SETIAP pagi, menyongsong matahari terbit, Wak Koboi asyik
menikmati kicau burung merbuk kesayangannya sembari
bergolek-golek. "Rasanya nikmat," ujarnya. "Saya harnpir tak
bisa berpisah dengan burung," katanya lagi. Dengan nama asli Ali
Redjo, 65 tahun, Wak Koboi adalah pelatih burung yang cukup
beken di Medan.
Tak jelas sejak kapan dan mengapa Ali Redjo dipanggil Wak Koboi.
Tapi barangkali karena keahliannya menjinakkan dan melatih
burung -- seperti halnya coboy ahli menjinakkan kuda dan sapi.
Di pasarburung Jalan Bintang, Medan, nama Wak Kobol juga dikenal
sebagai satu-satunya pelatih burung yang pintar menirukan
sekitar 15 kicauan berbagai jenis burung. Itu berkat
pengalamannya selama 30 tahun menggauli dunia burung. Sejak
muda, ketika masih di Jawa, ia sering menjerat hewan itu di
hutan-hutan.
Keahlian itu pula yang akhirnya menjadi gantungan nafkahnya.
Para penggemar burung biasanya tidak mahir menjinakkan dan
melatih burung yang mereka beli dari Wak Koboi. Itulah sebabnya
sang koboi sering dipanggil kembali buat mengatasinya. "Kalau
hanya untuk menjinakkan saja, artinya sekedar tak lasak dalam
sangkar, cukup dua bulan saja saya tangani," katanya.
Caranya antara lain dimandikan seminggu dua kali, setiap Selasa
dan Jumat Kliwon -- selain dikasih tambahan makan "jamu burung"
yang banyak dijual di pasar-pasar burung. Khusus burung merbuk,
Wak Koboi memandikannya dengan air bekas cucian beras yang
disebut leri, setiap pukul 7 pagi--lantas dibelai sambil dilatih
berkicau. Sebelum burungnya pandai, tentu Wak Koboi sendiri yang
berkicau.
Setelah itu dikembalikan ke dalam sangkar yang dikerek pada
sebatang tiang yang tinggi "Hal itu mesti dilakukan setiap hari,
tanpa jcmu dan penuh dengan rasa sayang," katanya lagi. Burung
yang dianggap "jadi", katanya, ialah yang akrab dengan
pemiliknya dan berkicau bagus. "Yang paling sulit dijinakkan
ialah burung merbuk berkaki hitam," kata Wak Koboi yang beranak
lima itu.
Menurut Wak Koboi, burung vang sudah "jadi" biasanya bereaksi
bila pemiliknya mendekat. Mengibas-ngibaskan ekor,
mengepak-ngepakkan sayap atau berkicau. Di antara burung-burung
yang dijualnya, burung merbuk yang paling laku. Tarif yang
dipasangnya cukup tinggi Rp 150.000 per ekor, termasuk
menjinakkan dan melatihnya. Dari kegiatan itu ia bisa
mengantungi Rp 2.000 per hari.
Untuk melatih burung agar pandai berkicau atau menirukan
kata-kata manusia, ada cara lain yang lebih khusus. Hal itu
misalnya dilakukan Mbok Ginem, 45 tahun, salah seorang pelatih
burung di Jakarta. Selain dibelai, si burung mesti dikasih makan
setiap kali Ginem makan. "Dengan begitu, saya dan burung jadi
sehati," katanya. Dan seminggu sekali, tepat di saat beduk
berbunyi di Hari Jumat, burung itu dimandikan dengan air
kembang setaman.
Sementara dimandikan, lidah burung digigit sedikit atau
digunting sedikit, lalu digosok-gosok dengan emas murni. "Saya
menggosoknya dengan cincin saya sendiri," ujar Ginem yang sejak
perawan gemar membelai burung kakeknya itu. Ginem memberi minum
burungnya dengan air liurnya, langsunr lari mulutnya. "Boleh
juga dengan tangan " tambahnya.
Di rumahnya, di kawasan Kramat Kwitang (Jakarta Pusat), selain
membuka warung nasi Ginem yang berasal dari Purwodadi (Jawa
Tengah) itu juga menjual burung. Sejumlah sangkar bergantungan,
suara kicau bermacam burung terdengar tak henti. "Yah, rumah ini
memang mirip kebun binatang kok," kata Muhammad, suaminya yang
juga pedagang burung itu, bergurau. Ada kutilang, kakatua,
merpati, jalak.
Jalak penyu kesayangannya, yang semula dibeli seharga Rp 5.500,
kini sudah pandai menirukan omongan orang. Misalnya: abu, bu,
san (nama panggilan pembantu Mbok Ginem), ngepel, tempe habis,
jam lima, bahkan menirukan suara ayam dan kucing.
Ada pengalaman Ginem yang menarik. Ketika masih kecil, orang tua
Ginem mmiliki seekor burung betet yang sudah bisa ngomong
bernama Melati Suatu hari si Melari dicuri orang dan ternyata
ganti nama menjadi si Koper. Ketika si pemilik baru memanggil
dengan sebutan Koper, hetet inl diam saja. Tapi ketika ayah
Ginem berseru "Melati. oyo kabare (Melati, apa kabar?)" kontan
si burung nyeletuk "Opo pak, Melati weng kene (Apa pak, Melati
di sini)."
Suatu hari, pada 1965, rumahnya di Kwitang hampir saja
kebakaran. Taili aneh, api yang menjalar ke ruang tengah --
tempat burung derkuku dalam sangkar digantung -- segera padam
hanya karena disiram air teh dari sebuah teko. Ada semacam
kepercayaan derkuku yang bisa berkicau dengan bunyi
bur-ketekuk-kuk-kuk (kuk tiga kali) konon antiapi. Ginem sendiri
heran.
Ginem juga percaya bahwa burung yang sudah ditawar untuk dibeli
tapi tidak diberikan, bisa cepat mati. Terbukti. Suatu hari
derkuku itu di-tawar Rp 150.000. Ginem yang sangat
menyayanginya tentu tidak melepaskannya Eh, tak lama kemudian si
"pemadam kebakaran" itu benar-benar mati.
Ia tak sayang menyisihkan uang Rp 500 sehari untuk membeli jatah
makan burung-burungnya.
Di pasar burung Jalan Diponegoro, Bandung, ada empat
kakak-beradik yang semuanya dikenal sebagai pelatih burung
berkicau. Salah seorang di antaranya Adi Utomo, 32 tahun, yang
sudah 14 tahun berdagang burung. "Kami sekeluarga, bahkan
turun-temurun, memang berdarah pelatih burung," kata Adi. Konon
para pecandu burung di beberapa kota di Jawa sudah mengenalnya.
Ia mengaku bisa melatih semua jenis burung. "Merpati bisa
dilatih mencintai tuannya, jalak atau kenari hisa dilatih
menyanyi. Semua itu tergantung dari kesabaran dan ketelatenan
kita," katanya bersungguh-sungguh. Burung berkicau yang paling
banyak penggemarnya ialah cucakrawa, perkutut, kenari, beo dan
beberapa jenis yang berasal dari Muangthai atau Hongkong
seperti poksay dan wa-bie.
Tiga kali setiap hari (pagi-pagi, tengah hari dan menjelang
matahari terbenam), Adi melatih burung-burungnya secara
bersama-sama. Yang ia latih hanya y ang bertubuh kekar, berparuh
tipis dan runcing, dengan dada busung. Burung-burung jenis
terbaik ini dimasukkan dalam sangkar yang bersih dan diberi
makanan yang baik pula. "Kalau perlu diberi makanan perangsang
seperti kunir dan jengkerik," katanya.
Setiap pagi, selain memandikan dan membelai-belai burung, Adi
juga menendangkan lagu-lagu Jawa yang merdu, kemudian
bersiul-siul. Itu semua untuk membiasakan burung-burungnya
mendengarkan irama-irama tertentu. Bila burung itu sudah
"jadi", rasa sayang Adi padanya lebih dari terhadap dirinya
sendiri. "Setiap hari sangkarnya saya bersihkan. Padahal belum
tentu seminggu sekali saya membersihkan tempat tidur saya
sendiri," katanya.
Risiko memiliki burung yang sudah 'jadi" tentu ada. Mati karena
pemiliknya lengah, diterkam kucing atau terbang ketika
dimandikam "Tapi saya percaya, kalau hilang, biasanya selalu ada
gantinya. Sedang burung yang lepas, tak usah dikejar. Itu bukan
rezeki kita," katanya lagi. Menurut Adi, burung perkutut yang
baik ialah yang kicaunya panjang dengan lekuk-liku alunan di
tengah-tengahnya.
Adi punya perkutut yang pernah ditawar orang seharga satu
mobil Honda Life. "Saya tidak mau melepaskannya," ujarnya mantap
sembari jari-jari tangannya mengeluarkan bunyi berdecak-decak
sementara mulutnya bersiul-siul kecil mengajak si perkutut
manggung alias berkicau. Hur-ketekuk-kuk-kuk-kuk . . .
Menurut Adi, harga burung yang sudah "jadi" tidak ada
standarnya. "llarga itu ditentukan oleh selera, tergantung dari
tingkat kesukaan pembelinya. Kalau sudah senang, biasanya harga
tidak menjadi soal lagi," tambahnya. Setiap hari Adi dapat
mengumpulkan uang Rp 20.000, sementara biaya pemeliharaan
burung-burungnya tak kurang dari Rp 7.000 per hari.
Selama empat tahun berdagang burung di Bandung, Adi bersaudara
berhasil membeli tanah 1,5 ha di Imogiri Yogyakarta bahkan juga
membangun sebuah masjid seharga Rp 10 juta di sana. Enam bulan
sekali, secara bergiliran, mercka menjenguk kampung kelahirannya
itu.
Soni, salah seorang pelatih burung di pasar burung Bratang, di
pinggiran Kota Surabaya, mengaku membelai burung sebelum ia
sarapan pagi. "Kalau burung itu tidak mau juga berkicau saya
harus pandai mengambil hatinya" katanya. Misalnya dengan
bersiul-siul dari jarak agak jauh. Kalau perlu mendekatkan
burung berlainan jenis yang sudah "jadi". "Burung itu juga punya
rasa iri hati terhadap lawan jenisnya," katanya lagi.
Menurut pemuda asal hladura ini, tidak ada obat, jamu atau
ramuan khusus untuk membikin burung pandai berkicau. rapi untuk
menambah suaranya lebih nyaring biasanya diberi makan pisang,
kroto (telur semut merah), ditambah ulat, jengkerik dan
kalajengking. Bisa juga ditambah dengan vitamin ternak ang
dikenal dengan kode 521.
Soni, yang penghasilannya kini tak menentu karena kiosnya
bangkrut, pernah diminta melatih burung sampai ke Malang, Bali
dan Jakarta. Sehari-hari kini ia hanya membantu melatih
burung-burung milik para pedagang di Brateng. Sehari ia hanya
mendapat uang makan dan rokok sekedarnya--bila si pedagang
mendapat keuntungan.
Menurut Sunarjo, ketua Perhimpunan Bumng Indonesia cabang
Surabaya jenis burun berkicau yan kini pasarannya paling laris
ialah Wa-bie asal Hongkong. Yang sudah "jadi" bisa mencapai Rp
750.000 per ekor, yang masih "bakalan" sekitar Rp 200.000. Ciri
burung ini, kalau ingin kicaunya bisa bagus, tidak boleh
dipersandingkan dengan betinanya. Mungkin malu.
Bagi Soemadji, 38 tahun, salah seorang pelatih burung dari pasar
burung Ilgasem, Yogyaharta, mendengarkan kicau burung itu tak
uhahnya menikmati alunan musik. "Mendengar suara westy
Wirabuana di radio bisa asyik meskipun tidak melihat orangnya.
Regitu pula menikmati kicau burung yang berirama tinggi dengan
alunan yang indah," katanya sambil mesem.
Menurut Soemadji, burung perkutut pemenang kontes nasional ada
yang mencapai harga Rp 100 juta. Sedang perkutut pemenang kontes
tingkat daerah "hanya" seharga Rp 100 sampai Rp 150.000. "Tapi
ada pula yang ditukar dengan Daihatsu Charade atau Mercy Tiger
kok," tambahnya pula penuh yakin. "Kalau orang tidak bisa
menikmati kicau burung tentu saja lebih suka beli mobil. Tapi
jiwa orang ini buta," katanya .
Sebagai pelatih burung, Soemadji punya cara baru untuk
mempercepat burungnya pandai berkicau. Ia memutarkan kaset
berisi bermacam-macam kicau burung. "Kalau setiap hari
bersiul terus-terusan, saya kan capek katanya lagi. Tentang
keharusan menggosok lidah burung dengan emas atau menyuapinya
dengan air ludah, tak pernah dilakukannya. "Itu bohong,"
katanya ketus. "Saya kira itu hanya kiasan saja agar kita
menyayanginya," tambahnya.
Tapi menurut pengalamannya selama 3 tahun tinggal di Hongkong,
jika perkutut jantan Indonesia dikawinkan dengan betina asal
Hongkong, akan melahirkan bibit unggul. Bukan hanya berkicau
dengan lekuk irama yang indah, tapi suara kuk-nya juga
seolah-olah bergema hingga terdengar menjadi kung
Hurkeekung-kung . . .
Soemadji sering menampilkan burung-burungnya dalam kontes. "Tapi
yang membawa kenalan saya, sebab saya tak punya tampang orang
kaya," katanya bersungguh-sungguh. Cucakrawa kesayangannya pada
1973 meraih juara pertama, laku Rp 3,5 juta. Lima tahun kemudian
bekisarnya tampil sebagai juara kedua, laku Rp 900.000. Bekisar
ialah hasil perkawinan ayam hutan dengan ayam betina kampung.
"Uangnya saya ambil, tapi surat penghargaannya diambil kenalan
saya," katanya tertawa.
Kenapa orang suka burung? Menurut Soemadji, kegemaran itu sama
saja dengan kegemaran terhadap lukisan atau barang-barang antik.
"Masing-masing kan ada seninya," tambahnya. Langganan tetapnya
Soeroso MA, bekas rektor UGM. "Pak Soeroso pernah ke mari
bersama Pak Daoed Joesoef. Tapi Pak Menteri P & K itu hanya
melukis. Yang satu gila burung yang lain gila lukisan," katanya
tertawa lagi. "Tapi sejak ada Menteri PPLH, jarang ada kontes
burung. Dan jual beli burung juga tidak seramai dulu. Apalagi
sekarang ini di mana-mana orang menyetel lagu dari radio atau
kaset Kicau burung jadi tengelam," ujarnya getir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini