BATUK berdahak yang disertai darah dan tak kunjung sembuh jangan langsung dikira TBC (tuberkulosis). Siapa tahu itu kanker paru-paru. Susahnya, bahkan oleh dokter pun, kedua penyakit ini sering disalahtafsirkan. Dikira TBC, ternyata kanker paru-paru. Maklum, jika dirontgen, paru-paru penderita TBC dan kanker sama-sama terlihat bebercak putih.
Padahal, fatal akibatnya bila penderita kanker paru-paru didiagnosis TBC. Kalau ”hanya” berpenyakit TBC, penderita tak perlu kontrol tiap bulan. Kalau kanker paru-paru? Jika penderitanya tidak rajin mengontrol diri ke dokter, kanker bisa terlambat dikenali. Sementara itu, semakin lambat kanker paru-paru diobati, semakin kecil kemungkinan sembuhnya. Hal itu diungkapkan dalam simposium kanker paru-paru yang diselenggarakan organisasi medis khusus organ pernapasan, di Jakarta, akhir November lalu.
Menurut dr. Achmad Hudoyo, ahli penyakit paru-paru yang juga Sekretaris Jenderal Komite Nasional Penanggulangan Masalah Merokok, kanker paru-paru stadium dini (I atau II) masih mungkin disembuhkan. Tapi, jika sudah menginjak stadium lanjut (III atau IV), penderita seperti mendapat vonis mati. ”Selain AIDS, kanker paru stadium lanjut termasuk penyakit yang belum ada obatnya,” tuturnya.
Kanker paru-paru stadium I biasanya ditandai oleh tumor berdiameter kurang dari tiga sentimeter. Jika tumornya sudah lebih dari tiga sentimeter tapi belum menjalar ke kelenjar getah bening, itu stadium II. Pada stadium III, diameter tumor sudah besar, bisa mencapai 5-10 sentimeter, dan sudah pula menjalar ke kelenjar getah bening. Pada stadium IV atau stadium akhir, tumor—yang bisa juga tetap kecil—sudah menjalar ke mana-mana, antara lain ke otak, tulang, hati, dan ginjal.
Perkembangan dari stadium dini ke stadium lanjut sangat cepat. Dalam waktu dua se
tengah tahun, satu sel kanker bisa tumbuh menjadi sebesar noktah, dengan jumlah jutaan sel, berukuran satu sentimeter. Biasanya, harapan hidup mereka yang sudah berada pada stadium lanjut cuma sekitar 3-8 bulan. Dengan pengobatan, plus kemoterapi, harapan hidup pasien bisa diperpanjang sampai 23-24 bulan. ”Kalau sudah diobati sejak stadium dini, angka harapan hidupnya bisa sampai lima tahun,” ujar dr. Hudoyo, ”Untuk pasien yang dioperasi tepat waktu, harapan lima tahun itu mencapai 40 persen.”
Karena itu, kanker paru-paru, tidak bisa tidak, memang harus dideteksi sedini mungkin. Sayangnya, metode rontgen yang paling lazim dilakukan di Indonesia kurang peka dalam mendeteksi stadium dini. Kalau tumornya bersembunyi di belakang jantung, sinar-X tak bakal bisa menemukannya. Kelemahan metode ini bisa diatasi dengan pemeriksaan CT Scan, yang akurasinya lebih terjamin—tapi ongkos periksanya lebih mahal.
Bila pasien mau pemeriksaan yang lebih teliti, ada teknik bronkoskopi, yang lebih pintar mencari tumor kecil yang sulit terlihat. Metode pemeriksaan ini menggunakan alat seperti kawat tipis yang dimasukkan ke saluran pernapasan lewat mulut. Sakitkah? ”Untuk bronkoskopi yang fleksibel, tidak akan terasa sakit,” kata dr. Nirwan Arief, Ke/tua Perhimpunan Bronkoskopi Indonesia. Cara ini, katanya lagi, lebih efektif untuk mendeteksi sel kanker yang baru muncul di saluran napas.
Sebetulnya, kini telah ada alat terbaru yang lebih canggih untuk mendeteksi kanker paru-paru. Alat yang disebut auto fluorescence endoscopy itu bekerja dengan sinar khusus sehingga mampu mendeteksi tumor yang baru tumbuh. Jika alat itu dimasukkan ke dalam tubuh, bagian yang ada tumornya akan berubah warna, dari merah muda menjadi merah tua (jika normal, akan berubah menjadi hijau). Sayang, meski tenaga ahlinya sudah ada, alatnya belum tersedia di Indonesia.
Namun, di Jakarta, ada teknologi baru lain untuk mendeteksi kanker paru-paru, yang disebut torakoskopi. Kelebihan cara ini, menurut dr. Paulus Embran, yang juga governor The American College of Chest Physicians cabang Indonesia, adalah kemampuannya untuk mendeteksi sekaligus mengambil tumor yang masih kecil. Ahli bedah cukup membuat saluran kecil—paling besar seukuran ibu jari—untuk memasukkan alat ke dada pasien. Pemotongan sebagian paru-paru dan penjahitan kembali bisa dilakukan lewat lubang tadi dengan mudah. Alat yang dimasukkan itu sekaligus memproyeksikan keadaan di dalam tubuh pasien pada layar monitor. ”Cocok untuk mereka yang takut dibedah,” katanya. Cuma, namanya saja tumor ganas, meski sudah diangkat, suatu saat bisa tumbuh kembali. Itu sebabnya pasien masih harus mendapat kemoterapi atau radioterapi.
Buat pasien yang sudah menderita kanker paru-paru stadium lanjut atau yang tumornya lengket dengan pembuluh darah, operasi tidak mungkin lagi dilakukan. Sebagai gantinya, dokter akan memasang stent (penyangga) di saluran napas. Alat yang harganya US$ 500 per unit ini belakangan makin banyak dipakai. Sekali dipasang, stent tak bisa dicabut kembali, tapi dengannya, harapan hidup bisa diperpanjang sekitar 2-3 bulan. Menurut dr. Nirwan, stent bisa memperbaiki kualitas hidup pasien karena membuat mereka bisa bernapas plong kembali.
Pada akhirnya, pencegahan memang selalu lebih baik daripada pengobatan. Apalagi terapi dan obat-obatan untuk kanker paru-paru luar biasa mahalnya. Untuk sekali pemakaian obat Taxol sebanyak 8-9 file (sekitar 30 gram), dibutuhkan biaya sekitar Rp 7 juta. Itu belum termasuk biaya operasi, kemoterapi, radioterapi, dan lain-lain. Nah, bila Anda menghabiskan lebih dari 20 batang rokok sehari atau bekerja di lingkungan dengan bahan karsinogenik tinggi, tak ada salahnya memeriksakan diri secara berkala. Lebih baik lagi bila Anda meninggalkan rokok sama sekali dan tak membiarkan diri menjadi perokok pasif sekalipun.
Wendi Ruky, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini