PAK Dawud, begitu saja namanya kita sebut. Umurnya 70 tahun
sudah. Tampangnya asli desa. Giginya ompong melompong. Bersama
bininya ia tinggal tak jauh dari pucuk gunung. Pendidikan
manteri pengairan ia dapat dari zaman Belanda. Tapi sejak muda
tak pernah mau "benum" di luar desanya. Di situ seumur-umur
bercocok tanam. Hidup dari olah otot dan kasih sayang alam.
Mengajar penduduk desa mengatur saluran air. Membaginya rata.
Lanskap yang miring ketinggian dan berbatu itu sebagian memang
disela oleh tanah rata lagi gembur. Diasuh oleh hikmah yang
lahir dari alam, seisi desa dapat bertahan hidup dengan wajar.
Rumahnya juga tua tapi terpelihara. Perabot andalannya adalah
sebuah ambin besar yang hampir memenuhi ruangan. Di sana ia
biasa duduk atau duduk-duduk dengan para tetangga. Tikar yang
tergelar di situ kentara mengkilat karena pantat. Di sana-sini
amoh rombeng. Konon. di tahun 50-an seorang pejabat tinggi
negara khusus datang mampir di rumahnya. Sejak itu Pak Dawud
semakin dihormati orang sedesanya. Di sisi sebelah kanan
tersimpan sebuah papan nama dengan tulisan yang sudah baur:
Ketua Ranting. Ia memang Ketua Ranting partai dengan tanda
gambar kepala kerbau.
Setelah berbasa-basi cara desa, kata-kata pun mulai meluncur,
dengan hormatnya.
Tanya: Berpuluh tahun Pak Dawud tinggal di sini, ta} mau
pindah, kenapa?
Pak Dawud: Pertanyaan ananda memang pertanyaan. Tapi pada
pendengaran saya lebih berisi persoalan daripada keinginan tahu.
Lebih butuh nasihat daripada jawab. Baiklah, ini dari segi saya
jauh lebih enak. Sebab, -- apa boleh buat -- nasihat adalah
bagian dari ciri ketuaan. Semuanya ini telah menjadi bagian sah
dari umur saya. (Pak Dawud mengulum senyum).
Begini, jadi bukan karena saya tak ingin maju. Bagi saya "maju"
tak sama dengan "pindah". Panggilan hidup saya memang bukan
untuk pindah. Orang muda-muda boleh pindah tapi biarlah saya di
sini saja. Inilah batas yang saya tetapkan bagi diri saya.
Tepatnya di sinilah saya kira letak persoalan kita. Apabila kita
pengin maju, perlu kita ketahui terlebih dahulu batas-batas
keinginan kita itu. Soal yang kita hadapi sekarang ini saya kira
adalah bahwa kita tidak mau tahu tentang batas-batas dari apa
yang wajar bagi kita sendiri. (Pak Dawud mengacung-acungkan
telunjuknya ke dirinya sendiri, seperti memarahi diri sendiri.
Setelah reda, perlahan-lahan ia mulai dengan kalimat baru).
Pembangunan bagi saya pertama-tama harus didasari oleh kemampuan
untuk menguasai diri. Yaitu mengontrol keinginan kita sendiri
tentang kemajuan yang kita kehendaki. Berpuluh tahun sampai
detik ini, itulah yang saya ajarkan kepada penduduk desa ini.
(Telunjuknya berputar 180 derajat) Di zaman Belanda dulu kita
bahkan tak tahu apa yang sebenarnya kita ingini. Boleh dikata
kita hidup hanya dengan naluri. Jelas bahwa kita memerlukan
kebebasan bahkan untuk berkeinginan. Sebab itu kita mau perang
mati-matian melawan Belanda. Hanya orang bebas yang bisa
menguasai diri. (Kali ini Pak Dawud berkomat-kamit. Lidahnya
menjulur-julur tak ada halangan. Setelah mengatur napas ia pun
melanjutkan kalimatnya sambil menunjuk tanah). Inilah yang saya
kerjakan di tempat ini. Saya mengajar penduduk bagaimana mereka
menyimpulkan kemauan mereka sendiri. Saya mengajar tidak
mendikte. Tidak pula menganjurkan mereka agar menuruti kemauan
orang lain, bagaimanapun majunya mereka.
Tanya: Bapak masih Ketua Ranting partai di sini?
Pak Dawud: Ananda bertanya apa arti kata "politik" bagi saya?
Wuh, panjang ceritanya. Begini. Ketika itu, di tahun 30-an, tak
sengaja seorang teman mengajak saya menghadiri rapat raksasa di
sebuah lapangan di kota K. Di sana pun pertama kali saya
mengenal BK. Saya amat terkesan ketampanannya. Dan di sana pula
saya mendengar suatu ajang yang belum pernah saya dengar
sepanjang hidup. Saya ingat betul, saat itu BK dalam bahasa
daerah berkata bahwa "kita semua yang kumpul di lapangan ini
adalah orang" "tiyar atau "wong"). Kita adalah orang, tak
kurang tak lebih. Saya lupa sesudah itu apa yang dikatakan BK.
Tapi saat itu, di tahun 30-an, saya amat terkesan. Mulai saat
itulah saya mengerti apa arti kata "politik". (Pak Dawud
menghela napas panjang).
Sesungguhnya politik adalah cara hidup yang kita tempat bersama
untuk menjadi orang. Politik dalam arti tertentu adalah
perjuangan untuk mengakui dan diakui sebagi orang Tak kurang
tak lebih. (Pak Dawud menghela napas lagi). Itulah politik.
Itulah perjuangan politik. Itulah pula perjuangan saya di tempat
ini selama berpuluh tahun. (Kembali ia menunjuk tanah). Sampai
sekarang saya masih Ketua Ranting. Tapi terus-terang, bagi saya
tak penting apakah partai saya bergambar kerbau atau kancil.
Yang penting adalah apakah penduduk desa ini tahu harga mereka
sebagai orang".
Tanya: BK sudah tiada. Partai warisannya kalang kabut. Apa
pendapat bapak?
Pak Dawud: Jangan memuja orang. Berat dosanya. Sangat berat
dengan melecehkannya. Pelajaran pertama bagi setiap orang dalam
politik adalah belajar untuk tidak memuja atau melecehkan orang.
Bersetuju boleh tapi jangan memuja. Melawan silakan, tapi
jangan melecehkan. (Wajahnya nampak bersungguh-sungguh).
Adapun tentang partai yang kalang-kabut, ananda sebagai
penonton boleh ikut kalang-kabut. Tapi sebagai peserta janganlah
kecewa. Jangan terlalu banyak khayal. Ananda harus tahu
"batas-batas" yang saya sebut tadi. Jangan mengukur kemampuan
diri sendiri dengan kemampuan orang lain. (berkata-kata seperti
sedang marah).
Belajarlah dari hikmah perkembangan alam. Tak ada tahapnya yang
tak berguna. Bagaimana lamban, bagaiman bodoh, bagaimana
memalukannya sekalipun. Belajarlah pada batas-batas kemampuan
diri sendiri. Sambil belajarlah pula keyakinan. Jika orang tua
mengira bahwa mereka bisa hidup tanpa keyakinan, maka anak-anak
mereka akan menjadi baliknya. Tahi angin pun akan dipertahankan
mati-matian. Itulah yang disebut kalang-kabut! Bertinju melawan
kabut.
Tanya: Pak Dawud . . ..
Pak Dawud: Ya?! (Pak Dawud menguap). Membuka mulutnya lebar
kemudian menutupnya kembali. Benar, giginya memang
ompong-melompong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini