Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Memusingkan depresi

Penderita depresi meningkat. banyak obat yang ditawarkan, tetapi tidak semua penderita cocok menelan obat itu.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI publik di Amerika Serikat, nama Dick Cavett memang populer. Aktor ini dipuja karena penampilannya dalam acara jenaka di televisi tampak tangkas memainkan dan mempingpong kata-kata. Tetapi tidak banyak yang tahu, katanya kepada majalah Time edisi Juli silam, dua belas tahun lampau dunia baginya sangat suram. Ia menderita depresi kronik. Gangguan kejiwaan yang sering diremehkan orang itu merongrongnya selama bertahun-tahun. Begitu tersiksanya Cavett, sampai-sampai merasa otaknya seperti remuk, karena asetnya yang paling berharga, yakni kemampuan intelektualnya, justru mogok. Dalam kondisi galau dan putus asa, kemudian Cavett memeriksakan dirinya ke rumah sakit jiwa. Ia menjalani psikoterapi selama lima minggu. Dalam menjalani terapi itu ia dilindungi dari perbuatan yang membahayakan, misalnya keinginan bunuh diri. Keinginan maut itu memang sering menggayuti pikiran penderita depresi. Cavett juga menjalani apa yang disebut farmakoterapi. Ia diberi obat antidepresan, yakni obat dari golongan MAO (monoamine oxidase) inhibitor. Kini Cavett sudah pulih kembali. Sebetulnya, selain MAO, masih ada dua golongan obat antidepresan lainnya, yakni tricyclic dan atipikal. Obat antidepresan berfungsi menghambat produksi zat MAO yang mengganggu sistem neurotransmiter. Dengan demikian, gejala psikopatologik bisa dihilangkan. Adakah obat antidepresan yang ideal? Misalnya, mempunyai efek antidepresan yang tinggi, dosisnya rendah, efek samping minimal, jangka waktu pemakaiannya pendek, tidak menyebabkan kantuk, memperbaiki pola tidur, tidak menyebabkan lemas, dan tidak menyebabkan ketagihan atau ketergantungan obat? Umumnya obat-obat antidepresan, menurut psikiater Dr. Dadang Hawari dalam makalahnya pada simposium tentang depresi, menyodorkan efek samping yang bervariasi, seperti mulut kering, pandangan mata kabur, retensi urine, konstipasi, hipotensi ortostatik, disfungsi seksual, dan naiknya bobot tubuh. Simposium itu diadakan di Jakarta dan Surabaya pada 5 dan 7 Desember silam oleh perusahaan farmasi PT Roche Indonesia, bekerja sama dengan Kelompok Studi Psikiatri Biologik. Obat dengan kriteria ideal memang belum ada. Tetapi obat antidepresan dengan nama generik moclobemide, alias Aurorix, atau yang sering disebut obat antidepresan RIMA (riversible inhibitor of monoamine oxidase type A), terbukti mempunyai efek samping ringan. Misalnya, tidak menambah berat badan, dan efek kantuk sedikit. Obat ini bekerja lebih cepat serta dapat diberikan pada penderita usia lanjut. Tahun silam di sebuah rumah sakit di Swiss dilakukan uji perbandingan moclobemide dengan obat antidepresan dari golongan tricyclic pada 490 penderita depresi. Hasilnya, hanya 15% pengguna moclobemide kena efek pusing, sementara yang minum obat golongan tricyclic ada 25% yang menderita pusing. Begitu juga pada efek mulut kering, yang minum moclobemide hanya tampak pada 25% penderita, sedangkan yang tricyclic mencapai 50%. Namun, menurut Dadang, tidak semua penderita cocok dengan moclobemide. Depresi adalah gangguan perasaan (mood disorder) yang ditandai rasa sedih, lesu, murung, merasa diri tidak berguna, atau tertekan. Beban perasaan itu, jika dibiarkan, akan menggiring rasa putus asa, sehingga tak jarang muncul pikiran untuk bunuh diri. Di Amerika, misalnya, lebih dari 12 juta penduduk menderita depresi, dan separuh di antaranya pernah melakukan usaha bunuh diri. Jumlah itu naik terus tiap tahun. Di Indonesia, menurut psikiater Dr. Jul Iskandar, penderita depresi 2,4% dari total penduduk, atau sekitar 7,6 juta jiwa. Pada tahun 1989, psikiater Dr. Myrna Weissman dari New York State Psychiatric Institute mengumumkan studi tentang jumlah penderita depresi di lima kota di Amerika Serikat yang dilakukan bersama timnya. Orang yang lahir pada tahun 1905, katanya, hanya 1% yang akan menderita depresi pada usia 75 tahun, sedangkan yang lahir pada tahun 1955 kemungkinan terserang penyakit itu lebih dini lagi, yakni pada usia 24 tahun. Studi lain yang dilakukan selama enam tahun pada 956 pria dan wanita Amerika makin memperkuat temuan Weissman. Pada usia di bawah 40 tahun, demikian menurut laporan yang dimuat di koran The New York Times Selasa pekan lalu, kemungkinan mengalami depresi tiga kali lebih besar daripada kelompok yang lebih tua usianya. Dari jumlah itu, ternyata jumlah penderita wanita tiga kali lebih banyak ketimbang lawan jenisnya. Peran ganda seorang wanita, sebagai ibu rumah tangga sekaligus juga bekerja, ternyata dapat melahirkan konflik kejiwaan tersendiri. Perceraian, menurut studi itu, ternyata juga lebih banyak membuat wanita lebih menderita. Keti dakpastian pada pasangan hidup bersama juga dapat mengakibatkan depresi pada wanita. Depresi ini, menurut beberapa peneliti, seperti dikutip Time, merupakan kelainan otak terhadap stres, yang bisa sembuh dalam waktu waktu sembilan sampai dua belas bulan. Sekarang, depresi dapat diobati dengan cepat dan efektif pada tujuh dari sepuluh kasus. Jika dilakukan pengobatan tahap kedua, rata-rata kesembuhan dapat mencapai 90%. Namun, penyakit itu selalu kambuh lagi, dan 70% penderita akan mendapat serangan serupa. Sehingga tampaknya penderita depresi itu tak bisa sembuh. Karena itu, menurut Dadang, di samping terapi klinis, pasien juga perlu menjalani terapi rohani. "Komitmen pada agama ternyata dapat memperkuat ketahanan mental menghadapi stres," kata Ketua Umum Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia itu. Sri Pudyastuti R. (Jakarta) dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus