Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Di sudut-sudut betawi lama

Pengarang: adolf heuken sj. jakarta: cipta loka sarana, 1982 resensi oleh: siswadhi. (bk)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HISTORICAL SITES OF JAKARTA oleh Adolf Heuken SJ, Cipta Loka Sarana, Jakarta, 1982, 225 hal., Bibliografi, indeks Dengan 260 gambar hitam-putih, 33 foto berwarna dan 16 peta. KOTA akarta makin lama makin meluas. Sedang irama kehidupan nya yang semakin cepat, membuat orang tak sempat menengok ke hal atau benda "tetek-bengek". Termasuk benda-benda bersejarah. Buku Adolf Heuken ini mengajak kita beralih sejenak. Dari pesona gedung-gedung megah, ke peninggalan masa lampau -- seperti wisma-wisma tuan tanah, masjid, gereja, kelenten kuno, dengan latar belakang aneka ragam. Sekian banyak hangsa. suku agama budaya, memang sudah ikut menyumbang dalam pembentukan Kota Jakarta Bertemunya aneka unsur itu kita lihai dalam pelbagai "keajaiban". Antaranya tugu prasasti Hindu yang pernah dikeramatkan penduduk. Kumpulan arca Hindu yang dipuja dalam kelenteng Cina Gereja Belanda yang diperuntukkan umat Protestan Portugis. Atau kelenteng dengan keramat "Islam" di dalamnya. Dengan gaya bahasa ringan namun cukup memikat, Heuken berbicara kepada pembaca bak pemandu wisata. Ia mengajak kita melihat apa yang masih tersisa dari masa kapal-kapal Kompeni mengarungi samudra dan membuang sauhnya di pelabuhan Sunda Kelapa. Penulis menunjukkan bekas benteng, sisa tcmbok pertahanan kota, gudang-gudang yang sampai kini masih berfungsi, tempat-tempat beribadat dengan perabot, pahatan dan suasana antik. Dalam bab I kita diantar ke daerah pelabuhan Sunda Kelapa atau Pasar Ikan dan sekitarnya -- tempat "benih ditanamkan yang akan tumbuh menjadi sebuah kota berpenduduk enam juta orang" Dalam bab II dikunjungi Museum Sejarah Jakarta di Taman Fatahillah, dengan uraian lengkap mengenai isinya dan kisah benda-benda di dalamnya. Kota Batavia Kuno, yang wilayahnya hanya mencakup daerah Pasar Ikan sampai sekitar Jalan Jembatan Batu-Asemka sekarang, ditinjau dalam bab III. Antaranya kita diajak melihat-lihat beberapa gedung dari abad XVIII, seperti 'Toko daerah' yang terkenal. Bab IV dikhususkan untuk 'Gereja Portugis Di luar Tembok Kota'. sekarang Gereja Sion di Jalan Jakarta, dan monumen Pieter Erbervelt. Desa tugu, yang sudah ditandai sebuah prasasti Raja Purnawarman, dengan sisa "masyarakat Portugis"nya dan musik keroncongnya, ditinjau dalam bab V. Bab VI membicarakan Wisma Reinier de Klerk yang sekarang dipakai sebagai depo Arsip Nasional. Sekarang berada di tepi Jalan Gajah Mada yang selalu macet lalu lintasnya, padahal dulu di villa mewah "jauh di luar kota". Karena Belanda sangat tidak toleran terhadap agama lain kecuali yang dianut mereka sendiri, tempat ibadat lain harus didirikan di luar kota pula. Dalam bab VII dan VIII kita ke luar kota mendapatkan masjid-masjid kuno dan kelenteng-kelenteng Cina. Kemudian menginjak masa yang lebih baru, abad XIX, dengan meninjau gedung-gedung di Jakarta Pusat yang dulunya bernama Weltevrelen --terutama sekitar Lapangan Banteng dan Lapangan Merdeka -- di bab IX. Tak dilupakan pula bekas pekuburan Tanah Abang yang kini sebagian menjadi Taman Prasasti, dengan kisal, liku-liku kehidupan manusianya yang penuh haru, di bab X. Akhirnya pengembaraan ke masa silam disudahi dengan menjenguk rumah-rumah tuan tanah atau villa-villa peristirahatan, yang tersebar di dalam maupun di pinggir Kota Jakarta sekarang. Terakhir menyeberang ke pulau-pulau di Teluk Jakarta seperti Pulau Kapal, Kahyangan, Bidadari dan lainnya yang masing-masing punya ceritanya sendiri. Karya ini bukan sejarah Jakarta, demikian penulis (hal. 13). Melainkan hanya memberi keterangan tentang tempat bersejarahnya. Tapi, katanya selanjutnya, yang lebih penting dari bata-bata lapuk ialah manusianya, yang hidup dan bekerja keras, bercinta, membenci, dan menderita karena ulah sesamanya atau iklim buruk. Sebab ini riwayat benda-benda mati itu banyak diselingi kisah yang manusiawi. Dari semua kisah masa lalu itu Heuken sempat menambahkan catatan pinggir Bahwa ada masalah dan sikap hidup yang tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan. Yakni banjir, yang melanda kota hampir setiap tahun. Sikap acuh tak-acuh terhadap kebersihan lingkungan. Dan pengutamaan lambang-lambang status dengan memboroskan sebagian besar harta ("gengsi!"). Secara keseluruhan, buku ini merupakan bacaan yang menarik dan bermanfaat, lebih-lebih bagi pecinta Jakarta. Kita patut menghargai ketekunan penulis menghimpun bahan lngkap, dengan penelitian lapangan, sehingga bisa memberikan informasi yang tepat. Kerusakan parah pada beberapa tempat seharusnya mendapat perhatian penuh dari pihak berwewenang. Memang, beberapa hal yang menyangkut data kesejarahan dalam buku ini masih bisa dibicarakan ala kadarnya (lihat box). Di samping itu, setelah membaca dengan asyik sampai halaman terakhir, kami tak dapat menahan rasa kecewa bahwa buku ini telah tamat--kebetulan bersama tamatnya sejarah penjajahan. Kenapa tidak dilanjutkan ke Gedung kebangkitan nasional eks-Stovia, Gedung Sumpah Pemuda, Taman Proklamasi, dan seterusnya? Siswadhi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus