BIAR ada 100 Mudjono, 100 Ali Said dan 100 Ismail Saleh, tak
mungkin bisa menyelesaikan semua perkara dalam 100 hari,"
katanya. Bahkan, selama 12 tahun memimpin Kejaksaan Agung
(dimulai sebagai Jaksa Agung Muda bidang Intel 1969 s/d 1973),
"Saya tidak punya keberanian moral mengatakan sukses."
Katakanlah, kata Letjen TNI AD berusia 54 tahun ini, ada
keberhasilan di sana-sini, "itu adalah hasil pengabdian."
Sedangkan kalau ada kesalahan, lanjutnya, "tanggungjawab saya
sendiri -- tidak akan dibagi-bagi."
Apa yang dilihatnya pada instansinya yang baru, Departemen
Kehakiman? Tentu saja masalah yang paling hangat dibicarakan
kini: hakim. Tapi, kata sarjana hukum lulusan Perguruan Tinggi
Hukum Militer (PTHM -- 1962) kelahiran Magelang ini, "saya tidak
akan langsung datang kepada mereka dan mengatakan: kau jelek!"
Untuk itu, bekas Hakim Ketua Mahkamah Militer Luarbiasa
(Mahmilub) yang mengadili Subandrio, punya semacam pegangan yang
disebutnya "filsafat WC". Begini. Seseorang yang memasuki sebuah
kamar kecil, WC, sering memaki-maki: wah, bau petai! Tapi,
katanya, lama-lama akan terbiasa juga.
Sejak dari Gedung Kejaksaan Agung di Bunderan CSW, Kebayoran
Baru (Jakarta Selatan), "bau petai" dari Departemen Kehakiman
boleh jadi sudah tercium keras olehnya. Sebagai "komandan" tim
operasi anti penyelundupan (dibentuk 9 Februari 1979, maka
disebut Tim 902), ia tak segan-segan menyatakan kekecewaannya
terhadap sikap para hakim.
Tahun pertama, ketika penyelundupan meluap, para penyelundup
yang dituduh melakukan kejahatan subversi memang tak pernah
luput dari hukuman. Tapi belakangan hakim mengendurkan jerat.
Beberapa meringankan hukuman dan yang lain bahkan membebaskan
para tersangka.
Tapi Ali Said tak menuduh para hakim ada main. Paling-paling,
yang digaris bawahi, terjadi pergeseran pemahaman tentang
"kejahatan penyelundupan" dan apa yang disebut "subversi",
antara kejaksaan dan pengadilan. Perbedaan itu juga, bahkan,
terdapat pada instansi lain yang juga bergerak di bidang hukum:
Opstib.
Sebuah dokumen Opstib Pusat, misalnya, menyebutkan ada beberapa
tersangka dibebaskan begitu saja oleh jaksa. Berkali-kali Opstib
menangkap dan menahan beberapa penyelundup, begitu dokumen
tersebut menyatakan, berulang-ulang pula kejaksaan melepaskan
mereka kembali.
Ada pungli atau denda damai? Ia geleng kepala. Meskipun puluhan
tersangka ditahan sampai lebih setahun -- malah ada yang sampai
di-Nusakambangan-kan -- katanya "itu semata-mata karena memang
tak ada alasan untuk mengajukan mereka ke pengadilan."
Bau lain yang juga keras menusuk tentu saja: mafia-peradilan.
Kelanjutan pembersihan pengadilan dari hakim korup yang
dilakukan menteri sebelumnya, Mudjono -- yakni pengrumahan 4
orang hakim senior dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat -- tentu
saja tak boleh dituntut terlalu galak. Tak mungkin, kata Ali
Said, "hari ini saya bekerja dan besok harus selesai -- itu
mimpi."
Apalagi, kata bapak dari tiga orang anak ini, keadaannya lain
dengan 10 tahun yang lalu. "Saya tidak muda lagi -- jangan
diharapkan akan berpencaksilat di perempatan jalan." Menyambut
jabatan baru dari Mudjono, akhir pekan lalu, ia berkata:
"Terimakasih mas Mudjono. Beban yang akan saya pikul telah
berkurang karena tindakan dan langkah-langkah ang telah
diambil selama ini . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini