Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sumbangan untuk kontestan keempat ?

Posko enam-enam tidak membantu kontestan ke-2, golput yang sama berjuang untuk memenangkan sesuatu dalam pemilu. golput tidak diizinkan ikut kampanye, juga dilarang menerima sumbangan dalam bentuk apapun.

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGSA kita memang pandai mengalihkan arti suatu istilah yang sudah baku. Lihat saja kata 'kontestan pemilu', yang diartikan ketiga peserta dalam pemilihan umum 1982 ini: Golkar, PDI dan PPP (disusun berdasar prioritas abjad, bukan nomor undian). Padahal menurut pengertian Islinya, kontestan adalah mereka yang berlawanan merebut, kemenangan terakhir dalam pertandingan. Di negeri ini, menurut tatakrama Demokrasi Pancasila, pola seperti itu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Mau menang sendiri, dengan mengalahkan orang lain. Kalau itu musuh politik, dapat dibenarkan. Golkar, PDI dan PPP 'kan tidak demikian. Mereka kan "partner dalam kehidupan politik". Bukan musuh. Karenanya, tujuan yang dianggap sesuai dengan tatakrama Demokrasi Pancasila adalah "menarik suara sebanyak-banyaknya untuk mensukseskan pembangunan nasional". Kalau sampai Golkar menang mutlak, mendapat di atas 60% kursi DPR, itu bukan menang, melainkan hanya "memperoleh kepercayaan rakyat". Tidak penting dengan cara apa "kepercayaan" itu diperoleh. Itu urusannya sejarawan tiga atau empat puluhan tahun lagi--itu pun kalau mereka mendapat catatan lapangan yang diperlukan untuk membuat kesimpulan. Nah, dengan cara perubahan arti elemen-elemen yang membentuk proses yang bernama pemilu itu, berubah pulalah arti kata kontestan. Bukan arti semula yang menunjukkan sikap kompetitif, dan kalau perlu sedikit "keras", melainkan arti kesertaan. Dus kontestan sama dengan peserta. Setidak-tidaknya yang dimaui Panitia Pemilu Indonesia dan Kopkamtib: aman, tertib, tenang dan damai (ATTD). Ketiga kontestan itu. Lah yang harus menjadi tolok ukur sudah demokratis atau tidaknya pemilu berlangsung. Bukan proses jalannya pemilu itu sendiri. Putih Mangkak Di sunilah rombongan gelandangan politik yang bernama Fosko Enam-enam (dihurufkan, kalau pakai angka takut dibaca Anem-anem) muncul dengan gagasannya yang cemerlang: bersedia membantu semua kontestan pemilu. Dinyatakan kesediaan itu melalui media massa, seperti dimuat dalam koran (putih-mangkak berlogo merah, bukan kuning seperti didakwakan Prof. Sumitro Djojohadikusumo dahulu) Merdeka 3 Maret yang lalu. Unik juga. Di samping pemerintah (yang nyumbang kendaraan dan uang biaya kampanye), ternyata Fosko Enamenam satu-satunya lembaga kemasyarakatan yang menyuarakan bantuan dan perlakuan sama terhadap ketiga "kontestan". Padahal titik berangkatnya berlainan. Kalau pemerintah, melalui doktrin "keikutsertaan sebagai tolok ukur demokrasi, bukan prosesnya", memberi perlakuan dan bantuan sempa kepada ketiga "kontestan" agar tidak bersaing tajam, Fosko Enam-enam justru sebaliknya. Fosko menghendaki tema-tema baru - yang kalau diikuti semua "kontestan", justru akan menyemarakkan suasana menghangatkan suhu dan membisingkan telinga kita: semuanya harus merasa benar-benar setaraf dan sama berhak atas kemenangan. adahal langkanya kedua hal itulah yang justru membuat pemilu kita di masa Orde Baru ini (sejauh ini dari 1971 hingga 1981) benar-benar sesuai dengan asas ATTD di atas. Nah, kalau diikuti logika dan keinginan Fosko ini, seharusnya diberikan juga bantuan kepada "kontestan" keempat. Yaitu kelompok gelandangan bernama Golput (dulu berarti putih, kini berubah menjadi putus harapan). Kelompok terakhir ini dalam dunia spion melayu dijuluki OTB (Organisasi Tanpa Bentuk). Karena tidak punya potongan, lokasi dan cara kerja yang jelas. Kecuali kejengkelan terhadap keadaan, tidak ada yang membuat mereka sama, di luar hal-hal biologis. tentunya. Yang perlu dipersoalkan adalah status mereka: mengapa dinamai kontestan? Ternyata sebabnya mudah saja: mereka juga berjuang untuk memenangkan sesuatu dalam pemilu. Kalau ketiga kontestanlain ingin menyuarakan aspirasi kongkrit melalui proses kampanye pemilu, orang-orang Golput (dalam artian hampir-hampir putus nyawa) juga ingin menyuarakan aspirasi mereka melalui forum yang sama. Sayang mereka tidak- diperkenankan turut kampanye. Nah, kalau Fosko Enam-enam ingin mensukseskan Pemilu 1982 secara sunguh-sungguh, sebenarnya ia haruslah juga memberikan sumbangan tema dan tenaga kepada Golput. Entah lagi kalau Golput (yang kini berstatus putus hubungan) juga dilarang menerima sumbangan dalam bentuk apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus