Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Amien Rais dan Siswono Yudho Husodo?tentu saja diharapkan meningkatkan perolehan suara mereka secara signifikan dalam pemilu?boleh menandai sebuah tahap dalam proses pemahaman keagamaan Islam di bidang politik.
Sebelumnya, hal yang bisa kita pikirkan selama berminggu-minggu ialah ini: kalau "sayap ulama" menang dalam sidang-sidang pimpinan PKS, termasuk Majlis Syura-nya yang berpengaruh, partai itu akan memilih Wiranto dan Salahuddin Wahid sebagai calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka dukung. Kalau, sebaliknya, "sayap idealis" yang menang, pilihan akan dijatuhkan pada pasangan Amien-Siswono.
Tapi jenis kesulitan yang baru saja dialami PKS itu sebenarnya bukan hanya milik mereka. Ini mencerminkan semacam kebingungan di kalangan kelompok-kelompok Islam paling mutakhir, yang terlihat sejak awal reformasi, dalam mendefinisikan arti kehadiran mereka dalam situasi yang berubah. Lahirnya dua jenis partai yang berbeda (yang hanya berbasis massa Islam, yakni Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa, dan yang memang dimaksudkan sebagai partai Islam, yakni Partai Bulan Bintang dan kemudian Partai Keadilan) mencerminkan sebuah suasana peralihan, ketika orang mempertanyakan apakah lebih produktif tetap mengangkut cita-cita Islam yang formal atau mengusung hanya misi universalnya seperti demokrasi, keadilan sosial, dan seterusnya.
Lahirnya partai yang hanya berbasis massa Islam itu menunjukkan kemunduran cita-cita Islam formal itu. Dan itu memang sudah dibuktikan oleh makin merosotnya dukungan rakyat muslim pada isu-isu seperti pelaksanaan syariat Islam (dilambangkan dengan tujuh kata Piagam Jakarta). Perolehan suara partai Islam juga makin merosot, misalnya yang terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan, terhitung sejak Pemilu 1999 (dibandingkan dengan Pemilu 1997), dan Partai Bulan Bintang pada Pemilu 2004 (dibandingkan dengan Pemilu 1999).
Adapun Partai Keadilan (setelah Pemilu 1999 menjadi Partai Keadilan Sejahtera) memang juga partai Islam, tapi memilih appeal yang lain: bukan bendera syariat, melainkan justru pemerintahan yang bersih dan kepedulian kepada kesengsaraan umum, disertai sikap istiqamah (konsisten) para awak partai sendiri. Ini kelompok yang dikenal antisuap. Hampir Rp 1 triliun harta negara dapat mereka selamatkan lewat usaha para anggota legislatifnya (yang baru berjumlah sedikit itu) di DPRD-DPRD. Dan ini dibeberkan dalam kampanye, pada pemilu terakhir, dengan hasil peningkatan perolehan suara lebih dari enam kali lipat dari perolehan pada Pemilu 1999. Itu sekaligus membuktikan terjadinya pergeseran dalam kesadaran para pemilih muslim: dari Islam yang formal ke Islam yang substansial.
Adapun bahwa kedua partai lain, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, tidak mengalami peningkatan perolehan suara (malahan penurunan pada yang kedua), ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pada Partai Kebangkitan Bangsa makin lama makin jelas partai hanya dijadikan kendaraan para nahdliyin, terutama, untuk merebut posisi-posisi politik, dan itu terkadang lebih penting dibandingkan dengan platform dan bahkan ideologi. Sedangkan Partai Amanat Nasional, yang sejatinya persis satu platform dengan PKS, di samping kelihatan tidak diurus dengan baik, belum berhasil membuktikan "satunya kata dan perbuatan".
Tidak bisa dipastikan, memang, para pemilih muslim benar-benar tidak lagi menyukai muatan Islam versi lama. Yang lebih bisa diraba pada mereka adalah perasaan jenuh, bosan, karena pada akhirnya syariat Islam itu sekadar slogan, sementara partai yang mengangkutnya dalam kenyataan tidak benar-benar (mampu) memperjuangkannya.
Kenyataan terakhir itulah yang tampak ketika Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang mendeklarasikan dukungan partainya kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M. Jusuf Kalla, hal yang disesali Ahmad Sumargono, salah seorang ketuanya, sebagai hal yang tidak sesuai dengan ideologi dan platform partai yang mengkampanyekan penegakan syariat. "Mestinya, kalau mau berkoalisi, kita lakukan dengan partai Islam atau yang berbasis massa Islam," kata Sumargono, yang akhirnya pergi ke pasangan Amien-Siswono. Sikap "bingung" seperti itu, yang praktis sudah memecah partai (sebagian mendukung SBY-Kalla dan sebagian Amien-Siswono), banyak dipercayai didasari perhitungan akan kemenangan SBY-Kalla dan dengan demikian pembagian kursi.
Itulah sikap "pragmatis", dengan kemungkinan sementara meninggalkan "ideologi", yang lebih jelas lagi pada Hamzah Haz, yaitu ketika ia tidak juga mencalonkan diri sebagai calon presiden dan menanti pinangan Megawati (yang punya kemungkinan lebih besar untuk menang) yang mungkin akan menjadikannya calon wakil presiden. Sedangkan pada 1999, dia, atas nama agama, paling lantang menolak presiden perempuan.
Juga tawarannya kepada Golkar, atau pihak mana pun, yang mungkin juga akan mengajaknya berkoalisi, memberikan kesan bahwa apa yang dia emban bersama partainya selama ini sebenarnya hanya misi yang sia-sia. Apalagi kalau mau didengarkan tudingan Mahfud Md. dari Partai Kebangkitan Bangsa?yang dibantah tim sukses Hamzah?bahwa Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu akhirnya maju berkat kesepakatan dengan Megawati untuk membendung Amien-Siswono, berdasarkan jenis konstituen yang sama antara Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional, dan itu tentu dengan imbalan beberapa kursi.
Tapi bab "kesia-siaan misi" tidak hanya menyangkut Hamzah dan Partai Persatuan Pembangunan. Terasa benar bahwa sebuah babakan, dalam cara mengangkut (atau memakai) Islam ke panggung politik, memang sudah harus berlalu. Meski tidak selalu dengan mulus. Perdebatan berlarut-larut di kalangan pemimpin PKS dalam memilih calon presiden dukungan bukanlah sekadar perdebatan politik, melainkan terdengar lebih ke pembahasan agama.
Dan di situ bisa kita lihat kesimpulan-kesimpulan lama yang hanya dijabarkan dalam situasi baru. Tak penting siapa yang paling keras menyuarakan nama Wiranto (menyaingi Amien Rais, yang sudah bagai saudara sekandung orang PKS), calon presiden Golkar ini dipujikan berdasarkan pertimbangan "pragmatis". Sesuatu yang sama dengan yang diduga dipakai Ryaas Rasyid dari Partai Persatuan Demokrasi Kemerdekaan ketika memutuskan bergabung dengan Wiranto (hal yang juga menyebabkan Andi Alfian Mallarangeng keluar dari Partai Persatuan Demokrasi Kemerdekaan) ataupun yang diduga dipakai Yusril Ihza Mahendra ketika memilih SBY, yakni besarnya potensi untuk menang. Dan Amien kurang bisa mereka percayai dari segi itu. Tapi mengapa calon presiden yang "bakal menang", dan bukan yang "paling bagus", yang harus dipilih "partai idealis" seperti PKS?
Sebab, Megawati harus disetop. Alasan resminya, berupa prestasi Mega sebagai presiden, bisa saja berdasarkan kalkulasi yang benar, tapi tidak sejati. Sebab, kita melihat, masalah presiden perempuan tetap aktual di kelompok-kelompok yang lebih puritan, selain di Nahdlatul Ulama. Itulah mengapa, bisa dibaca, PKS tempo hari mengumumkan akan mengambil sikap oposisi?karena, meski tentu saja tak disebut, ada kemungkinan pemerintahan tetap dipimpin presiden perempuan. Bukankah mereka menerima jabatan menteri di kabinet Abdurrahman Wahid?
Itu pertama. Yang kedua adalah cita rasa ulama dalam hal pemerintahan. Kitab-kitab klasik kenegaraan tidak menyebut parlemen, tentu, ataupun oposisi. Yang hidup dalam pikiran ulama adalah bayangan sebuah pemerintah yang kuat, yang bisa menumpas pemberontak (bughat) dan memelihara kestabilan imperium dan dengan demikian kesejahteraan para kawula (bisa diingat tema kampanye Wiranto: pemerintah yang "kuat", yang "menertibkan", entah dalam pengertian apa, dan "tegas"). Sudah menjadi kecenderungan ulama, karena itu, untuk lebih mencintai tentara daripada "demokrasi" atau "oposisi", istilah-istilah yang biasanya keluar dari mulut para idealis sebangsa Hidayat Nur Wahid (doktor ilmu hadis lulusan Madinah). Maka, bila bukan SBY, tokoh itu adalah Wiranto.
Untuk sementara ini, keputusan PKS bagai sudah mengembalikan partai kepada khitahnya semula, sebagai sebuah partai Islam modern luar-dalam. Jelas, kalau ia mengambil oper ide pembaruan keagamaan sampai ke dimensi praksis, ia menyandang tugas yang lebih komprehensif, lebih banyak tantangan, juga lebih terhormat. Dan lebih berpahala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo