Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit jantung adalah salah satu penyumbang angka kematian terbesar di Indonesia dan memiliki beberapa jenis yang sering terjadi secara mendadak, tak terkecuali pada tubuh yang sehat. Jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung (aritmia) yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 per tahun. Salah satu jenis yang muncul adalah Sindrom Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan dan menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada orang sehat (>20 persen), terutama di Asia Tenggara. Penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung sehingga menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanganannya perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal. Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung tetapi di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD). Pada 9 Maret 2024, Heartology menjadi rumah sakit jantung pertama di Indonesia yang melakukan pemasangan S-ICD pada pasien Sindrom Brugada.
Spesialis jantung Sunu Budhi Raharjo, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, mengatakan, “Belum lama ini seorang laki-laki usia 46 tahun dirujuk dari Papua untuk dilakukan pemeriksaan jantung di Heartology Hospital. Pasien relatif tanpa keluhan. Namun dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut Sindrom Brugada. Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal.”
“Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator. Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu,” tambah Sunu lewat keterangan yang diterima Tempo.
Kenali gejalanya
Gejala yang timbul dari Sindrom Brugada tidak jauh berbeda dari gangguan irama jantung lain, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang, sampai kematian mendadak. Sampai saat ini penyebab Sindrom Brugada belum jelas. Akan tetapi, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting.
Dari hasil wawancara pasien dari Papua diketahui kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50-an. Pada pemeriksaan lanjutan ditemukan pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.
Dengan terpasangnya alat ICD pada orang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung supercepat alat akan secara otomatis menghentikan dengan energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal. Karena itulah berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi kelas 1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi KJM.
Pilihan Editor: Saran Dokter agar Puasa Aman bagi Penderita Penyakit Jantung