Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=2>Safari Capres</font><br />Mulai Musim Rajin Tampil

Para tokoh mulai sibuk tebar pesona. Mulai dari bagi-bagi uang sampai bakti sosial, semuanya menolak disebut kampanye.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEROBAK bakso dengan merek ”penthol jozz” itu mencantol di bokong sebuah sepeda motor bebek. Di atas sadel nangkring Edi Riyanto, sang juragan bakso cilok, di sisi lapangan Pema Ngunut, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Gempol, Tulungagung, Jawa Timur. Lelaki 46 tahun itu nanap menatap panggung di kejauhan.

Di atas podium, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, sedang angkat bicara berbusa-busa. Tapi, ”Saya bukan berkampanye, lho,” kata beliau. Mantan presiden itu ”cuma” sedang berpidato, diselipi dialog, pada hari terakhirnya berkeliling Pulau Jawa.

Selama lima hari pada November tahun lalu, Megawati menandangi sekitar 16 dari 20-an kota yang direncanakan. Dalam rombongan yang diangkut dua bus itu ikut sejumlah petinggi partai, termasuk suami Mbak Mega, dan wartawan.

Pemilihan presiden memang masih satu setengah tahun lagi, namun, apa boleh buat, pemandangan khas suasana kampanye mulai terlihat di sejumlah tempat. Putri sulung Soekarno itu tampil di lapangan, pasar, desa, kawasan pesisir, hingga tengah hutan. Tak jarang, di tengah orasi, ia menyelipkan kritik terhadap pemerintah.

Megawati bukan satu-satunya yang bersibuk-hibuk. ”Sindrom” rajin tampil juga seperti menjangkiti Sutiyoso, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Belakangan ini, ketiganya mulai lincah meluncur ke berbagai daerah, meski dua nama terakhir belum secara terbuka menyatakan berselera berlaga pada pemilihan presiden 2009.

Kepada Tempo, Wiranto mengatakan kedatangannya ke berbagai provinsi itu hanya untuk meresmikan kepengurusan partai di daerah. ”Tinggal Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Irian Jaya Barat yang belum,” kata Ketua Partai Hati Nurani Rakyat itu di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura di Jalan Diponegoro No. 1, Jakarta Pusat, pada penghujung tahun kemarin.

Pensiunan jenderal itu mencontohkan kunjungannya ke Bandung, Jawa Barat, pertengahan Desember lalu. Sebelum pelantikan pengurus partai setempat, ia berkunjung ke Pesantren Al-Basyariyah, yang memiliki empat kampus dengan santri sekitar 1.500 orang dan luas lahan mencapai 15 hektare itu.

Di sana, Wiranto—jika ke daerah ia selalu mengenakan baju kebesaran partai berwarna kuning tanah—menggelar dialog politik dan agama. Suatu ketika, seorang santri bertanya, mengapa politik cenderung kotor. Wiranto menjawab, itu sebabnya berpolitik harus mengedepankan hati nurani. ”Ternyata, kami punya kesamaan komitmen,” ia bercerita.

Usai makan siang, acara berlanjut dengan pelantikan pengurus partai, disusul bakti sosial. Menurut Wiranto, bakti sosial ini menjadi pakem resmi partai hingga ke daerah. Bentuknya bisa berupa pengobatan massal, khitanan, bantuan pangan, hingga kerja bakti. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat, Partai Hanura membagikan pupuk gratis.

Meski soal pencalonan dirinya sebagai kandidat calon presiden masih jauh, tak urung perkara ini kerap muncul di tengah kunjungan ke daerah. Menurut Wiranto, dukungan agar dirinya maju kerap muncul dari bawah. ”Waktu pemilihan presiden kemarin saja, saya dapat 26 juta suara,” katanya.

Tak seperti Wiranto, yang terkesan masih ”buka-tutup”, Megawati justru terang-terangan meminta masyarakat memilihnya lagi. Pada hari ketiga safari politiknya, misalnya, di depan sekitar seribu warga Desa Pandangan Weran, Kecamatan Kragan, Rembang, Jawa Tengah, Mega melontarkan pernyataan itu.

”Saya suwun supaya suatu saat memilih saya lagi,” katanya, yang selama bersafari gemar mengenakan pakaian bermotif bunga. Di beberapa tempat, tanpa menyebut nama, ia menyindir masyarakat yang memilih tokoh hanya karena terlihat ganteng. ”Coba lihat, sekarang harga-harga mahal, kan?” katanya dengan senyum dikulum.

Di pasar bawang Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, Megawati juga memancing dialog ke arah ini. ”Ibu-ibu sini, siapa sing pilih aku?” Entah kaget, atau tak menyangka pertanyaan itu bakal muncul, respons kerumunan massa kurang greget. Megawati pun banting stir. ”Oh, yo wis, ora opo-opo, karena ini bebas dan rahasia,” ujarnya ringan.

Di beberapa tempat, seperti Karawang, Megawati juga tak lupa membagikan bantuan, misalnya benih padi. Di lain tempat, menurut Sutradara Gintings, salah satu Ketua DPP PDIP yang ikut rombongan, Megawati sengaja memilih makan siang di warung dekat lokasi. ”Masyarakat bisa ikut makan gratis,” kata Gintings.

Meski begitu, acara ”bantuan” memang tidak banyak dilakukan. Itu juga sebabnya Megawati mengatakan kedatangannya bukan untuk membagi-bagikan uang. ”Saya bukan sinterklas,” katanya di Blora, Jawa Tengah.

Berbeda dengan Megawati, Sutiyoso justru terang-terangan membagikan ”angpau”, misalnya ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengunjungi Gereja Santo Servatius di Jalan Raya Kampung Sawah, Kecamatan Melati, Bekasi, Jawa Barat. Pada perayaan misa Natal, 25 Desember lalu itu, dengan mengenakan baju koko berselempang sarung merah dan bercelana warna gelap, Sutiyoso tiba di lokasi ditemani dua ajudannya.

Tak urung, jemaah yang sedang khu-syuk berdoa berhenti lalu berebut menyalami mantan Panglima Kodam Jaya itu. Sutiyoso diminta berpidato. Selain mengucapkan selamat hari Natal, ia mengumumkan hadiah sebesar Rp 15 juta, yang disambut riuh anak-anak. Kepada pengurus gereja, seusai misa, ia memaparkan janji-janjinya jika menjadi presiden. ”Setiap kesempatan kan bisa menjadi saran mengenalkan diri,” katanya.

Dalam kesempatan lain, Sutiyoso terlihat cawe-cawe bersama Megawati, misalnya pada saat pembukaan pertandingan bulu tangkis Megawati Open 2007 di Senayan, Jakarta, November lalu. Tetap nyambung, memang, sebab Sutiyoso juga ketua Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia. Kepada pers ketika itu ia mengaku belum punya komitmen apa pun dengan Megawati.

Sutiyoso juga kerap terlihat dalam acara Organisasi Amatir Radio Indonesia yang diketuainya. Organisasi ini memiliki pengurus di banyak daerah. ”Kalau maju enggak punya massa, kan malu,” katanya seperti berteka-teki.

Seperti halnya Wiranto, Sri Sultan Hamengku Buwono X juga masih tutup mulut soal kemungkinan pencalonannya sebagai kandidat presiden. Memang, Gubernur Yogyakarta ini kerap hadir dalam forum diskusi membahas soal kursi nomor satu itu, antara lain pada seminar mengenai sistem kepartaian di Universitas Surabaya, pertengahan Desember lalu.

”Jangan pilih calon presiden teraniaya,” katanya ketika itu tanpa menyebut nama. ”Calon teraniaya terbukti hanya pandai menganiaya rakyatnya.” Meski didesak para penanya soal kesiapannya, lagi-lagi jawabannya samar. ”Saya masih jadi gubernur,” katanya dengan nada dikalem-kalemkan. ”Tidak etis kalau berbicara mengenai hal itu.”

Tahun lalu, Sultan juga terlibat dalam beberapa acara kebangsawanan di berbagai daerah. Dari Sultan Palembang, Sri Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, misalnya, ia mendapat gelar Datuk Pengayom Seri Wanua. Di situ Sri Sultan menekankan pentingnya mengelola pluralitas bangsa. ”Alangkah besarnya manfaat jika pluralitas budaya dianyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat,” katanya.

Sepekan kemudian, Sri Sultan menerima penghargaan berupa ulos dari masyarakat adat Sumatera Utara di Yogyakarta. Menurut Edi Sidabutar, ketua panitia, pemberian ini sebagai apresiasi terhadap kepemimpinan Sri Sultan, yang dinilai mengayomi masyarakat Batak di sana.

Sebulan sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengunjungi rumah tokoh kharismatik Kiai Haji Chotib Umar, pengasuh Pondok Pesantren Rou-dlotul Ulum di Jember, Jawa Timur. Ketika itu ia ditemani Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir, dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor yang mantan menteri, Saifullah Yusuf.

Menurut seorang peserta rapat, pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan sebelumnya dengan Kiai Haji Idris Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur. ”Para kiai menanyakan apa benar Sultan akan maju sebagai kandidat,” katanya. Ketika itu Sultan menjawab dengan senyum. ”Ada juga yang menyarankan Sultan melakukan salat dulu, minta petunjuk.”

Bagi Edi Riyanto, sang juragan ”penthol jozz”, kunjungan para tokoh itu tak membawa perubahan nyata dalam hidupnya. Paling-paling, bakso ciloknya makin laris dibeli massa yang kelaparan setelah dijejali pidato. ”Sing penting,” katanya, ”mbok rakyat lebih diperhatekke.”

Budi Riza, Aqida Swamurti, Hamluddin, Heru CN, Rohman Taufiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus