APA yang diucapkan Romeo, kepada Juliet, ketika menyatakan
cintanya? Atau Pranacitra kepada Rara Mendut? Berbedakah
ungkapan Muhammad kepada Khadijah dan Aisyah'? Atau bagaimana
ekspressi Adam, kepada Hawa ketika belum ada bahasa - sebagai
ekspressi budaya kolektif manusia?
Hari ini, di zaman yang makin pintar, seorang lelaki mungkin
berkata: "Kekasihku, aku merasakan ada kejutan gejala dalam
mekanisme urat sarafku. Kuanalisa, fenomena itu timbul oleh
suatu rangsang tertentu dari luar yang menggetarkan seluruh
sistem nilai dalam diriku. Rangsang itu adalah engkau, satu
tesis baru ...."
Terasa berlebihan? Tentu. Ini hanya karikatur. Muncul ketika
secara tajam saya merasakan suatu iklim yang barangkali bisa
dipahami lewat baris puisi ini: Sejuta ilmu lupa pada yang
sederhana, sejuta orang pandaigagal melihat cakrawala, sejuta
kemajuan terlepas dari sumbernya ....
Tak usah sodorkan klise dengan mengecam budaya spesialisasi atau
keterpecahan kehidupan. Tetapi bagaimana mendorong kembali
tumbuhnya disiplin merangkum. Petualang justru pergi untuk
menemukan dirinya kembali, burung terbang memerlukan dahan
hinggapnya kembali, ilmu dan seni yang berfantasi membutuhkan
proporsinya kembali di bumi.
Kita yang belum lama ingin pandai, sering gagal untuk itu. Seni
kita berabstraksi setinggi Solyut atau Venus, ketika didaratkan
kembali ia jadi tempelan yang aneh dan lucu. Olah pemikiran kita
sering luput menemukan kembali integritas di tengah kerangka
utuh kehidupan.
Demikianlah, mengadakan seminar bagaimana berdakwah, sekian jago
berdebat, sekian methodologi dipertandingkan, sekian sisi
pandangan diterapkan, sekian prestasi ketinggian ilmu
dipanggungkan sementara tak ada indikasi bahwa semua itu hendak
diterjemahkan menjadi suatu keinginan dan perencanaan gerak.
Seorang peserta berkata: Seseorang yang pekerjaannya memang
berdakwah, tak akan punya ide untuk berseminar besar seperti ini
tentang dakwah. Metodenya ia perkembangkan justru dengan terjun
langsung, atau dengan lebih banyak ngomong-ngomong dengan
tetangganya. Dakwah itu cuma soal merayu, mengambil hati. Itu
memang tak gampang, tapi seminar ini terlalu ruwet, dan kita
bisa macet di tengah keruwetan ini.
Yang ngomong ini mungkin 'kurang pinter'. Tapi yang. perlu kita
perhatikan darinya ialah semangat untuk berbuat, lebih dari
semangat untuk berkata. Kita mungkin berbuat terkadang dengan
cara berkata, tapi tak setiap berkata itu berbuat. Kita
barangkali perlu menghitung, seminar-serni nar itu misalnya,
berapa yang berkata dan berapa yang berbuat.
Semangat intelektual iu pula yang menelurkan istilah umpamanya
musik Muslim, Film Dakwah atau yang paling populer: Seni untuk
Dakwah. Nafsu besar begini sering justru meloncati keharusan
ketrampilan seninya sendiri, suatu medium yang hendak
'diperalat' efektivitasnya. Untung saja istilah itu pada
akhirnya menghasilkan juga kesadaran banwa yang penting bikin
seni yang baik. Baik untuk kehidupan. Artinya, baik secara
estetika, tapi juga baik secara sisi nilai manusia yang lainnya.
Tak seorang pun di antara kita barangkali yang tak terlibat
dalam iklim kekenesan, kegenitan dan terkadang kecongkakan
intelektual semacam itu. Mungkin saja karena kita butuh waktu
panjang, satu atau dua generasi, untuk memungkinkan setiap
evolusi kreativitas bisa mengkait dan menyatu dengan pertumbuhan
riil masyarakat. Bahkan tilawatul-Quran, kini makin cenderung
meng-gagah, terasa dihinggapi pamrih, show pamer.
Seorang pernah mengatakan "kenes, genit, itu hiasanya
kecenderungan yang berlanjut ke melacur". Naudzubillah, semoga
tidak, meskipun selama ini sejarah cenderung kurang adil dengan
hanya mencatat cewek-cewek tertentu itu seba gai pelacur, dan
bukan pelacuran di dunia politik, ilmu atu seni.
Kita memang hidup dalam suatu sistem yang sangat merangsang
pelacuran, kadang malah memaksakannya. Hidup makin banyak
mengandung syubhat: kita menggembala kan kambing di padang yang
terletak di sisi kebun tanaman orang. Kita harus tekun waspada
sedemikian rupa jangan sampai kambing itu - yang ternyata adalah
diri kita sendiri nyelonong makan tanaman tetangga itu. Atau
justru 'karir' kita mesti dicapai dengan ketrampilan untuk
nyelonong. Jangan-jangan kita memang 'sekedar' penjual rakyat,
tengkulak kejelatan, mengkomoditikannya dengan bungkus indah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini