Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mestinya orang yang bersih

Suka duka para penjaga rumah ibadah. mulai dari masjid & kelenteng. darman, bekerja di masjid jami banjarmasin & tan seng hen penjaga kelenteng tjoe seng kiong. (sd)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang memukul bedug itu? Darman, Bapak dari 3 orang anak yang sudah lebih dari 40 tahun bekerja di Masjid Jami Banjarmasin. Di antara 6 orang sejawatnya, Darman termasuk orang setia. Bagaimana ia mendapatkan kesetiaan mengingat pendapatan mingguan yang dibayarkan mesjid hanya Rp 2500, agaknya lebih merupakan alasan demi kepuasan rohani belaka. Ia tidak sependapat kalau dipanggil sebagai "pemukul bedug". Baginya lebih pantas disebut "kaum" atau "modin". Sejak 15 tahun terakhir ini, memang bukan ia saja yang melayani bedug. Tapi ada 6 orang yang kini bertugas mengasuh kebersihan Masjid Jami' - yang termasuk barisan masjid paling tua. Darman tidak hanya diharuskan memperhatikan keresikan tempat ibadah itu, tapi juga sekaligus mengamat-amati waktu lewat jam dinding. Katakanlah, inilah orangnya yang selalu paling dulu tahu saat mana para jamaah harus sudah ada di masjid untuk bersembahyang. Tuhan Bijaksana "Saya selalu sembahyang sunat dulu," ujar Darman pada Syahran dari TEMPO . Setelah itu ia baru tenteram mendekati bedug untuk memukulnya bertalu-talu. Kalau anda punya perhatian terhadap dunia bedug, tentu gampang membedakan mana bedug lohor dan bedug magrib. Lebih-lebih dengan pukulan bedug di hari lebaran. "Jauh berbeda, masing-masing ada iramanya," kata Darman yang kini berusia 69 tahun. Memang sekarang ini banyak tampil pemukul bedug muda yang asal dug-dug saja. Kadangkala sama sekali tanpa perasaam "Mereka memukulnya terlampau gancang dan akibatnya bedug cepat rusak atau pecah," kata Darman. Jadi d samping mengingatkan waktu, Darman juga berusaha memelihara usia bedug. Setelah orang-orang selesai sembahyang, ia meninggalkan bedug, mengambil air untuk ngepel. Tak jarang sesudah itu ia tampak di halaman membawa cangkul mengikis rerumputan. Menurut Darman, Tuhan Maha Adil serta bijaksana. Kenapa Pendapatan kecil yang diberikan masjid kepadanya, memang kurang cukup untuk menyambung nafas anak beranak di bawah perlindungannya. Tapi setiap hari ada-ada saja orang yang mati. Dari jumlah kematian yang tak putus-putusnya ini, paling tidak setiap minggu Darman dapat bagian satu atau dua mayat untuk dimandikan fardhu kifayah. Untuk setiap mayat paling tidak ia dapat Rp 500. "Kalau yang mati kebetulan orang kaya, saya bisa dapat Rp 1000 atau lebih," kata Darman. Lumrah atau tidak lumrah, tapi kenyataan bahwa kematian orang lain menjadi sumber penghidupan Darman. Untuk membayar Darman dan kawan-kawan yang Rp 2.500 seminggu tiap orang itu, masjid berarti harus menyediakan Rp 15 ribu per-minggu. Untuk mendapatkan jumlah ini, masjid mengusahakan celengan yang diedarkan pada para jamaah pada hari Jum'at. Tentu saja ada yang tidak setuju mengapa sistim celengan ini diterapkan. Darman hanya tidak setuju kalau pengedaran celengan itu disebut sebagai "pungli". Saya tidak mengerti apa itu pungli," katanya. Penghidupan Darman sekeluarga kalau mau terang-terangan sebetulnya tidak hanya tergantung pada celengan masjid. Dua orang anak Darman sekarang di SMA. Yang bungsu, seorang gadis juga akan dimasukkan ke PGA. Ini cukup menjelaskan bahwa masjid saja tak: bisa diandalkan. Di sinilah peranan isterinya sebagaimana Juga isteri rakaat kecil umumnya di desa. Isterinya tidak hanya menjadi budak di dapur, tapi juga produktip. Ia sepefti wanita-wanita desa yang lain adalah wanita pekerja. Dengan mengusahakan sebuah warung kecil, ialah yang mengurus kepentingan sekolah anak-anak. "Jadi saya tak turut campur soal itu," ujar Darman terus terang. Gerilya Mengapa Darman mengabdi pada masjid, dapat dipengerti karena pada mulanya ia guru agama. Itu zaman Jepang. Waktu datang Belanda sekolahnya dibubarkam Darman berhenti jadi guru, lantas masuk organisasi politik pimpinan Hassan Basri (sekarang Pamen di Hankam) yang bernama: Barisan Indonesia (Bindo). Ia ikut bergerilya dalam belukar sampai Indonesia merdeka. Setelah merdeka, ia tak tahu harus kerja apa. Sekolahnya tetap bubar. Ia juga tidak jadi tentara sehingga namanya tidak terdaftar sebagai veteran. Bimbang karena kemelut ini, Darman mengarahkan kakinya ke Masjid Jami'. Ia sembahyang di sana minta petunjuk. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumahnya di Jalan Sungai Jingah. Iak dinyana di tengah jalan ia melihat orang main orkes gambus. Darman tertegun lama sekali memperhatikan alat gambus itu. Dalam hatinya muncul sesuatu. Sampai di rumah lelaki ini iseng-iseng membuat gambus. Ternyata, berhasil. Anehnya buatannya itu termasuk joto alias bagus. Cepat saja ia dikenal sebagai pembuat instrumen gambus-gitar. Sejak Itu Darman yang dulu guru agama menjadi pembuat dan penjual gambus. Sayang sekali pendapatan pembikin gambus kurang memadai.Ia cepat menyulap dirinya jadi tukang bangunan. Darman sempat menjadi salah seorang pekerja bangunan sekolah di kompleks Mulawarman yang terkenal itu. Tapi entah kenapa ini juga tidak bisa kekal. "Yah kurang enak," ujar Darman. Iapun berhenti. Maka bertambah lagi barisan penganggur waktu itu. Tapi dasar ada tanggung jawab, Darman tak bisa diam-diam terus. Hatinya gelisah. Ia merasa diuber-uber. Sedang panik-paniknya itu ia kembali ke Masjid Jami'. Nah di sinilah anehnya lagi - setidak-tidaknya menurut perasaan Darman. "Hati saya selalu merasa damai dan tenteram saban kali berada di masjid itu," ujarnya. Sejak itulah ia mengambil keputusan penting yang tak pernah berubah sampai sekarang. Matok di masjid dan membiarkan gelar "kaum" menjadi tembok terakhir dalam hidupnya. Kelenteng Pengabdian Darman berbeda dengan apa yang dialami oleh Tan. Tan Seng len, kakek yang sekarang berusia 67 tahun, hidup di Jalan Veteran Panjar masin, memang bukan tukang pukul bedug. Ia penunggu kelenteng Toapekong "Tjoe Seng Kiong" sejak tahun 1970. Pengabdiannya sebagai penjaga rumah ibadah hukan atas dasar panggilan jiwa, wangsit dan sebagainya. Sederhana saja. Untuk menyambung hidup, karena tak ada lagi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuhnya. "Saya dulu dagang," kata Tan, sambil membayangkan sebuah toko di Ujung Murung. "Lha, lantas terbakar amblas," sambungnya kemudian dengan sedih. Pengurus kelenteng kemudian mengincarnya untuk mengelola kelenteng. Kebetulan petugas sebelumnya adalah iparnya sendiri yang kini sudah sangat lapuk. Tan yang sejak semula bercita-cita jadi pedagang, sempat menolak. Alasannya karena merasa tidak sanggup, atau mungkin juga idealisme berbeda. Tapi coba bayangkan, menjaga kelenteng memang bukan pekerjaan yang gampang. Harus selalu siap sewaktu-waktu berhadapan dengan malilng. "Di sini banyak benda-benda bersejarah, patung-patung dan alat-alat untuk sembahyang," kata Tan. Bukan itu sala. Maling-maling juga ngiler untuk nyabet barang-barang kecil, seperti minyak goreng yang disumbangkan oieh mereka yang menunaikan ibadahnya di sana. Minyak tersebut amat berguna untuk kelenteng. Yaitu untuk menghidupkan lampu yang harus terus-menerus menyala. Tidak boleh padam. Jadi kalau Tan akhirnya menjaga kelenteng juga jelas bukan karena imbalannya besar. "Hanya, kita olang di sini susah dapat duit," kata Tan yang pasang nama pribumi Sunardi Tanur. Ia jauh lebih miskin dari Darman. Hanya menerima dua sampai tiga ribu perak setiap bulan. Itupun sudah ditunjang dengan usaha sendiri jualan hio untuk umat yang datang. Keuntungan menjual hio lumayan, Rp 25 per-batang. Tapi hio jarang sekali laku. Umat yang datang rata-rata sudah membekali dirinya dengan hio. "Lebih-lebih kalau yang datang sembahyang perempuan, mereka pelit sekali," kata Tan sedih. Sembahyang Tuhan Kesibukan rutin si Tan ini, selain membersihkan kelenteng juga membantu memberikan petunjuk orang yang sembahyang. Kerepotannya mencapai klimaks menjelang tahun baru. Di bulan Januari ada hari yang dikenal oleh umatnya sebagai hari "Kwan Un Po Sat" atawa hari "Sembahyang Tuhan". Waktu itulah wajah lelaki tua ini kembali cerah. Sama cerahnya dengan hari-hari besar lainnya seperti hari "Kwan lem Co". "Hok Tek Cin Sin", "Kwan Te Ya,' "Thian Siang Leng" dan "Coe Seng Nio-nio". Pada hari-hari itu nasibnya sedikit berubah dalam soal duit. "Sayang," kata Tan, "hari semacam itu hanya terjadi setahun sekali. Setelah itu keadaan kelenteng kembali sunyi. Ini bedanya dengan orang Islam." Ia berani bicara soal Islam, karena isterinya orang Islam. Orang Banjar tapi statusnya hanya isteri kedua. Tan ini tua-tua tapi boleh juga. Perkawinannya mungkin disebabkan karena isterinya yang pertama orang Cina tak membuahkan anak. Sekarang ia punya anak sudah, masih di kelas V SD. Kedua isteri itu sama sekali tidak bersandar kepadanya. Jadi kalau ia selalu memikirkan duit-duit terus, mungkin karena darah dagangnya masih mendidih. Padahal isteri mudanya cukup produktip, punya warung dan jualan kue. Sekarang Tan sudah mulai menyatu dengan kelenteng. Mungkin di sana ia banyak menerima, apa yang tak mungkin ditemukannya seandainya ia terus menjadi pedagang dan pemilik toko. "Semestinya yang menjaga kelenteng itu orang yang benar-benar bersih," kata Tan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus