KETIKA si Ani akan memakan jambu klutuk atau cabai, orang tuanya sudah lebih dahulu wanti-wanti agar ia tidak sampai menelan bijinya. Larangan semacam itu kepada anak-anaknya hampir sering dilakukan selama ini oleh kebanyakan orang tua. Kekhawatiran itu lahir lantaran orang sudah telanjur percaya atau merasa takut kalau biji buah-buahan itu masuk ke dalam perut. Karena biji buah jambu dan yang sebangsanya selama ini memang dituding sebagai biang penyakit usus buntu. "Padahal, terjadinya infeksi pada usus buntu itu tidak disebabkan masuknya biji-bijian," kata Dokter Ignatius Riwanto. Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang itu belum lama ini berhasil meraih gelar doktor dalam bidang bedah usus di Universitas Vrije, Amsterdam, Belanda. Dalam penelitian selama dua tahun yang melibatkan 421 responden, lelaki berusia 42 tahun ini menyimpulkan bahwa infeksi usus buntu lebih banyak disebabkan mereka kurang makan makanan berserat. Dari responden yang ditelitinya, Riwanto hanya menemukan lima orang yang usus buntunya kemasukan biji-bijian. Biji-bijian tersebut, menurut Riwanto, sebenarnya secara alamiah dapat dikeluarkan oleh usus buntu yang dalam keadaan sehat. Jadi, usus buntu itu tidak sedang mengalami infeksi dan konstipasi, atau sembelit, yaitu tertahannya tinja di dalam usus karena gerak usus yang lemah. Kenapa makanan berserat justru mencegah usus buntu? "Serat dalam makanan berfungsi menyerap air, sehingga memperlancar buang air besar. Akibatnya, usus dibiasakan melakukan gerakan kuat dalam proses pencernaan. Sehingga mereka yang makan makanan berserat jarang menderita sembelit," Riwanto menambahkan. Lain dengan mereka yang mengonsumsi makanan rendah serat, misalnya bahan makanan berlemak seperti daging. Kerja usus dalam mencerna makanan menjadi lamban dan sedikit menghasilkan kotoran, sehingga menumpuk dalam usus besar. "Menumpuknya kotoran itu juga menaikkan populasi flora normal, padahal kuman inilah yang mengakibatkan infeksi usus buntu," ujar Riwanto lagi. Selain itu, kurangnya makanan berserat juga akan menaikkan tekanan entrasekal pada usus besar. Tekanan itu sekitar rongga usus besar dekat usus buntu, yang lazim disebut sekum. Hasil penelitian Riwanto membuktikan tekanan intrasekal dalam sekum penderita usus buntu lebih tinggi daripada yang normal. Meningginya tekanan itu biasanya diderita mereka yang jarang buang air besar. Menumpuknya kotoran itu, menurut Riwanto, juga akan menghambat aliran pembuluh darah vena dan limfe, yang diikuti dengan menghambatnya drainase normal isi usus buntu ke sekum. Jadi, terjadi tekanan tinggi dalam sekum ini membuat usus buntu tidak mampu mengeluarkan benda yang masuk di dalamnya, sehingga tersumbat, dan buntutnya terjadilah infeksi. Penyembuhan infeksi usus buntu bisa dilakukan dengan cara operasi. Namun, kalau usus buntu itu sampai pecah dan terlambat penanganannya, penderitanya bisa meninggal dunia. "Angka insidensi infeksi usus buntu di Indonesia belum pernah diteliti. Tapi dilaporkan menempati urutan tertinggi dalam kasus kegawatan perut," kata Riwanto. Sebelum ditemukan antibiotik, kematian akibat infeksi usus buntu mencapai 40 persen dari jumlah penderita. Namun kini kematian akibat infeksi itu dapat ditekan, sehingga tinggal sekitar 5 persen dari jumlah penderita. Ada berbagai faktor yang memperberat infeksi usus buntu, antara lain adalah penyempitan saluran usus, usus buntu yang kurang geraknya karena pelengketan, atau alat penggantungnya terlalu pendek. "Faktor tersebut mempermudah perkembangan infeksi usus buntu ke arah yang lebih berat," kata Riwanto. Faktor lain lagi yang bisa menambah penderita infeksi usus buntu adalah peranan klep yang terdapat antara usus besar dan usus halus. Secara normal fungsi klep tersebut adalah untuk mencegah terjadinya aliran balik dari usus besar ke usus halus. Pada penderita infeksi usus buntu, klep yang tidak normal akan mengurangi penderita infeksi. Ini artinya, ketika terjadi sembelit, tekanan dalam sekum akan meninggi. Tekanan yang meninggi ini justru bakal mengakibatkan infeksi usus buntu itu pecah. Nah, ketika klep tersebut tidak normal, akan terjadi aliran balik. Dan tekanan yang tinggi pada sekum akan terkurangi akibat klep yang tidak normal, karena terjadi aliran balik ke usus halus. Sehingga tekanan pada sekum surut, kemudian infeksi pun juga berkurang. "Ini tentu lebih meringankan sakit pada penderita," kata Riwanto. Menurut Dokter Hendro Wartatmo, ahli bedah digestif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, temuan Riwanto itu merupakan hal baru. "Penelitian tentang penyebab usus buntu yang dikaitkan dengan fungsi klep yang terdapat di antara usus besar dan usus halus belum pernah ada," katanya kepada wartawan TEMPO R. Fadjri. Rahasia hadirnya usus buntu di dalam perut manusia hingga kini memang masih belum jelas. Riwanto mengaku tidak tahu secara pasti. Ada pendapat, katanya, yang menyebutkan usus buntu untuk memutar usus saat bayi masih dalam kandungan. Ada pula yang berpendapat usus itu punya andil sebagai fungsi kekebalan tubuh. "Tapi, kalaupun usus itu dipangkas, juga tidak banyak berpengaruh," kata doktor ahli usus buntu ini. Gatot Triyanto dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini