Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Semua orang mesti mati, kata Imran

Pengadilan negeri jakarta pusat, menjatuhkan vonis mati bagi terdakwa imran bin muhammad zein. bertanggung jawab atas semua perbuatan jamaahnya. imran tidak kaget mendengar keputusan itu. (hk)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI tuntutan jaksa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis mati Imran bin Muhamnlad Zein. Orang yang pernah diangkat pengikutnya menjadi "imam" ini, juga tidak kaget mendengar keputusan itu. "Semua orang kan mesti mati, masalahnya apakah caranya diridhoi Allah," kata Imran sambil tertawa dan menepuk bahu para pembelanya. Ia memang tidak menangis lagi - seperti ketika membacakan pembelaannya - walau di antara pengunjung wanita ada yang meneteskan air mata sesaat setelah hakim mengetukkan palu. Imran sempat mendekati salah seorang wanita itu dan membicarakan sesuatu. Rupanya, wanita itu menyampaikan pesan: istri Imran tidak bisa menulis surat kepada suaminya, karena tak tahu alamatnya. Sebab itu satu-satunya permintaan Imran setelah dijatuhi hukuman mati Sabtu pekan lalu itu, hanyalah diberi alamat istrinya, dan sebaliknya alamat Imran ditahan diberitahukan kepaaa istrinya. Selama tiga jam Majelis Hakim yang diketuai Soebandi menguraikan kembali semua kesalahan Imran. Mulai dari kotbah-kotbahnya yang menurut hakim bisa menimbulkan perpecahan dan keguncangan di masyarakat, sampai ke tindak kekerasan yang dilakukan jamaahnya. Walaupun Imran membantah memerintahkan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota jamaah yang "membelot", seperti Dr. Syamsuddin, Suyono dan Koptu Najamuddin, majelis tetap menganggap Imran -- sebagai sang "Imam"--tidak dapat mlepaskan tanggungJawabnya. Ada Maling Penyerangan pos polisi Cicendo yang dipimpin anggota jamaah, Salman Hafidz, dan menyebabkan tiga orang polisi gugur, dikatakan hakim tidak terlepas dari kotbah-kotbah Imran sebelumnya. Sebab dalam kotbah itu Imran memerintahkan anak buahnya mencari senjata. Realisasinya: penyerangan pos polisi Cicendo itu. Bahkan ucapan-ucapan dalam kotbah itu, misalnya, "mengatakan Suharto dengan Kang Harto Jabotabek atau Adam Malik menjadi Ada Maling," jelas merongrong kekuasaan pemerintah yang sah," kata Hakim Soebandi yang disambut riuh oleh tawa sekitar 300 pengunjung. Puncak dari semua perbuatan penglkutnya dan menjadi tanggungjawab Imran itu, disebutkan hakim adalah pembajakan pesawat Garuda "Woyla" yang berhasil digagalkan di Don Muang, Bangkok. Tapi pembajakan itu telah menyebabkan gugurnya seorang prajurit TNI Ahmad Kirang dan pilot Herman Rante. Hakim menganggap, peristiwa pembajakan itu direncanakan Imran bersama anggota-anggota intinya. Semua perbuatan Imran itu dinilai majelis hakim mempunyai suatu tujuan, yaitu hendak mengubah ideologi negara Pancasila dan mnggulingkan pemerintah Suharto. Adapun nl(ltivasi yang dikatakan Imran, "mendallului tindakan orang-orang yang akan menindas umat Islam," tidak dianggap majelis mengurangi kesalahan sang "Imam". Dokumen CSIS Dalam pembelaannya Imran menvebutkan, semua tindakannya itu terpaksa dilakukannya karena ia tidak mau mati konyol. Sebab katanya, dalam dokumen dari CSIS (lembaga pengkajian studi-studi strategis internasional, "kami orang Islam akan dilindas setelah Pemilu ]982." (TEMPO, Z7 Februari 1982). Dokumen yang kata Imran didapatnya dari saksi Ishak Juarsa itu juga berisi rencana untuk menyingkirkan orangorang Islam dari pemerintahan. Majelis hakim juga tidak dapat mencrlma alasan pembela Abdurahman Saleh, yang menganggap kasus Imran itu sebagai kasus Najamuddin. Pembela dalam pleidoinya mempersoalkan, Najamuddin dicurigai sebagai intel dari pihak pemerintah. Najamuddin pula yang dituduh oleh Imran, sebagai orang yang merencanakan penyerangan pos polisi Cicendo untuk mendapatkan senjata. Anggota yang juga ikut mencari senjata ke Jawa Timur ini, kemudian dicurigai anggota yang lain,karena tidak ditangkap setelah penyerangan itu. "Padahal yang lainnya, termasuk Salman, ditangkapi," ujar Imran. Sebab itu pula Najamuddin kemudian dibunuh oleh kelompok Imran, di rumah sang "Imam" di Jakarta. Suasana persidangan terasa mcncckam ketika majelis hakim sampai ke detik-detik putusannya. "Kami memutuskan hukuman mati," kata Hakim Soebandi sambil mengetukkan palu tiga kali. Imran termangu di kursinya. Serentak dengan itu beberapa orang petugas keamanan mengelilingi sang "Imam:' Imran sendiri, kelihatan tenang. Scbelum ia memberikan tanggapannya, Majelis hakim menskors sidang selama 2 menit. Ketika sidang dibuka kembali, hakim mengingatkan Imran agar tenang "Saya tenang Pak Hakim," tukas Imran. "Ya, ya saya tahu Saudara tenang, dan apa tanggapan Saudara?" tanya Hakim Soebandi. Imran yang Juli nanti genap berusia 32 tahun, menyatakan butuh waktu seminggu untuk berpikir. "Sebenarnya saya sarankan la sekarang menolak dulu putusan itu, walau nanti misalnya dia berpendapat lain," ujar seorang pembela seperti menyesali sikap kliennya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus