SEPERTI tuntutan jaksa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat memvonis mati Imran bin Muhamnlad Zein. Orang yang
pernah diangkat pengikutnya menjadi "imam" ini, juga tidak
kaget mendengar keputusan itu. "Semua orang kan mesti mati,
masalahnya apakah caranya diridhoi Allah," kata Imran sambil
tertawa dan menepuk bahu para pembelanya.
Ia memang tidak menangis lagi - seperti ketika membacakan
pembelaannya - walau di antara pengunjung wanita ada yang
meneteskan air mata sesaat setelah hakim mengetukkan palu. Imran
sempat mendekati salah seorang wanita itu dan membicarakan
sesuatu. Rupanya, wanita itu menyampaikan pesan: istri Imran
tidak bisa menulis surat kepada suaminya, karena tak tahu
alamatnya. Sebab itu satu-satunya permintaan Imran setelah
dijatuhi hukuman mati Sabtu pekan lalu itu, hanyalah diberi
alamat istrinya, dan sebaliknya alamat Imran ditahan
diberitahukan kepaaa istrinya.
Selama tiga jam Majelis Hakim yang diketuai Soebandi menguraikan
kembali semua kesalahan Imran. Mulai dari kotbah-kotbahnya yang
menurut hakim bisa menimbulkan perpecahan dan keguncangan di
masyarakat, sampai ke tindak kekerasan yang dilakukan jamaahnya.
Walaupun Imran membantah memerintahkan pembunuhan-pembunuhan
terhadap anggota jamaah yang "membelot", seperti Dr. Syamsuddin,
Suyono dan Koptu Najamuddin, majelis tetap menganggap Imran --
sebagai sang "Imam"--tidak dapat mlepaskan tanggungJawabnya.
Ada Maling
Penyerangan pos polisi Cicendo yang dipimpin anggota jamaah,
Salman Hafidz, dan menyebabkan tiga orang polisi gugur,
dikatakan hakim tidak terlepas dari kotbah-kotbah Imran
sebelumnya. Sebab dalam kotbah itu Imran memerintahkan anak
buahnya mencari senjata. Realisasinya: penyerangan pos polisi
Cicendo itu. Bahkan ucapan-ucapan dalam kotbah itu, misalnya,
"mengatakan Suharto dengan Kang Harto Jabotabek atau Adam Malik
menjadi Ada Maling," jelas merongrong kekuasaan pemerintah yang
sah," kata Hakim Soebandi yang disambut riuh oleh tawa sekitar
300 pengunjung.
Puncak dari semua perbuatan penglkutnya dan menjadi
tanggungjawab Imran itu, disebutkan hakim adalah pembajakan
pesawat Garuda "Woyla" yang berhasil digagalkan di Don Muang,
Bangkok. Tapi pembajakan itu telah menyebabkan gugurnya seorang
prajurit TNI Ahmad Kirang dan pilot Herman Rante. Hakim
menganggap, peristiwa pembajakan itu direncanakan Imran bersama
anggota-anggota intinya.
Semua perbuatan Imran itu dinilai majelis hakim mempunyai suatu
tujuan, yaitu hendak mengubah ideologi negara Pancasila dan
mnggulingkan pemerintah Suharto. Adapun nl(ltivasi yang
dikatakan Imran, "mendallului tindakan orang-orang yang akan
menindas umat Islam," tidak dianggap majelis mengurangi
kesalahan sang "Imam".
Dokumen CSIS
Dalam pembelaannya Imran menvebutkan, semua tindakannya itu
terpaksa dilakukannya karena ia tidak mau mati konyol. Sebab
katanya, dalam dokumen dari CSIS (lembaga pengkajian studi-studi
strategis internasional, "kami orang Islam akan dilindas
setelah Pemilu ]982." (TEMPO, Z7 Februari 1982).
Dokumen yang kata Imran didapatnya dari saksi Ishak Juarsa itu
juga berisi rencana untuk menyingkirkan orangorang Islam dari
pemerintahan.
Majelis hakim juga tidak dapat mencrlma alasan pembela
Abdurahman Saleh, yang menganggap kasus Imran itu sebagai kasus
Najamuddin. Pembela dalam pleidoinya mempersoalkan, Najamuddin
dicurigai sebagai intel dari pihak pemerintah. Najamuddin pula
yang dituduh oleh Imran, sebagai orang yang merencanakan
penyerangan pos polisi Cicendo untuk mendapatkan senjata.
Anggota yang juga ikut mencari senjata ke Jawa Timur ini,
kemudian dicurigai anggota yang lain,karena tidak ditangkap
setelah penyerangan itu. "Padahal yang lainnya, termasuk Salman,
ditangkapi," ujar Imran. Sebab itu pula Najamuddin kemudian
dibunuh oleh kelompok Imran, di rumah sang "Imam" di Jakarta.
Suasana persidangan terasa mcncckam ketika majelis hakim sampai
ke detik-detik putusannya. "Kami memutuskan hukuman mati," kata
Hakim Soebandi sambil mengetukkan palu tiga kali. Imran termangu
di kursinya. Serentak dengan itu beberapa orang petugas keamanan
mengelilingi sang "Imam:' Imran sendiri, kelihatan tenang.
Scbelum ia memberikan tanggapannya, Majelis hakim menskors
sidang selama 2 menit. Ketika sidang dibuka kembali, hakim
mengingatkan Imran agar tenang "Saya tenang Pak Hakim," tukas
Imran. "Ya, ya saya tahu Saudara tenang, dan apa tanggapan
Saudara?" tanya Hakim Soebandi. Imran yang Juli nanti genap
berusia 32 tahun, menyatakan butuh waktu seminggu untuk
berpikir. "Sebenarnya saya sarankan la sekarang menolak dulu
putusan itu, walau nanti misalnya dia berpendapat lain," ujar
seorang pembela seperti menyesali sikap kliennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini