MALAM itu sebuah mobil diparkir di pinggir jalan sebuah kampung
di dalam Kota Bandung. Dua orang lelaki turun, dan diam-diam
menyusuri sebuah gang. Tiba-tiba seekor anjing geladak melintas.
Kedua lelaki itu berheni, seorang di antaranya segera
melemparkan sebutir bakso beracun. Anjing itu segera
menyergapnya. Kurang dari satu menit, si geladak yang suka
berkeliaran di malam hari itu tak lagi bernyawa.
Bangkai itu segera diseret, dikubur di tempat yang jauh dari
perkampungan. "Tapi kalau ada anjing berkeliaran dekat sebuah
rumah, mesti ditanyakan dulu siapa pemiliknya. Kalau ternyata
liar, anjing itu harus dibunuh saat itu juga," ujar Nunung
Supriadi, 30 tahun, petugas dari Dinas Kesehatan Hewan dan
Peternakan Kotamadya Bandung.
Seminggu tiga kali, Nunung menjadi algojo. Setiap beroperasi
yang selalu dilakukan malam hari, tak kurang dari 20 ekor anjing
yang ia bunuh. Tugas itu sendiri tak dirasanya berat. Tapi kalau
harus menyeret bangkai melalui sebuah gang sempit yang panjang,
terkadang ia kesal juga. Bukan hanya itu. Pernah kendaraan untuk
operasi itu dilempari batu oleh orang-orang yang merasa
anjingnya mendadak hilang. Sejak itu, operasi pembantaian anjing
tersebut dikawal beberapa petugas koramil, polisi dan hansip.
Siang hari Nunung masih harus berurusan dengan anjing-anjing
lagi dengan cara keluar-masuk kampung. sukan lagl untuk menyebar
maut, tapi justru membantu anjing-anjing itu terjaga
kesehatannya. Yaitu menyuntikkan cairan obat antirabies
(penyakit anjing gila) ke tubuh binatang piaraan tersebut.
Sehari rata-rata ia bisa menolong 20-30 ekor. Sesekali ia juga
menyuntik kucing dan monyet.
"Saking seringnya mendatangi pemilik anjing, saya mendapat
julukan tukang anjing," kata Nunung tertawa. Setiap 6 bulan,
anjing, kucing dan monyet harus divaksinasi -- sesuai dengan SK
tiga menteri -- Kesehatan, Pertanian, Dalam Negeri pada 1979
mengenai pencegahan penyakit rabies. SK tersebut juga
menyebutkan bahwa anjing piaraan di rumah harus diikat dengan
rantai sepanjang dua meter, sedang anjing liar harus dibunuh.
Dipatuk Ayam
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Kotamadya
Bandung, drh. M. Totong Garniwa Kartawidjaja, anjing liar ialah
anjing yang berkeliaran di jalanjalan umum, termasuk gang-gang,
walaupun binatang piaraan itu sudah dikalungi pening, sebagai
tanda sudah membayar pajak. Berdasarkan sensus terakhir, di
Kotamadya sandung sekarang terdapat sekitar 12.000 ekor ajing.
Untuk tugas itu, Nunung, ayah dua anak itu, cuma mendapat
imbalan Rp 31.000 sebulan. Begitu tamat SLA pada 1968, ia
mengikuti kursus ketrampilan teknis pegawai Dinas Kehewanan di
Cikole, Lembang, selama 2 minggu. Kemudian diangkat sebagai
pegawai negeri di dinas tersebut. Ketika pertama kali menyuntik
anjing, deg-degan juga, sebab harus menangkap dan menyuntik
sendiri Sudah dua kali saya digigit anjing," ujarnya.
Lain halnya dengan atasan Nunung, Kepala Urusan Rabies Dinas
Kesehatan dan Peternakan Kotamadya Bandung, Gunadi, 43 tahun. Ia
sudah merasa kebal dengan gigitan anjing "Digigit anjing rasanya
sudah seperti dipatuk ayam saja," ujar ayah dari 4 anak itu.
Bahkan menghadapi anjing-anjing besar sejenis herder atau
doberman, baginya tidak sulit. "Mereka jarang menggigit, mungkin
karena sudah disekolahkan," katanya. Maksudnya dilatih berbagai
ketrampilan seperti mengejar pencuri dan sebagainya.
Tapi, menurut Gunadi, yang galak justru anjing-anjing kecil
sejenis spanel. "Jangankan terhadap petugas, tuannya saja
sering digigit," kata lulusan Sekolah Pengamat Kehewanan Bogor
(1958) yang telah menjadi mantri hewan selama 15 tahun ini. Tapi
digigit anjing, menurut dia, sudah merupakan risiko tukang
suntik anjing. "Kami semua sudah divaksinasi anti-rabies, jadi
tak perlu khawatir," tambah Gunadi. Di kantornya ada 11 petugas
vaksinator rabies.
Menurut Gunadi, suntikan vaksin itu sepenuhnya gratis. Meski
begitu masih banyak pemilik anjing yang masih kurang menghargai
profesi Gunadi dkk. "Saya sering mengunjungi pemilik anjing yang
rumahnya cukup jauh, hanya diterima oleh pelayan, padahal
tuannya ada," keluhnya kesal. "Sudah gratis, didatangi pula,
masih keberatan menyuntikkan anjingnya. Padahal kalau anjingnya
terserang rabies bisa mampus," Gunadi menggerutu.
Di sandung, nama Gunadi agaknya cukup populer. Anak-anak yang
menjumpainya tak jarang meneriaki Gunadi "Huk, huk, huk." Dan
Gunadi hanya mesem saja. Karena sudah cukup lama bergaul dengan
ganjing, Gunadi sudah hafal musim birahi anjing. "Biasanya jatuh
pada bulan Safar--tahun ini antara November-Desember," tutur
Gunadi. Anehnya, anjing-anjing jantan dan betina yang sedang
berkerumun untuk pacaran, kontan bubar bila melihat Gunadi.
Mungkin mereka malu, karena sudah merasa kenal dengan saya,"
katanya tertawa.
Di Jakarta, vaksinasi anti-rabies tidak gratis, mesti bayar Rp
1.000/ekor. Itu pengakuan Supardi (bukan nama sebenarnya) yang
sudah 3 tahun bertugas sebagai vaksinator anti-rabies. Mengaku
sejak kecil menyukai anjing, lulusan Sekolah Kehewanan Menengah
Atas ini semula ingin menjadi dokter hewan. "Tapi tugas
penyuntikan anjing saya kita tak kalah mulianya dengan dokter
hewan atau dokter manusia," ujarnya.
Artinya ikut membantu meringankan penderitaan sesama mahluk.
"Saya paling tidak tega melihat penderitaan binatang. Mereka
tidak bisa berteriak atau minta tolong seperti kita," kata ayah
dua anak yang juga memelihara 2 anjing dan beberapa ekor kucing
itu. Ketika masih kecil ia pernah menangis menyaksikan anjing
tetangga yang mati dalam kerangkeng karena menderita rabies
tanpa dibawa ke dokter hewan. "Saya menangis karena tak bisa
berbuat apa-apa," kenangnya.
Dibelai . . . Ces!
Menurut dia, cara menyuntik anjing paling baik ialah di leher
bagian atas. "Bagian itu subcutant, artinya mampu menyerap dan
menyebarkan cairan vaksin dengan sempurna," katanya.
Supardi yang sudah 4 kali digigit anjing itu bertekad tetap pada
profesinya. "Kalau saya berhasil menolong seekor anjing dari
penyakit rabies, saya sangat bahagia. Cinta saya pada binatang
benarbenar tulus," tambahnya kalem.
Raden Achmad, 5 5 tahun, juga tidak kapok jadi juru suntik
anjing, meskipun sudah lebih 10 kali digigit anjing. "Sebab
tugas saya ini bukan hanya berguna bagi binatang, tapi juga bagi
manusia.
Kalau anjingnya sehat, manusianya kan tak perlu khawatir akan
sakit kalau digigit piaraannya," kata Achmad, kepala seksi Rumah
Observasi Rabies pada Sukudinas Peternakan DKI di Jalan Gunung
Sahari, Jakarta Pusat.
Menurut dia jadi vaksinator sebenarnya bukan pekerjaan yang
menarik. "Kesulitannya lebih banyak. Selain banyak anjing yang
galak, juga tidak sedikit pemilik yang menyuruh saya menangkap
sendiri hewan itu. Belum lagi kalau si pemilik menolak
kedatangan saya, bahkan ada yang membanting pintu," keluhnya.
Tapi setelah 6 tahun menekuni pekerjaannya, Achmad terbiasa
dengan pengalaman-pengalaman pahit itu.
Apalagi setelah mempelajari watakwatak anjing, dia malah
menyukai tugasnya. "Anjing geladak pada umumnya sulir dimengerti
ketimbang anjing ras. Iulah sebabnya saya lebih sering digigit
oleh geladak. Mungkin karena anjing ras sudah banyak yang
dilatih," tuturnya. Achmad yang hampir pensiun ini juga sudah
lihai membujuk anjing yang akan disuntiknya.
Seperti umumnya para vaksinator, sebelum menyuntik Achmad juga
membujuk serta membelai-belai bulu pasiennya. Dengan begitu,
biasanya si Blacky, si Boby atau si Pony lantas jadi pcnurut.
Setelah itu . . . ces, cairan anti-rabies sebanyak 4 cc
disuntikkan ke leher bagian atas. Si anjing, yang setelah itu
masih harus terus dibelai, biasanya tidak meronta. Hanya matanya
yang menatap si penyuntik dengan iba.
Semula Achmad ingin jadi navigator. "Tahu-tahu masuk ke Sekolah
Kehewanan Menengah Atas di sogor" ujarnya tertawa. Kini bersama
2 pembannl nya, setiap Selasa dan Sabru ia keliling kampung
beroperasi. Siang menyuntik, malam menjerat anjing-anjing liar.
Achmad yang berasal dari Tasikmalaya ini menganggap pekerjaannya
tidak bertentangan dengan agama Islam. 'Justru dengan pekerjaan
ini saya mengasihi sesama mahluk Allah. Islam itu kan luas,"
katanya seperti berkhotbah.
Dengan tanggungan 7 anak, setiap bulan Achmad menerima amplop
gaji berisi Rp 120 ribu -- plus pembagian beras. Untuk menambah
biaya dapur, sesekali ia membantu perdagangan anjing. "Pekerjaan
sampingan saya tak ada yang di luar lingkungan hewan," ujarnya.
Di Medan, menyuntikkan anjing gratis. Meski begitu, menurut
Luther Manurung, 46 tahun, penduduk kota itu masih banyak yang
enggan menyuntikkan anjing, khawatir dikutip ongkos. Selain itu
ada anggapan bahwa setelah disuntik, anjing jadi bodoh, malas
dan ak mau lagi menyalak.
Lumayan
Karena itu seminggu sebelum operasi penyuntikan, Luther minta
kepala desa yang bersangkutan agar memerintahkan penduduk
mengumpulkan anjing di satu tempat. Dengan begitu tugas
penyuntikan akan lebih mudah. Selain itu--bila ia harus
beroperasi dari pintu ke pintu-"saya terpaksa merayu anak-anak
yang biasanya lebih akrab dengan anjingnya." Menurut pengalaman
Luther, hanya dngan cara begitu cukup banyak penduduk yang
merelakan anjingnya divaksinasi.
Karyawan Dinas Peternakan Tingkat I Sumatera Utara ini
kadang-kadang bahkan menerima tip dari pemilik anjing.
"Rata-rata Rp 300 per ekor," katanya terus-terang. Tugas yang
dilakukan selama 3 jam sehari itu tak jarang menghasilkan tip
sekitar Rp 3.000. "Lumayanlah untuk ongkos makan di jalan," ujar
ayah dari 6 orang anak itu.
Ancaman digigit anjing memang sering mengkhawatirkan Luther
dalam menjalankan tugasnya. Bulan lalu misalnya, di kawasan
Perumnas Helvetia, Medan, ia nyaris diserang anjing yang akan I
disuntiknya. "Mestinya para petugas seperti saya ini juga
divaksinasi anti-rabies untuk menjaga kemungkinan digigit anjing
gila," katanya. Kantornya tak membekali obat tersebut, "sedang
kalau beli di luar, mahal."
Suatu hari Luther Manurung gagal melaksanakan tugasnya. Ketika
hendak menyuntik, anjing yang bertubuh cukup besar dan galak itu
tiba-tiba lepas dari pegangan pemiliknya. Si pemilik lari,
karena takut melihat alat suntik. Luther tertawa terbahak-bahak
"Kali ini bukan anjing, tapi pemiliknya sendiri yang lari
ketakutan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini