Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengekspresikan Diri dengan Lukisan

Lukisan anak sindroma Down mendapat pengakuan internasional, setara dengan pelukis normal. Bukti bahwa melukis bukan cuma bentuk terapi, tapi juga jalan berprestasi.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erna punya keahlian menggambar. Sapuannya sangat rapi. Pi­lihan warnanya pun sangat menarik, banyak menggunakan warna cerah. Namun gadis 17 tahun dengan sindroma down itu bukan satu-satunya yang punya kemampuan menggambar. Adik kelasnya, Felix, tak kalah piawai di bidang ini. ”Gambarnya sangat bagus,” begitu komentar guru dan teman-temannya di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (SABK) Yayasan Bhakti Luhur, Malang, Jawa Timur.

Menggambar memang salah satu yang diajarkan di sekolah itu. Sekolah ini, selain menampung anak sindroma down, juga menampung anak-anak tunaru­ngu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunanetra. Di sini mereka diajarkan hi­dup mandiri, mulai dari mandi, makan, berpakaian sendiri, juga berhitung dan membaca. Murid-murid yang berusia 5 hingga 25 tahun itu juga dilatih aneka keteram­pilan seperti memasak, menjahit, melukis, menari, dan membordir. ”Kami ingin melatih mereka agar bisa hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat,” kata Romo Paul Jansen, salah satu peng­asuh SABK, kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.

Apa yang dikatakan Romo Paul bukan hal mustahil. Anak-anak dengan sindroma down dapat dilatih hingga mandiri, bahkan ada yang sampai berprestasi di tingkat internasional. Itulah, misalnya, yang dicapai para murid Mexican School of Down Art, Meksiko. Lukisan murid sekolah itu telah berhasil membetot perhatian dunia.

Lukisan mereka dipamerkan di beberapa museum seni di Amerika Serikat dan Eropa, sejak November lalu. Beberapa pelukis dan pengamat lukisan ekspresionis mengagumi hasil karya tersebut. Mereka tidak mengira bahwa lukisan yang sekaliber pelukis bertaraf internasional adalah hasil tangan anak-anak sindroma down dari Meksiko. ”Lukisan-lukisan itu menggugurkan anggapan selama ini bahwa anak-anak down syndrome tidak memiliki keka­yaan dan kompleksitas mental,” kata David Braddock dari Universitas Colorado, AS, yang berjasa membawa lukisan mereka ke beberapa museum seni kontemporer AS.

Bahkan Michael Jurogue Johnson, salah satu murid di sana, juga memiliki blog yang memuat berbagai lukisannya. ”Mereka memiliki kemampuan dan sensitivitas terhadap seni,” kata Daniel Perez, guru melukis Mexican School of Down Art. ”Keterbatasan mereka membuat mereka mampu melihat dunia yang tidak seperti yang kita lihat.”

Melukis memang telah dikenal seba­gai salah satu cara mengembangkan kemampuan anak-anak sindroma down. ”Mereka mengalihkan kelemah­an dalam berkomunikasi verbal menjadi seni yang simbolis, yaitu lukisan,” kata Perez.

Yang cukup mengejutkan, tentu saja lukisan mereka itu diakui memiliki nilai seni tinggi, sebagaimana karya pelukis yang normal. ”Mereka tidak lagi berkompetisi di antara para penyandang sindroma down, tapi sudah bisa mencapai cita-cita sama dengan orang berbakat umumnya,” kata Sylvia Garcia-Escamilla, Ketua John Langdon Down Foundation, yayasan yang mendanai Mexican School of Down Art. Ini jelas kesempatan bagi penyandang sindroma down mengembangkan keahlian­nya, untuk berprestasi tak sekadar di antara sesamanya saja, tapi bisa mengalahkan orang-orang normal.

Prestasi seperti murid Mexican School of Down Art bisa saja dicapai lembaga pendidikan sindroma down lainnya. Sebab, menurut Lucia R.M. ­Royanto, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, secara fisik dan psikologis anak-anak dengan sindroma ini mempunyai keistimewaan yang bisa dikembangkan. Secara fisik anak-anak ini memiliki ligamen—jaringan elastis penyambung tulang—lebih fleksibel, sehingga tubuh mereka lebih lentur dibandingkan anak normal. ”Kalau dilatih menari, gerakan mereka niscaya terlihat indah,” kata Lucia.

Sedangkan menurut Doni Rizal, Direktur Eksekutif Sekolah Khusus Terpadu Down Syndrome Matahari’Ku, Jakarta, mendidik anak sindroma down yang penting fokus. ”Bila fokus pada satu bidang tertentu, mereka akan me­ngerjakannya dengan sepenuh hati,” ujar Doni.

Hanya, menangani anak-anak ini perlu kesabaran ekstra. Soalnya, daya ingat anak-anak ini terbilang pendek alias gampang lupa. Untuk mengajar memba­ca, misalnya, guru harus mengulang-ulang kalimat yang sama selama beberapa hari. ”Setelah liburan lama, kita harus bekerja keras karena siswa sudah lupa pelajaran yang telah kita berikan,” kata Ana Triastuti, salah seorang peng­ajar di SABK Yayasan Bhakti Luhur. Kelemahan lain yang perlu diperhatikan, anak-anak ini gampang ngambek. Repotnya, bila sudah mogok, mereka amat sulit dibujuk.

Nunuy Nurhayati, Bibin Bintariadi (Malang)

Ciri Anak Sindroma Down:

  • Wajah mirip orang Mongol: datar, berhidung kecil, sangat pesek.
  • Bola mata mendongak dengan kelopak mata berlipat-lipat.
  • Lidah agak lebih besar, tebal, dan sering menjulur dari mulut.
  • Telinga agak miring (seperti caplang).
  • Tapak tangan lebar atau hanya memiliki satu lipatan.
  • Jarak antara ibu jari dan jari kedua lebar atau sangat renggang.
  • Jari kelingking biasanya hanya punya satu ruas.
  • Memiliki otot lembek.
  • Memiliki kemampuan berlebih memanjangkan persendian atau memiliki sendi longgar.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus