing, dengan dada busung. Burung-burung jenis terbaik ini dimasukkan dalam sangkar yang bersih dan diberi makanan yang baik pula. "Kalau perlu diberi makanan perangsang seperti kunir dan jengkerik," katanya. Setiap pagi, selain memandikan dan membelai-belai burung, Adi juga menendangkan lagu-lagu Jawa yang merdu, kemudian bersiul-siul. Itu semua untuk membiasakan burung-burungnya mendengarkan irama-irama tertentu. Bila burung itu sudah "jadi", rasa sayang Adi padanya lebih dari terhadap dirinya sendiri. "Setiap hari sangkarnya saya bersihkan. Padahal belum tentu seminggu sekali saya membersihkan tempat tidur saya sendiri," katanya. Risiko memiliki burung yang sudah 'jadi" tentu ada. Mati karena pemiliknya lengah, diterkam kucing atau terbang ketika dimandikam "Tapi saya percaya, kalau hilang, biasanya selalu ada gantinya. Sedang burung yang lepas, tak usah dikejar. Itu bukan rezeki kita," katanya lagi. Menurut Adi, burung perkutut yang baik ialah yang kicaunya panjang dengan lekuk-liku alunan di tengah-tengahnya. Adi punya perkutut yang pernah ditawar orang seharga satu mobil Honda Life. "Saya tidak mau melepaskannya," ujarnya mantap sembari jari-jari tangannya mengeluarkan bunyi berdecak-decak sementara mulutnya bersiul-siul kecil mengajak si perkutut manggung alias berkicau. Hur-ketekuk-kuk-kuk-kuk . . . Menurut Adi, harga burung yang sudah "jadi" tidak ada standarnya. "llarga itu ditentukan oleh selera, tergantung dari tingkat kesukaan pembelinya. Kalau sudah senang, biasanya harga tidak menjadi soal lagi," tambahnya. Setiap hari Adi dapat mengumpulkan uang Rp 20.000, sementara biaya pemeliharaan burung-burungnya tak kurang dari Rp 7.000 per hari. Selama empat tahun berdagang burung di Bandung, Adi bersaudara berhasil membeli tanah 1,5 ha di Imogiri Yogyakarta bahkan juga membangun sebuah masjid seharga Rp 10 juta di sana. Enam bulan sekali, secara bergiliran, mercka menjenguk kampung kelahirannya itu. Soni, salah seorang pelatih burung di pasar burung Bratang, di pinggiran Kota Surabaya, mengaku membelai burung sebelum ia sarapan pagi. "Kalau burung itu tidak mau juga berkicau saya harus pandai mengambil hatinya" katanya. Misalnya dengan bersiul-siul dari jarak agak jauh. Kalau perlu mendekatkan burung berlainan jenis yang sudah "jadi". "Burung itu juga punya rasa iri hati terhadap lawan jenisnya," katanya lagi. Menurut pemuda asal hladura ini, tidak ada obat, jamu atau ramuan khusus untuk membikin burung pandai berkicau. rapi untuk menambah suaranya lebih nyaring biasanya diberi makan pisang, kroto (telur semut merah), ditambah ulat, jengkerik dan kalajengking. Bisa juga ditambah dengan vitamin ternak ang dikenal dengan kode 521. Soni, yang penghasilannya kini tak menentu karena kiosnya bangkrut, pernah diminta melatih burung sampai ke Malang, Bali dan Jakarta. Sehari-hari kini ia hanya membantu melatih burung-burung milik para pedagang di Brateng. Sehari ia hanya mendapat uang makan dan rokok sekedarnya--bila si pedagang mendapat keuntungan. Menurut Sunarjo, ketua Perhimpunan Bumng Indonesia cabang Surabaya jenis burun berkicau yan kini pasarannya paling laris ialah Wa-bie asal Hongkong. Yang sudah "jadi" bisa mencapai Rp 750.000 per ekor, yang masih "bakalan" sekitar Rp 200.000. Ciri burung ini, kalau ingin kicaunya bisa bagus, tidak boleh dipersandingkan dengan betinanya. Mungkin malu. Bagi Soemadji, 38 tahun, salah seorang pelatih burung dari pasar burung Ilgasem, Yogyaharta, mendengarkan kicau burung itu tak uhahnya menikmati alunan musik. "Mendengar suara westy Wirabuana di radio bisa asyik meskipun tidak melihat orangnya. Regitu pula menikmati kicau burung yang berirama tinggi dengan alunan yang indah," katanya sambil mesem. Menurut Soemadji, burung perkutut pemenang kontes nasional ada yang mencapai harga Rp 100 juta. Sedang perkutut pemenang kontes tingkat daerah "hanya" seharga Rp 100 sampai Rp 150.000. "Tapi ada pula yang ditukar dengan Daihatsu Charade atau Mercy Tiger kok," tambahnya pula penuh yakin. "Kalau orang tidak bisa menikmati kicau burung tentu saja lebih suka beli mobil. Tapi jiwa orang ini buta," katanya . Sebagai pelatih burung, Soemadji punya cara baru untuk mempercepat burungnya pandai berkicau. Ia memutarkan kaset berisi bermacam-macam kicau burung. "Kalau setiap hari bersiul terus-terusan, saya kan capek katanya lagi. Tentang keharusan menggosok lidah burung dengan emas atau menyuapinya dengan air ludah, tak pernah dilakukannya. "Itu bohong," katanya ketus. "Saya kira itu hanya kiasan saja agar kita menyayanginya," tambahnya. Tapi menurut pengalamannya selama 3 tahun tinggal di Hongkong, jika perkutut jantan Indonesia dikawinkan dengan betina asal Hongkong, akan melahirkan bibit unggul. Bukan hanya berkicau dengan lekuk irama yang indah, tapi suara kuk-nya juga seolah-olah bergema hingga terdengar menjadi kung Hurkeekung-kung . . . Soemadji sering menampilkan burung-burungnya dalam kontes. "Tapi yang membawa kenalan saya, sebab saya tak punya tampang orang kaya," katanya bersungguh-sungguh. Cucakrawa kesayangannya pada 1973 meraih juara pertama, laku Rp 3,5 juta. Lima tahun kemudian bekisarnya tampil sebagai juara kedua, laku Rp 900.000. Bekisar ialah hasil perkawinan ayam hutan dengan ayam betina kampung. "Uangnya saya ambil, tapi surat penghargaannya diambil kenalan saya," katanya tertawa. Kenapa orang suka burung? Menurut Soemadji, kegemaran itu sama saja dengan kegemaran terhadap lukisan atau barang-barang antik. "Masing-masing kan ada seninya," tambahnya. Langganan tetapnya Soeroso MA, bekas rektor UGM. "Pak Soeroso pernah ke mari bersama Pak Daoed Joesoef. Tapi Pak Menteri P & K itu hanya melukis. Yang satu gila burung yang lain gila lukisan," katanya tertawa lagi. "Tapi sejak ada Menteri PPLH, jarang ada kontes burung. Dan jual beli burung juga tidak seramai dulu. Apalagi sekarang ini di mana-mana orang menyetel lagu dari radio atau kaset Kicau burung jadi tengelam," ujarnya getir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus