KAWAN saya Samsu menonjol karena dia punya bakat menderita.
Bakat ini menyebabkan nasib Samsu selalu terletak di bawah
garis rata-rata ukuran duniawi. Sejak dari SR Muhammadijah
Ngupasan di zaman revolusi dulu dia kudisan, kalah terus main
kasti dan selalu jatuh kalau naik sepeda torpedo. Dengan susah
payah Samsu lulus juga dari Sospol Gadjah Mada dan sekarang
bekerja di sebuah departemen di Jakarta. Pergi kerja dia naik
bis kota, rumah kontrakan dan kawin terlambat karena patah hati.
Hati Samsu bersih. Kerjanya keras. Tapi dia gemar mengeluh.
Kawan saya Tomo terkemuka karena bakatnya yang menonjol yaitu
selalu curiga. Sesudah 25 tahun lebih berpisah saya menduga Tomo
akan bekerja di salah satu badan intelijen, tapi ternyata dia
jadi peneliti sebuah lembaga ilmu terhormat. Tomo mendalami ilmu
kemasyarakatan dan tamat Ph.D. dari sebuah sekolah tinggi Ivy
League di Amerika Utara. Dia selalu memakai cincin almamaternya.
Gara-gara cincin kesempitan, sekarang dia menderita rachitis
jari manis.
Tomo orang sinis. Sombongnya lumayan. Tapi suka bercanda.
Kawan saya Bing-Bing menonjol karena tangannya. Tangannya
dingin. Rupiah, dalam satuan enam angka seperti berebutan
meluncur melalui telapak tangannya. Sementara sewindu jadi
kepala perbekalan, dia membuat usaha catering, bahan bangunan,
biro iklan, agen perjalanan, pembatikan dan ekspor kodok, yang
semuanya dicetak dengan huruf vet di lembaran kuning buku
telepon.
Bing-bing santai. Hokki tinggi. Sopan dan dermawan pada kawan.
Kami berempat duduk-duduk di restoran, minum empat macam sari
buah seraya mengenang masa kecil.
-- Sekarang perlu kita rumuskan kecurigaan kita, kata Tomo.
-- Januari Februari ini jelas gawat. Aku curiga rumahku kena
banjir lagi, ujar Samsu.
-- Musim hujan musim baik menulis puisi tinggi, komentar saya.
-- Buat apa pangkat tinggi-tinggi, kata Bing-Bing. Pensiun
kopral pun jadilah.
Alat perekam restoran terdengar menyanyikan Kopral Djono,
suaranya stereo.
-- Sudah saatnya orang menyelenggarakan kursus bimbingan tes
Cara Menodong Komisi Tanpa Menodong Seperti Garong, ucap Tomo.
-- Mau masuk TK 35.000. Masuk SD 60.000. Zaman kita dulu gratis,
lho, keluh Samsu.
-- Saya sedang sibuk merenungkan hubungan antara mandi lilin
dengan pembangunan, kata saya.
-- Kalau mau maju tiru Jepang, nasihat Bing-Bing. Rajin,
disiplin, gigih, bersih, akurat dan hemat.
Martabak panas dengan acar ketimun dan cabe rawit dua sendok,
terhidang di depan kami.
-- Malas membaca dan tidak mampu menalar, itu musuh utama kita,
kata Tomo sambil mengunyah bawang.
-- Kalau 60 murid satu kelas, bagaimana bisa belajar, keluh
Samsu.
-- Semua krisis, komentar saya. Kreativitas krisis. Novel
krisis. Hukum krisis. Lingkungan krisis. Krisis krisis.
-- Nah kalau begitu tambah jelas 'kan, sela Bing-Bing. Lawan
rakyat Indonesia yang paling berbahaya ternyata koleterol. Jadi
rakyat mesti aerobik. Lihat Jepang.
Terdengar Sam Bimbo menyanyi Tante Sun, yang tetap jenaka
walaupun didengar di restoran Padang.
-- Penyelesaian terbaik sebuah masalah adalah bukan
menyelesaikannya, petuah Tomo. Tapi membuatnya terapung-apung.
-- Masalah saya adalah gagal dua kali lotere rumah murah, keluh
Samsu. Harus cepat-cepat daftar Perumnas lagi, ah.
-- Memang, sela saya. Kita harus cepat-cepat mengumumkan
perdamaian dengan harimau.
-- Saya juga cepat-cepat giat, ujar Bing-Bing. Target empat
turunan. Pemerataan untuk seluruh turunan.
Tiba-tiba kami semua melihat arloji.
-- Hei, sudah jam lima kurang lima.
Ah, jam lima kurang tiga. Untung sudah sembahyang asar, kata
Samsu.
-- Lho, jam lima tepat kok, ujar saya.
-- Yang betul lima lewat semenit.
Kami berpisah setelah Bing-Bing bayar rekening.
-- Bai bai, kata Tomo. Lalu dia menyetir Chevrolet Luv ke Gatot
Subroto, arah barat.
-- Assalamu'alaikum, seru Samsu yang berdiri di tepi jalan
mencegat Bajaj ke Pulogadung di timur.
-- Daaah, kata saya sambil tancap Renault ke Hutan Kayu, arah
selatan.
--
Sayonara, lambai Bing-Bing dengan sopan seraya meluncur dengan
Toyota Crown ke Tomang di utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini