ADA yang main kucing-kucingan, dalam penarikan 285 jenis obat yang dilakukan Departemen Kesehatan satu setengah tahun yang lalu. Hal itu disinyalir beberapa ahli farmakologi dalam Seminar Pemakaian Obat Pada Anak, diYogyakarta Sabtu dua pekan lalu. Farmakolog terkemuka Iwan Darmansyah mengatakan, yang semula terdaftar sebagai obat kini ada yang berubah menjadi jamu atau makanan sehat (health food). Sebagai contoh, obat penyakit liver Essentiale. Obat ini ditarik karena diragukan keampuhannya sebagai pelindung liver. Dan Essentiale memang telah berganti rupa menjadi makanan sehat. Mereknya, Phyto Phospholipid. Ada pula yang terang-terangan tampil dengan merek lama. Obat wasir Essaven, misalnya, yang dulu ikut tergusur. ''Saya percaya, pasti masih ada beberapa merek obat yang sudah ditarik tapi beredar di pasaran,'' kata guru besar farmakologi klinik FK UI ini kepada TEMPO, tanpa ragu sedikit pun. Ada yang menuding bahwa beredarnya obat-obat yang sudah ditarik itu bukan hanya sebagai tablet atau kapsul, tapi juga dalam bentuk racikan. Dari mana 4racikan itu datang? ''Ada beberapa dokter yang masih membuatkan resepnya, padahal bahan itu sebenarnya sudah dilarang,'' kata seorang apoteker yang enggan disebut namanya. Yang menyesatkan, menurut Iwan Darmansyah, adalah obat-obat yang pernah ditarik kemudian secara resmi beredar kembali dengan bentuk lain, seperti jamu atau makanan sehat. ''Jelas ada permainan bisnis tertentu,'' kata anggota tim penilai obat jadi Departemen Kesehatan ini. Sinyalemen yang dilontarkan Iwan didukung Doktor Budiono Santoso. Kepala Laboratorium Farmakologi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menyebutkan penarikan 44 jenis obat yang mengandung siproheptadin dan pizotifen sebagai contoh. Semua obat tersebut dipromosikan sebagai sirop penambah nafsu makan bagi anak-anak, padahal ternyata tidak begitu. Toh kedua bahan itu masih tetap beredar. ''Kalau ada ibu yang minta nafsu makan anaknya bertambah, lantas dokter menuliskan resep dengan bahan tersebut dalam bentuk bubuk. Hal ini sulit diawasi,'' katanya kepada wartawan TEMPO Faried Cahyono. ''Kalau hal itu sulit dikontrol, para dokterlah yang semestinya memegang teguh kode etik. Jadi, jangan menulis resep melulu karena pesan sponsor,'' kata Slamet Soesilo menanggapi farmakolog dari UGM itu. Ia mensinyalir, pengedar obat-obat yang dilarang itu hanya mungkin bergerak leluasa karena kerja sama terselubung antara dokter dan produsen atau pedagang farmasi. Benarkah? Sebagai Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Slamet Soesilo tentu tidak bicara sembarangan. Dikatakannya bahwa Pemerintah dalam hal ini tidak berpangku tangan. Contohnya, pengambilan sampel yang dilakukan di pasar secara berkala. Sampel obat tersebut kemudian diteliti, apakah bahannya sesuai dengan yang dahulu tercantum di daftar atau tidak. Jajaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, katanya, juga telah melacak kasus beredarnya Essaven dan Essentiale di Solo dan Semarang. Namun, hasil pengecekan di lapangan hanya menemukan Essentiale yang telah dikemas sebagai makanan sehat. ''Sejauh tidak mencantumkan khasiat untuk mengobati suatu penyakit, boleh-boleh saja,'' kata Slamet Soesilo. Tentang jamu, dikatakannya, bisa saja jamu bebas beredar di pasaran asalkan berkhasiat tradisional (seperti meredakan masuk angin). Jadi, tidak menyangkut khasiat terapi. Dan bahan bakunya adalah ekstrak tumbuhan, bukan bahan kimia. Andaikan obat-obat yang dilarang itu masih beredar, Slamet Soesilo menduga obat-obat itu berasal dari selundupan atau stok lama. Agar bisa lebih efektif membatasi peredarannya, ia mengimbau supaya kalangan dokter tak lagi membuatkan resep untuk itu. Begitu pula pihak apoteker, supaya tidak melayaninya. Wakil Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Anthony Sunarjo, menangkis sinyalemen yang seolah bermaksud memojokkan pihak produsen obat. Terutama perkara kucing-kucingan itu. ''Produsen tidak memanipulasi, tapi merasionalisasi komposisi obatnya,'' kata Anthony. Rasionalisasi obat tampaknya sesuai dengan tujuan penarikan obat. Ketika itu, menurut bekas Menteri Kesehatan Adhyatma, penarikan dilakukan bukan karena obat tersebut berbahaya bagi tubuh, tapi pemakaiannya tidak rasional. Dengan kata lain, khasiatnya diragukan. Dan kalaupun digunakan, obat tersebut hanya ''membolongi'' kocek konsumen karena tidak berkhasiat menyembuhkan. Kini, beberapa pabrik obat sudah mencoba menertibkan. Menurut Anthony, yang juga Direktur Utama PT Kenrose, pihaknya telah melakukan pada Amilex. Semula, obat itu ditarik karena mengan- dung bahan aktif efedrin, yang mengakibatkan jantung berdebar. Pihaknya lalu menghilangkan bahan aktif tadi, dan mendaftarkan kembali obat itu ke Depkes untuk diproduksi dan diedarkan dengan nama yang sama. Mengenai obat selundupan, diakui Anthony bahwa memang ada dan mengalir deras. Tapi ia tak tahu siapa dalangnya. ''Yang pasti, kalangan farmasi, mulai distributor sampai apotek atau toko obat, pasti ada yang terlibat,'' katanya. Gatot Triyanto dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini