Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Merayu anjing-anjing geladak

Petugas Dinas Kesehatan hewan dan peternakan kodya bandung menggeluti pekerjaan penangkapan anjing-anjing liar dan menyuntik anjing sambil keluar masuk kampung. 6 bulan sekali, anjing-anjing perlu disuntik. (sd)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu sebuah mobil diparkir di pinggir jalan sebuah kampung di dalam Kota Bandung. Dua orang lelaki turun, dan diam-diam menyusuri sebuah gang. Tiba-tiba seekor anjing geladak melintas. Kedua lelaki itu berheni, seorang di antaranya segera melemparkan sebutir bakso beracun. Anjing itu segera menyergapnya. Kurang dari satu menit, si geladak yang suka berkeliaran di malam hari itu tak lagi bernyawa. Bangkai itu segera diseret, dikubur di tempat yang jauh dari perkampungan. "Tapi kalau ada anjing berkeliaran dekat sebuah rumah, mesti ditanyakan dulu siapa pemiliknya. Kalau ternyata liar, anjing itu harus dibunuh saat itu juga," ujar Nunung Supriadi, 30 tahun, petugas dari Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Kotamadya Bandung. Seminggu tiga kali, Nunung menjadi algojo. Setiap beroperasi yang selalu dilakukan malam hari, tak kurang dari 20 ekor anjing yang ia bunuh. Tugas itu sendiri tak dirasanya berat. Tapi kalau harus menyeret bangkai melalui sebuah gang sempit yang panjang, terkadang ia kesal juga. Bukan hanya itu. Pernah kendaraan untuk operasi itu dilempari batu oleh orang-orang yang merasa anjingnya mendadak hilang. Sejak itu, operasi pembantaian anjing tersebut dikawal beberapa petugas koramil, polisi dan hansip. Siang hari Nunung masih harus berurusan dengan anjing-anjing lagi dengan cara keluar-masuk kampung. sukan lagl untuk menyebar maut, tapi justru membantu anjing-anjing itu terjaga kesehatannya. Yaitu menyuntikkan cairan obat antirabies (penyakit anjing gila) ke tubuh binatang piaraan tersebut. Sehari rata-rata ia bisa menolong 20-30 ekor. Sesekali ia juga menyuntik kucing dan monyet. "Saking seringnya mendatangi pemilik anjing, saya mendapat julukan tukang anjing," kata Nunung tertawa. Setiap 6 bulan, anjing, kucing dan monyet harus divaksinasi -- sesuai dengan SK tiga menteri -- Kesehatan, Pertanian, Dalam Negeri pada 1979 mengenai pencegahan penyakit rabies. SK tersebut juga menyebutkan bahwa anjing piaraan di rumah harus diikat dengan rantai sepanjang dua meter, sedang anjing liar harus dibunuh. Dipatuk Ayam Menurut Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Kotamadya Bandung, drh. M. Totong Garniwa Kartawidjaja, anjing liar ialah anjing yang berkeliaran di jalanjalan umum, termasuk gang-gang, walaupun binatang piaraan itu sudah dikalungi pening, sebagai tanda sudah membayar pajak. Berdasarkan sensus terakhir, di Kotamadya sandung sekarang terdapat sekitar 12.000 ekor ajing. Untuk tugas itu, Nunung, ayah dua anak itu, cuma mendapat imbalan Rp 31.000 sebulan. Begitu tamat SLA pada 1968, ia mengikuti kursus ketrampilan teknis pegawai Dinas Kehewanan di Cikole, Lembang, selama 2 minggu. Kemudian diangkat sebagai pegawai negeri di dinas tersebut. Ketika pertama kali menyuntik anjing, deg-degan juga, sebab harus menangkap dan menyuntik sendiri Sudah dua kali saya digigit anjing," ujarnya. Lain halnya dengan atasan Nunung, Kepala Urusan Rabies Dinas Kesehatan dan Peternakan Kotamadya Bandung, Gunadi, 43 tahun. Ia sudah merasa kebal dengan gigitan anjing "Digigit anjing rasanya sudah seperti dipatuk ayam saja," ujar ayah dari 4 anak itu. Bahkan menghadapi anjing-anjing besar sejenis herder atau doberman, baginya tidak sulit. "Mereka jarang menggigit, mungkin karena sudah disekolahkan," katanya. Maksudnya dilatih berbagai ketrampilan seperti mengejar pencuri dan sebagainya. Tapi, menurut Gunadi, yang galak justru anjing-anjing kecil sejenis spanel. "Jangankan terhadap petugas, tuannya saja sering digigit," kata lulusan Sekolah Pengamat Kehewanan Bogor (1958) yang telah menjadi mantri hewan selama 15 tahun ini. Tapi digigit anjing, menurut dia, sudah merupakan risiko tukang suntik anjing. "Kami semua sudah divaksinasi anti-rabies, jadi tak perlu khawatir," tambah Gunadi. Di kantornya ada 11 petugas vaksinator rabies. Menurut Gunadi, suntikan vaksin itu sepenuhnya gratis. Meski begitu masih banyak pemilik anjing yang masih kurang menghargai profesi Gunadi dkk. "Saya sering mengunjungi pemilik anjing yang rumahnya cukup jauh, hanya diterima oleh pelayan, padahal tuannya ada," keluhnya kesal. "Sudah gratis, didatangi pula, masih keberatan menyuntikkan anjingnya. Padahal kalau anjingnya terserang rabies bisa mampus," Gunadi menggerutu. Di sandung, nama Gunadi agaknya cukup populer. Anak-anak yang menjumpainya tak jarang meneriaki Gunadi "Huk, huk, huk." Dan Gunadi hanya mesem saja. Karena sudah cukup lama bergaul dengan ganjing, Gunadi sudah hafal musim birahi anjing. "Biasanya jatuh pada bulan Safar--tahun ini antara November-Desember," tutur Gunadi. Anehnya, anjing-anjing jantan dan betina yang sedang berkerumun untuk pacaran, kontan bubar bila melihat Gunadi. Mungkin mereka malu, karena sudah merasa kenal dengan saya," katanya tertawa. Di Jakarta, vaksinasi anti-rabies tidak gratis, mesti bayar Rp 1.000/ekor. Itu pengakuan Supardi (bukan nama sebenarnya) yang sudah 3 tahun bertugas sebagai vaksinator anti-rabies. Mengaku sejak kecil menyukai anjing, lulusan Sekolah Kehewanan Menengah Atas ini semula ingin menjadi dokter hewan. "Tapi tugas penyuntikan anjing saya kita tak kalah mulianya dengan dokter hewan atau dokter manusia," ujarnya. Artinya ikut membantu meringankan penderitaan sesama mahluk. "Saya paling tidak tega melihat penderitaan binatang. Mereka tidak bisa berteriak atau minta tolong seperti kita," kata ayah dua anak yang juga memelihara 2 anjing dan beberapa ekor kucing itu. Ketika masih kecil ia pernah menangis menyaksikan anjing tetangga yang mati dalam kerangkeng karena menderita rabies tanpa dibawa ke dokter hewan. "Saya menangis karena tak bisa berbuat apa-apa," kenangnya. Dibelai . . . Ces! Menurut dia, cara menyuntik anjing paling baik ialah di leher bagian atas. "Bagian itu subcutant, artinya mampu menyerap dan menyebarkan cairan vaksin dengan sempurna," katanya. Supardi yang sudah 4 kali digigit anjing itu bertekad tetap pada profesinya. "Kalau saya berhasil menolong seekor anjing dari penyakit rabies, saya sangat bahagia. Cinta saya pada binatang benarbenar tulus," tambahnya kalem. Raden Achmad, 5 5 tahun, juga tidak kapok jadi juru suntik anjing, meskipun sudah lebih 10 kali digigit anjing. "Sebab tugas saya ini bukan hanya berguna bagi binatang, tapi juga bagi manusia. Kalau anjingnya sehat, manusianya kan tak perlu khawatir akan sakit kalau digigit piaraannya," kata Achmad, kepala seksi Rumah Observasi Rabies pada Sukudinas Peternakan DKI di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Menurut dia jadi vaksinator sebenarnya bukan pekerjaan yang menarik. "Kesulitannya lebih banyak. Selain banyak anjing yang galak, juga tidak sedikit pemilik yang menyuruh saya menangkap sendiri hewan itu. Belum lagi kalau si pemilik menolak kedatangan saya, bahkan ada yang membanting pintu," keluhnya. Tapi setelah 6 tahun menekuni pekerjaannya, Achmad terbiasa dengan pengalaman-pengalaman pahit itu. Apalagi setelah mempelajari watakwatak anjing, dia malah menyukai tugasnya. "Anjing geladak pada umumnya sulir dimengerti ketimbang anjing ras. Iulah sebabnya saya lebih sering digigit oleh geladak. Mungkin karena anjing ras sudah banyak yang dilatih," tuturnya. Achmad yang hampir pensiun ini juga sudah lihai membujuk anjing yang akan disuntiknya. Seperti umumnya para vaksinator, sebelum menyuntik Achmad juga membujuk serta membelai-belai bulu pasiennya. Dengan begitu, biasanya si Blacky, si Boby atau si Pony lantas jadi pcnurut. Setelah itu . . . ces, cairan anti-rabies sebanyak 4 cc disuntikkan ke leher bagian atas. Si anjing, yang setelah itu masih harus terus dibelai, biasanya tidak meronta. Hanya matanya yang menatap si penyuntik dengan iba. Semula Achmad ingin jadi navigator. "Tahu-tahu masuk ke Sekolah Kehewanan Menengah Atas di sogor" ujarnya tertawa. Kini bersama 2 pembannl nya, setiap Selasa dan Sabru ia keliling kampung beroperasi. Siang menyuntik, malam menjerat anjing-anjing liar. Achmad yang berasal dari Tasikmalaya ini menganggap pekerjaannya tidak bertentangan dengan agama Islam. 'Justru dengan pekerjaan ini saya mengasihi sesama mahluk Allah. Islam itu kan luas," katanya seperti berkhotbah. Dengan tanggungan 7 anak, setiap bulan Achmad menerima amplop gaji berisi Rp 120 ribu -- plus pembagian beras. Untuk menambah biaya dapur, sesekali ia membantu perdagangan anjing. "Pekerjaan sampingan saya tak ada yang di luar lingkungan hewan," ujarnya. Di Medan, menyuntikkan anjing gratis. Meski begitu, menurut Luther Manurung, 46 tahun, penduduk kota itu masih banyak yang enggan menyuntikkan anjing, khawatir dikutip ongkos. Selain itu ada anggapan bahwa setelah disuntik, anjing jadi bodoh, malas dan ak mau lagi menyalak. Lumayan Karena itu seminggu sebelum operasi penyuntikan, Luther minta kepala desa yang bersangkutan agar memerintahkan penduduk mengumpulkan anjing di satu tempat. Dengan begitu tugas penyuntikan akan lebih mudah. Selain itu--bila ia harus beroperasi dari pintu ke pintu-"saya terpaksa merayu anak-anak yang biasanya lebih akrab dengan anjingnya." Menurut pengalaman Luther, hanya dngan cara begitu cukup banyak penduduk yang merelakan anjingnya divaksinasi. Karyawan Dinas Peternakan Tingkat I Sumatera Utara ini kadang-kadang bahkan menerima tip dari pemilik anjing. "Rata-rata Rp 300 per ekor," katanya terus-terang. Tugas yang dilakukan selama 3 jam sehari itu tak jarang menghasilkan tip sekitar Rp 3.000. "Lumayanlah untuk ongkos makan di jalan," ujar ayah dari 6 orang anak itu. Ancaman digigit anjing memang sering mengkhawatirkan Luther dalam menjalankan tugasnya. Bulan lalu misalnya, di kawasan Perumnas Helvetia, Medan, ia nyaris diserang anjing yang akan I disuntiknya. "Mestinya para petugas seperti saya ini juga divaksinasi anti-rabies untuk menjaga kemungkinan digigit anjing gila," katanya. Kantornya tak membekali obat tersebut, "sedang kalau beli di luar, mahal." Suatu hari Luther Manurung gagal melaksanakan tugasnya. Ketika hendak menyuntik, anjing yang bertubuh cukup besar dan galak itu tiba-tiba lepas dari pegangan pemiliknya. Si pemilik lari, karena takut melihat alat suntik. Luther tertawa terbahak-bahak "Kali ini bukan anjing, tapi pemiliknya sendiri yang lari ketakutan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus