Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah restoran di simpang empat

Kalau pembangunan mau maju harus meniru jepang, rajin, disiplin, gigih, bersih, akurat & hemat. musuh utama pembangunan yaitu malas membaca & tak mampu menalar. kreativitas, novel, hukum, semuanya dalam krisis.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWAN saya Samsu menonjol karena dia punya bakat menderita. Bakat ini menyebabkan nasib Samsu selalu terletak di bawah garis rata-rata ukuran duniawi. Sejak dari SR Muhammadijah Ngupasan di zaman revolusi dulu dia kudisan, kalah terus main kasti dan selalu jatuh kalau naik sepeda torpedo. Dengan susah payah Samsu lulus juga dari Sospol Gadjah Mada dan sekarang bekerja di sebuah departemen di Jakarta. Pergi kerja dia naik bis kota, rumah kontrakan dan kawin terlambat karena patah hati. Hati Samsu bersih. Kerjanya keras. Tapi dia gemar mengeluh. Kawan saya Tomo terkemuka karena bakatnya yang menonjol yaitu selalu curiga. Sesudah 25 tahun lebih berpisah saya menduga Tomo akan bekerja di salah satu badan intelijen, tapi ternyata dia jadi peneliti sebuah lembaga ilmu terhormat. Tomo mendalami ilmu kemasyarakatan dan tamat Ph.D. dari sebuah sekolah tinggi Ivy League di Amerika Utara. Dia selalu memakai cincin almamaternya. Gara-gara cincin kesempitan, sekarang dia menderita rachitis jari manis. Tomo orang sinis. Sombongnya lumayan. Tapi suka bercanda. Kawan saya Bing-Bing menonjol karena tangannya. Tangannya dingin. Rupiah, dalam satuan enam angka seperti berebutan meluncur melalui telapak tangannya. Sementara sewindu jadi kepala perbekalan, dia membuat usaha catering, bahan bangunan, biro iklan, agen perjalanan, pembatikan dan ekspor kodok, yang semuanya dicetak dengan huruf vet di lembaran kuning buku telepon. Bing-bing santai. Hokki tinggi. Sopan dan dermawan pada kawan. Kami berempat duduk-duduk di restoran, minum empat macam sari buah seraya mengenang masa kecil. -- Sekarang perlu kita rumuskan kecurigaan kita, kata Tomo. -- Januari Februari ini jelas gawat. Aku curiga rumahku kena banjir lagi, ujar Samsu. -- Musim hujan musim baik menulis puisi tinggi, komentar saya. -- Buat apa pangkat tinggi-tinggi, kata Bing-Bing. Pensiun kopral pun jadilah. Alat perekam restoran terdengar menyanyikan Kopral Djono, suaranya stereo. -- Sudah saatnya orang menyelenggarakan kursus bimbingan tes Cara Menodong Komisi Tanpa Menodong Seperti Garong, ucap Tomo. -- Mau masuk TK 35.000. Masuk SD 60.000. Zaman kita dulu gratis, lho, keluh Samsu. -- Saya sedang sibuk merenungkan hubungan antara mandi lilin dengan pembangunan, kata saya. -- Kalau mau maju tiru Jepang, nasihat Bing-Bing. Rajin, disiplin, gigih, bersih, akurat dan hemat. Martabak panas dengan acar ketimun dan cabe rawit dua sendok, terhidang di depan kami. -- Malas membaca dan tidak mampu menalar, itu musuh utama kita, kata Tomo sambil mengunyah bawang. -- Kalau 60 murid satu kelas, bagaimana bisa belajar, keluh Samsu. -- Semua krisis, komentar saya. Kreativitas krisis. Novel krisis. Hukum krisis. Lingkungan krisis. Krisis krisis. -- Nah kalau begitu tambah jelas 'kan, sela Bing-Bing. Lawan rakyat Indonesia yang paling berbahaya ternyata koleterol. Jadi rakyat mesti aerobik. Lihat Jepang. Terdengar Sam Bimbo menyanyi Tante Sun, yang tetap jenaka walaupun didengar di restoran Padang. -- Penyelesaian terbaik sebuah masalah adalah bukan menyelesaikannya, petuah Tomo. Tapi membuatnya terapung-apung. -- Masalah saya adalah gagal dua kali lotere rumah murah, keluh Samsu. Harus cepat-cepat daftar Perumnas lagi, ah. -- Memang, sela saya. Kita harus cepat-cepat mengumumkan perdamaian dengan harimau. -- Saya juga cepat-cepat giat, ujar Bing-Bing. Target empat turunan. Pemerataan untuk seluruh turunan. Tiba-tiba kami semua melihat arloji. -- Hei, sudah jam lima kurang lima. Ah, jam lima kurang tiga. Untung sudah sembahyang asar, kata Samsu. -- Lho, jam lima tepat kok, ujar saya. -- Yang betul lima lewat semenit. Kami berpisah setelah Bing-Bing bayar rekening. -- Bai bai, kata Tomo. Lalu dia menyetir Chevrolet Luv ke Gatot Subroto, arah barat. -- Assalamu'alaikum, seru Samsu yang berdiri di tepi jalan mencegat Bajaj ke Pulogadung di timur. -- Daaah, kata saya sambil tancap Renault ke Hutan Kayu, arah selatan. -- Sayonara, lambai Bing-Bing dengan sopan seraya meluncur dengan Toyota Crown ke Tomang di utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus