Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengusir Gemetar dengan Getaran

Kekacauan arus listrik di otak penderita parkinson bisa diredam listrik buatan. Manjur, tapi sangat mahal.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Udara dingin di ruang sidang paripurna DPRD DKI Jakarta siang itu terasa menusuk tulang. Maklum, alat penyejuk udara dipasang pada suhu minimal, 17 derajat Celsius. Tapi bukan hawa AC yang membuat tangan kanan seorang anggota DPRD?sebut saja Pak Muwakkil?terus bergetar. Apalagi setelan jasnya yang mahal mestinya mampu menahan dingin dengan baik.

Jangan-jangan Pak Muwakkil gugup karena harus membacakan kata akhir fraksinya? "Bukan juga. Itu karena beliau sudah setahun menderita parkinson," kata koleganya dari satu komisi.

Ya, parkinson memang membuat orang tak bisa lagi mengendalikan semua gerakan tubuhnya. Pikiran bisa saja tetap waras. Tapi anggota badan tak bisa diperintah sekehendak hati. Bahkan pekerjaan sederhana seperti menorehkan tanda tangan saja, bagi Pak Muwakkil, menjadi urusan menyusahkan.

Nama penyakit parkinson berasal dari penemunya, ilmuwan asal Inggris, Sir James Parkinson. Pada 1817, dia menyebut penyakit ini sebagai shaking palsy (kelumpuhan yang bergetar). Baru pada 1960-an, Jean Martin Charcot, ilmuwan Prancis, mendeklarasikan penyakit yang banyak mendera kaum lanjut usia ini sebagai penyakit parkinson?sebagai penghormatan atas penemunya.

Sudah banyak penelitian tentang parkinson, tapi sampai sekarang belum ada yang sepakat tentang penyebab penyakit ini. Yang ada baru dugaan bahwa parkinson terjadi lantaran ketidakseimbangan kimiawi pada pusat koordinasi otak. Pemicunya adalah kematian sel-sel yang memproduksi dopamine?zat kimia pembawa pesan antarsel dalam jaringan otak. Akibat matinya sel-sel itu, pasokan dopamine ke pusat kendali otak berkurang. Hasilnya, arus lalu lintas pesan menjadi kacau. Pesan yang mestinya dikirim lewat paket kilat terhambat di tengah jalan. Sebaliknya, pesan yang tak jelas asal-usulnya datang lebih awal.

Gejala parkinson bervariasi antara sa-tu pasien dan pasien lainnya. Parkinson berjangkit pelan-pelan, hingga bertahun-tahun, tanpa pola yang jelas. Gejala paling umum berupa gemetaran tak terkendali (tremor). Ini biasanya diawali gemetaran pada jari atau ujung-ujung tangan. Pada fase awal, tremor biasanya terjadi saat organ tubuh tak aktif. Gemetaran itu bisa berkurang atau hilang ketika organ tubuh itu diaktifkan.

Gejala lain berupa kekakuan (rigidity) dan kekejangan (stiffness) pada otot. Pasien biasanya kesulitan menoleh, bangkit dari kursi, atau bangun dari tempat tidur. Tubuh pasien bisa menjadi bungkuk, jemarinya susah digerakkan, dan ekspresi mukanya tak jalan. Gejala umum parkinson lainnya berupa kelambanan gerak (bradykinesia). Pasien kesulitan melakukan gerakan yang diniatkan. Gerakan ringan seperti memencet nomor atau mengancingkan baju saja perlu waktu bermenit-menit.

Untung saja kini ada metode baru yang bisa jadi akhir penderitaan pengidap parkinson. Namanya Deep Brain Stimulation (DBS). Metode ini bekerja dengan mencangkokkan elektroda di bagian dalam otak penderita. Alatnya terdiri atas empat komponen utama: batang elektroda (lead), kabel penghubung (extension), sumber energi (impulse generator), dan magnet remote control.

Lead berupa batangan langsing dengan empat buah elektroda di ujungnya. Saat operasi, sumbu berelektroda dibenamkan ke bagian dalam otak, bisa ke bagian subthalamic nucleus (STN) atau internal globus pallidus (GPi). Kedua bagian ini merupakan struktur otak yang berfungsi mengontrol gerakan tubuh dan fungsi otot.

Sumbu lead lainnya menyembul ke luar batok kepala, persis di bawah kulit kepala. Ujung ini tersambung dengan kabel yang mengular dari atas kepala, melewati belakang telinga, turun ke leher, sampai ke bawah tulang selangka (dada). Di dada, kabel tersambung dengan impulse generator?mesin pemasok tenaga listrik untuk seluruh sistem. Mesin selebar daun telinga ini terdiri atas baterai mini dan chip komputer yang telah diprogram.

Saat dihidupkan melalui remote control, alat DBS akan mengirim arus listrik ke otak. Arus listrik ini, di satu sisi, bertugas merangsang otak agar kembali memproduksi dopamine. Di sisi lain, arus listrik ini meredam kekacauan lalu lintas arus listrik dalam jaringan otak. Berkat DBS, lalu lintas pesan pada jaringan otak pun kembali lancar. Sebaliknya, perintah otak yang kacau dan tak jelas asal-usulnya bisa diblokir.

Kesuksesan terapi DBS sangat bergantung pada ketepatan posisi elektroda di dalam otak. Elektroda harus persis berada di dekat sel otak yang perlu dirangsang. Karena itu, sebelum operasi, tim bedah harus memetakan struktur dan fungsi otak dengan cermat. Berkat kemajuan teknologi pemindaian seperti MRI dan CT-scan, proses pemetaan otak kini lebih mudah. Itu saja belum cukup. Selama operasi, komputer pemindai ini harus terus dipancang.

Masih untuk menjaga presisi, saat operasi pemasangan elektroda, pasien harus tetap sadar. Agar tak merasa sakit, pasien dibius lokal pada titik pengeboran batok kepala. Tapi bius tak sampai pada jaringan otak. Toh, karena karakter khususnya, otak memang tak menghasilkan sinyal rasa sakit. Di luar alasan itu, kesadaran pasien pun penting agar tim bedah bisa terus memantau fungsi otak yang dibedah.

Jika operasi berjalan sesuai dengan rencana, pasien cuma perlu waktu tiga hari di rumah sakit. Beberapa pekan kemudian, ketika sistem telah diaktifkan, pasien tinggal memencet tombol remote control. Begitu tombol pada posisi on, getaran di tangan dan kaki pasien langsung berhenti. Lalu lintas pesan di otak pun jadi wus.. .wus... lancar. "Hasilnya memang seperti sulap," kata Eka J. Wahjoepramono, ahli bedah saraf dari Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Karawaci, Tangerang.

Bukan hanya tergolong revolusioner, metode DBS pun terbilang lebih aman. Kecuali mengebor batok kepala, operasi pemasangan peralatan DBS sama sekali tak merusak jaringan otak. Terapi ini juga bersifat reversible. Artinya, jika alatnya dicabut, otak pasien kembali ke kondisi semula. Ini berbeda dengan metode bedah otak lain yang selalu meninggalkan "luka" bekas operasi. "Ini terapi paling dramatis sepanjang yang pernah saya lihat," kata David Burn, neurolog dari Newcastle General Hospital, Inggris.

Evaluasi atas terapi ini umumnya positif. Periode on-time, fase ketika pasien bisa bekerja normal tanpa gangguan gerakan spontan yang menyentak, bertambah dua kali lebih lama. Pasien parkinson rata-rata bisa mengatasi gejalanya hingga 60-80 persen.

Sekadar contoh, ambil hasil penelitian Dr. Paul Krack, ahli neurologi dari University Hospital Center di Grenoble, Prancis, belum lama ini. Selama setahun, Krack mengamati 77 pasien parkinson untuk memantau adanya efek terapi DBS dalam jangka panjang. Hasilnya, "Semua pasien tak menunjukkan perubahan (negatif) fisik ataupun mental seperti dikhawatirkan banyak pihak."

Tentu saja, lazimnya operasi dan pencangkokan barang asing ke dalam tubuh, terapi DBS tak sepenuhnya nihil risiko. Ada peluang perdarahan otak dua sampai tiga persen. Jika tak dihentikan, perdarahan ini bisa saja berujung pada kelumpuhan, stroke, atau ketidakmampuan bicara. Artinya, dari 100 pasien, masih ada dua sampai tiga yang mungkin gagal. "Tapi tetap saja ada lebih banyak orang yang bisa diselamatkan," kata Dr. Erwin Montgomery Jr., ahli bedah saraf dari Cleveland Clinic, Ohio, Amerika.

Wajar saja kini makin banyak negara mengadopsi DBS. Ditemukan pada awal 1980-an oleh ilmuwan Prancis, Dr. Alim-Louis Benabid, sejak 1998 metode ini telah diterapkan di Australia, Kanada, dan sebagian besar negara Eropa. Meski terkesan hati-hati, pada Januari 2002 Amerika Serikat pun akhirnya ikut mengadopsinya.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini belum ada rumah sakit yang berani mencoba metode ini. Masalahnya, menurut Eka, bukan pada ketidakmampuan ahli bedah saraf lokal. Hambatannya lebih pada perhitungan ekonomis pihak rumah sakit. Maklum, perlengkapan operasi DBS sangat mahal. Sedangkan jumlah pasien yang mampu membayar operasi sangat sedikit.

Walhasil, penderita parkinson di sini masih harus menunggu sampai rumah sakit menganggap impor teknologi ini secara bisnis menguntungkan.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus