ADA mimbar berukir di Museum Sejarah Jakarta. Dari mana ia
berasal? Di halaman 48 buku Heuken, dikatakan "dari masjid di
Kebon Jeruk di Jalan Bandengan Selatan 34". Tapi di halaman 108
disebutkan, yang di Jalan Bandengan Selatan 34 itu namanya
Masjid Kampung Baru. Ini memang satu hal yang bisa bikin bingung
pembaca.
Juga nama 'Toko Merah' (hlm. 63 foto hlm. 67). Ia sudah dikenal
sebelum pertukaran abad ini, jadi bukan berasal warna merah bata
(semu). Tindakan pemugar yang menambahkan motif bata-bataan
merah pada 'tampak depan' rumah itu harus disesalkan, sebab
umumnya rumah-rumah Belanda dari abad XVIII dicat putih bersih
(lihat Oud Batavia, II 1922, hlm. 42).
Pada hlm. 86 dikatakan, penggalian terusan dilakukan di bawah
pemerintahan Purnawarman oleh para brahmana. Prasasti Tugu tidak
menyebutkan pekerjaan itu dilakukan (performed) oleh para
pendeta. Tentunya akan merupakan dosa benar Purnawarman, sebagai
raja Hindu, menyuruh brahmana bekerja rodi. Bahwa mereka ketiban
hadiah seribu ekor sapi, memang benar.
Masih tentang inskripsi. Nisan yang berpahat huruf Cina di
Masjid Kebon Jeruk, menyatakan bahwa yang dimakamkan di situ
ialah istri Tn. Chai (Tschoa, sama saja). Apakah almarhumah
memang istri pemimpin peranakan Cina yang pendiri masjid itu,
seperti dikatakan tradisi, atau apakah Chai alias Tschoa identik
dengan Kapitan Tamien Dosol Seeng, kiranya belum ada yang bisa
memastikan.
Toh, alangkah baiknya buku ini juga diterbitkan edisi
Indonesianya. Sehingga tak ada kesan ia ditulis untuk orang
asing semata-mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini