Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengurangi Anak, Dari Pintu Ke Pintu

Suka duka beberapa petugas KB. Yang bertugas di desa-desa Jawa Timur, Yogya, Bali, Sulawesi Selatan.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAKSANAAN Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dinilai bersih mengerem ledakan penduduk. Malahan Dr. Rafael M. Salas, Direktur Pelaksana UNFPA (badan Pers yang mengurusi kependudukan), menilai Indonesia adalah contoh yang baik dam haI suksesnya pelaksanaan KB di Pedesaan. Buktinya, menurut Salas yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Indonesia Sabtu pekan lalu, hasil survei fertilitas dunia menunjuki, penurunan fertilitas di Bali sampai 30% dan di Jawa 13% dalam 10 tahun terakhir. Karena itu, tambah Dr. Salas, "dalam tahun-tahun terakhir ini Indonesia menonjol dibanding negara-negara berkembang lainnya di bidang kependudukan," Mungkin benar begitu. Tapi yang pasti untuk pelaksanaan KB petugas-petugas telah menyusup ke pelosok-pelosok. Mengetuk rumah-rumah penduduk, dicela, diusir, setelah terseok-seok berjalan kaki. Suparti, 29 tahun, menjadi petugas KB, untuk empat buah desa di Kecamatan Donorejo, Pacitan, Jawa Timur. Dengan gaji Rp 25 ribu sebulan, setiap hari ia berjalan kaki menjelajah 6 sama 20 km untuk mencari akseptor. Tapi setiap kali ia muncul, ibu-ibu rumahtangga langsung menutup pintu, pura-pura pergi ke kebun. Ada juga yang mengaku sedang hamil. Dua tahun lamanya ia harus menghadapi penduduk yang ketakutan disambar KB. Di tahun 1973, Suparti memergoki lagi seorang ibu yang jauh-jauh sudah menutupkan pintu rumah. Karena prihatin melihat kemiskinan wanita itu, sementara anaknya banyak, Suparti tetap mencoba mengetuk pintunya berulang-ulang. Setelah berhasil, Romium, pemilik rumah itu, mengaku sedang hamil. Suparti tak percaya. Melalui lurah, wanita yang sudah beranak empat itu dibawa ke BKIA. Begitu mau diperiksa bidan, Romium lari pulang, langsung mengunci kamarnya. Suparti segera mengejarnya, karena ingin tahu sebab sebenarnya. Tapi begitu pintu rumah berhasil dibuka, petugas ini ternganga. Romium yang malang sudah mengikat leher dan tergantung di atas langit-langit rumah. Pertolongan segera diberikan. Untung masih belum terlambat. "Lebih baik saya mati timbang ikut KB," kata Romium kemudian. Suparti hanya bisa menahan napas. "Kalau ia mati gantung diri, orang akan bilang saya memaksa," kata Suparti pada TEMPO. Ia masih tetap tidak mengerti kenapa orang tak suka KB. "Barangkali karena malu auratnya dilihat -- di sini masih banyak yang fanatik," katanya lebih lanjut. Sekitar dua tahun yang lalu, Suparti mengincer Nyonya Kemplung, berusia 30 tahun, ibu dari tujuh orang anak. Setiap kali dikunjungi, pintu rumahnya terkatup. Satu ketika Suparti berhasil memergokinya di kebun. Langsung diajak omong-omong tentang KB. Tapi istri modin (penghulu desa) itu tetap tidak mau mundur dari prinsipnya: menolak KB. Di hadapan lurah, wanita itu bicara lebih keras lagi. "Kalau pemerintah tidak rela saya punya anak banyak, lebih baik saya cerai saja," katanya. Lurah tak bisa berbuat lain kecuali membiarkan warganya itu beranak sebanyak-banyaknya -- sampai ia sadar sendiri. Rebutan Ikan Nyonya Komariah Ismail, petugas KB di kampung pantai Bangkalan, Madura, punya pengalaman lebih seram. Ketika ia mendatangi sebuah rumah nelayan yang banyak anak, suaminya muncul dengan berang. Lelaki yang baru turun dari laut itu menggenggam sebuah clurit. Tiga orang PLKB (Petugas Lapangan KB) yang mendampingi Nyonya Komariah gemetar. "Sebagai sesama Madura, saya mencoba menjinakkan lelaki itu," kata sang nyonya. Untungnya, sementara Komariah memberikan penjelasan, kelima anak nelayan itu bertangisan memperebutkan ikan di piring. "Nah kalau begini kan tak bagus punya anak banyak," kata Komariah memanfaatkan kejadian itu. Nelayan itu terdiam. Kemudian dengan lemah-lembut Komariah meneruskan penerangannya. Walhasil, lelaki itu kemudian meletakkan celuritnya -- dan sampai sekarang ia membiarkan isrinya ikut KB. Di tahun-tahun awal KB digalakkan, fasilitas seperti mikroskop, belum ada di daerah operasi KB. "Selama fasilitas masih belum ada, saya bekerja ganda untuk KB," kata Nyonya Komariah. "Malam saya mencari katak, siang mencari akseptor." Kenapa? Sebab kataklah yang digunakan mengetes air seni akseptor untuk mengukur keampuhan pil yang dipakai. Di Desa Kamal, masih di Madura, terjadi sebaliknya. Seorang nyonya datang sendiri pada Komariah, minta dipasangi IUD. Tentu saja dengan senang hati dipenuhi. Tapi esoknya, suami wanita itu muncul membawa celurit mencari Komariah. "Saya waktu itu tak berani keluar, takut terjadi pertengkaran," kata Komariah. Seorang bidan kemudian keluar menangani lelaki yang berang di ruang tunggu Puskesmas itu. "Kalau bapak tak setuju tak apa-apa, IUD itu bisa dibuka lagi," kata bidan. Lelaki itu segera tenang kembali. Apalagi setelah benda itu benar-benar disingkirkan. Daerah Lingkungan Ampel di Surabaya, juga wilayah alot bagi petugas KB. "Mereka umumnya memang dilarang oleh suaminya," kata Nyonya Wiwiek Setianingsih yang bertugas di BKIA RS Al-Irsyad. Setiap kali ia datang, banyak penduduk yang lari, menghindar ke sawah sambil pura-pura membawa cangkul. Umumnya masyarakat di sana menyangka praktek KB malahan akan membawa penyakit. Apalagi pernah ada berita, seorang wanita mati kena kanker rahim, akibat memasang IUD. Di Ampel sering diadakan pertemuan di kantor RW untuk penerangan KB. "Tapi yang disuruh datang malah babunya," kata Suparto, kepala bagian KB di Kecamatan Semampir. Dan ada pula yang mengaku, "untuk menenteramkan para perawat yang manis dan pandai membujuk itu, saya terima saja pil KB, padahal sampai di rumah saya buang," kata seorang ibu rumah tangga yang sudah punya anak lima orang. Di Yogyakarta, Kecamatan Bangunapan, ada seorang petugas KB bernama Dalipan. Lelaki usia 32 tahun ini menerima honor Rp 22.500 sebulan. Istrinya dengan tiga orang anak, membuka warung untuk keperluan sehari-hari. Untuk memberi contoh pada masyarakat yang berhubungan dengan tugasnya, ia melakukan tindakan yang cukup dahsyat. "Istri saya mandulkan sejak tiga tahun yang lalu," kata Dalipan. Tapi apa yang terjadi? Tak seorang pun yang sudi mengikuti jejak istri PLKB ini. Setiap melakukan tugas, Dalipan selalu melibatkan kepala dukuh. "Sebab kalau sendirian saya merasa kalah wibawa berada di tengah calon akseptor," katanya terus-terang. Ia tak menyebut berapa target akseptornya perbulan, tapi setiap hari ia mengunjungi rata-rata 25 buah rumah. Kini usahanya lebih banyak membina -- artinya bukan merintis lagi. Karena itu, sebagian tugasnya sekarang adalah menanyakan apakah persediaan kondom seorang suami masih ada. Di Klinik KB Pasar Sentral Ujungpandang, dr. Marie Tunaedi (34 tahun) mengungkapkan, banyak wanita yang ingin masuk KB dihalangi pihak suami. "Kebanyakan tahan gengsi, dikira masuk KB tidak mampu membiayai anak-anaknya," ucapnya. Marie, alumnus UNHAS itu, sering berhadapan dengan keluhan bahwa benang spiral terlalu panjang, sehingga mengganggu suami. Bahkan ada suami yang mengancam akan menceraikan istrinya, setelah memergoki spiral istrinya kepanjangan. Untuk kedamaian suami-istri itu, segera spiral nakal itu dibenahi. Pil dinyatakan sebagai favorit di kawasan sana. Sayangnya kurang aman, karena banyak ibu yang lupa menelannya. "Terutama kalau suami bepergian ke luar kota, si istri biasanya berhent minum pil. Baru minum setelah suaminya pulang. Celakanya, sang suami kadangkala pulang mendadak," kata dokter itu dengan tersipu-sipu. Nyonya Rosmini, 35 tahun, di Klinik Puskesmas Kecamatan Wajo Sulawesi Selatan, tak bosan-bosan membuka kurus soal kondom. "Kami biasanya pakai jari tangan sebagai contoh" katanya sambil memegang-megang jari telunjuknya. "Tapi terakhir biasanya kami ingat ingatkan, ini bukan untuk dipasang di tangan," sambungnya sambil tersenyun simpul. Setiap hari Rosmini keluar-masuk kampung, sepanjang 5 km. Karena sepeda motor sering macet, mereka banyak jalan kaki sambil menenteng peralatan KB. Dulu sempat mendapat tantangan dari para dukun yang merasa mata pencahariannya terancam. Tapi setelah dukun sendiri dilatih dan dikursus, akhirnya partner. Kesulitan yang biasanya dihadapi hanyalah isu bahwa alat kontrasepsi bisa nyebabkan kanker. Spiral dikatakan bisa lari masuk dan menusuk jantung. Kabar bohong itu hanya dapat dihilangkan setelah berkali-kali diberi penjelasan. Apalagi kalau dibawakan akseptor yang berhasil, pengalaman-pengalamana langsung bisa menggalakkan keberanian calon akseptor. Yang pantas dicatat, Rosmini sendiri belum masuk KB. Anaknya sudah tiga, tapi dua di antaranya meninggal. Yang masih hidup kini baru berusia 10 tahun. Dulu, ia memang memasang spiral tapi kemudian dilepas. Sebab ia masih menginginkan punya seorang anak lagi. Disarungi Bu Yayuk Sementara itu di Bali, yang dinyatan sebagai salah satu daerah yang sukses melakukan KB, bukannya tak ada sulitan. Gusti Agung Gde Winanga, 33 tahun, PLKB Desa Angantaka, Bang, mengeluh. "Pekerjaan ini bukan ringan. Meyakinkan wanita yang sudah tua, amat sulit, karena mereka masih berpegang pada semboyan lama, banyak anak banyak rezeki." Lelaki yang beroperasi di atas sepeda merek "Mister" ini pernah disemprot orang ibu yang sudah memiliki sembilan orang anak. "Hah, meski anak saya banyak, apa anak saya pernah minta makan kepada kamu?" katanya dengan ketus sambil langsung meninggalkan Winangsa. Petugas ini biasanya tak menjawab. Ia akan pergi ke rumah wanita yang lain. Pengalaman para petugas KB memang macam-macam. Kalau tidak berhadapan dengan ancaman kekerasan, sering diperolok-olok. Sri Rahayu, 45 tahun, petugas di Klinik KB Komando Resort Militer Wirabima Pakanbaru, satu ketika berhadapan dengan peserta ceramah yang semuanya lelaki. Seusai ceramah, ketika meninggalkan asrama, para anggota batalyon yang diceramahinya berteriak-teriak, "Awas, disarungi Bu Yayuk!" Kelakar ini merembet. Ke mana saja ibu yang beranak empat ini pergi, ia segera diolok-olok. Di Sumatera Barat, daerah yang juga dinyatakan berhasil melaksanakan KB, juga banyak olok-olok. Di situ petugas kebanyakan alumni IAIN -- umurnya mubaligh yang mengkampanyekan KB sambil berdakwah. M. Nasir Nasun, 30 tahun, salah satunya. Sarjana Muda lulusan Fakultas Tarbiyah ini terpaksa harus menahan sabar. Seringkali kalau ia mengeluarkan spiral dari dalam tasnya untuk didemonstrasikan para ibu yang dihadapinya cekikikan mirip super mi!" bisik mereka sambil menahan ketawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus