Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mas pinter yang genit

Gejala senang berseminar di antara intelektual memprihatinkan. hanya merupakan forum adu pendapat, kurang adanya tindakan. dikhawatirkan, kepandaian yang mereka miliki hanya untuk menipu rakyat.

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang diucapkan Romeo, kepada Juliet, ketika menyatakan cintanya? Atau Pranacitra kepada Rara Mendut? Berbedakah ungkapan Muhammad kepada Khadijah dan Aisyah'? Atau bagaimana ekspressi Adam, kepada Hawa ketika belum ada bahasa - sebagai ekspressi budaya kolektif manusia? Hari ini, di zaman yang makin pintar, seorang lelaki mungkin berkata: "Kekasihku, aku merasakan ada kejutan gejala dalam mekanisme urat sarafku. Kuanalisa, fenomena itu timbul oleh suatu rangsang tertentu dari luar yang menggetarkan seluruh sistem nilai dalam diriku. Rangsang itu adalah engkau, satu tesis baru ...." Terasa berlebihan? Tentu. Ini hanya karikatur. Muncul ketika secara tajam saya merasakan suatu iklim yang barangkali bisa dipahami lewat baris puisi ini: Sejuta ilmu lupa pada yang sederhana, sejuta orang pandaigagal melihat cakrawala, sejuta kemajuan terlepas dari sumbernya .... Tak usah sodorkan klise dengan mengecam budaya spesialisasi atau keterpecahan kehidupan. Tetapi bagaimana mendorong kembali tumbuhnya disiplin merangkum. Petualang justru pergi untuk menemukan dirinya kembali, burung terbang memerlukan dahan hinggapnya kembali, ilmu dan seni yang berfantasi membutuhkan proporsinya kembali di bumi. Kita yang belum lama ingin pandai, sering gagal untuk itu. Seni kita berabstraksi setinggi Solyut atau Venus, ketika didaratkan kembali ia jadi tempelan yang aneh dan lucu. Olah pemikiran kita sering luput menemukan kembali integritas di tengah kerangka utuh kehidupan. Demikianlah, mengadakan seminar bagaimana berdakwah, sekian jago berdebat, sekian methodologi dipertandingkan, sekian sisi pandangan diterapkan, sekian prestasi ketinggian ilmu dipanggungkan sementara tak ada indikasi bahwa semua itu hendak diterjemahkan menjadi suatu keinginan dan perencanaan gerak. Seorang peserta berkata: Seseorang yang pekerjaannya memang berdakwah, tak akan punya ide untuk berseminar besar seperti ini tentang dakwah. Metodenya ia perkembangkan justru dengan terjun langsung, atau dengan lebih banyak ngomong-ngomong dengan tetangganya. Dakwah itu cuma soal merayu, mengambil hati. Itu memang tak gampang, tapi seminar ini terlalu ruwet, dan kita bisa macet di tengah keruwetan ini. Yang ngomong ini mungkin 'kurang pinter'. Tapi yang. perlu kita perhatikan darinya ialah semangat untuk berbuat, lebih dari semangat untuk berkata. Kita mungkin berbuat terkadang dengan cara berkata, tapi tak setiap berkata itu berbuat. Kita barangkali perlu menghitung, seminar-serni nar itu misalnya, berapa yang berkata dan berapa yang berbuat. Semangat intelektual iu pula yang menelurkan istilah umpamanya musik Muslim, Film Dakwah atau yang paling populer: Seni untuk Dakwah. Nafsu besar begini sering justru meloncati keharusan ketrampilan seninya sendiri, suatu medium yang hendak 'diperalat' efektivitasnya. Untung saja istilah itu pada akhirnya menghasilkan juga kesadaran banwa yang penting bikin seni yang baik. Baik untuk kehidupan. Artinya, baik secara estetika, tapi juga baik secara sisi nilai manusia yang lainnya. Tak seorang pun di antara kita barangkali yang tak terlibat dalam iklim kekenesan, kegenitan dan terkadang kecongkakan intelektual semacam itu. Mungkin saja karena kita butuh waktu panjang, satu atau dua generasi, untuk memungkinkan setiap evolusi kreativitas bisa mengkait dan menyatu dengan pertumbuhan riil masyarakat. Bahkan tilawatul-Quran, kini makin cenderung meng-gagah, terasa dihinggapi pamrih, show pamer. Seorang pernah mengatakan "kenes, genit, itu hiasanya kecenderungan yang berlanjut ke melacur". Naudzubillah, semoga tidak, meskipun selama ini sejarah cenderung kurang adil dengan hanya mencatat cewek-cewek tertentu itu seba gai pelacur, dan bukan pelacuran di dunia politik, ilmu atu seni. Kita memang hidup dalam suatu sistem yang sangat merangsang pelacuran, kadang malah memaksakannya. Hidup makin banyak mengandung syubhat: kita menggembala kan kambing di padang yang terletak di sisi kebun tanaman orang. Kita harus tekun waspada sedemikian rupa jangan sampai kambing itu - yang ternyata adalah diri kita sendiri nyelonong makan tanaman tetangga itu. Atau justru 'karir' kita mesti dicapai dengan ketrampilan untuk nyelonong. Jangan-jangan kita memang 'sekedar' penjual rakyat, tengkulak kejelatan, mengkomoditikannya dengan bungkus indah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus