SIAPA yang memukul bedug itu? Darman, Bapak dari 3 orang anak
yang sudah lebih dari 40 tahun bekerja di Masjid Jami
Banjarmasin. Di antara 6 orang sejawatnya, Darman termasuk orang
setia. Bagaimana ia mendapatkan kesetiaan mengingat pendapatan
mingguan yang dibayarkan mesjid hanya Rp 2500, agaknya lebih
merupakan alasan demi kepuasan rohani belaka.
Ia tidak sependapat kalau dipanggil sebagai "pemukul bedug".
Baginya lebih pantas disebut "kaum" atau "modin". Sejak 15 tahun
terakhir ini, memang bukan ia saja yang melayani bedug. Tapi
ada 6 orang yang kini bertugas mengasuh kebersihan Masjid Jami'
- yang termasuk barisan masjid paling tua. Darman tidak hanya
diharuskan memperhatikan keresikan tempat ibadah itu, tapi juga
sekaligus mengamat-amati waktu lewat jam dinding. Katakanlah,
inilah orangnya yang selalu paling dulu tahu saat mana para
jamaah harus sudah ada di masjid untuk bersembahyang.
Tuhan Bijaksana
"Saya selalu sembahyang sunat dulu," ujar Darman pada Syahran
dari TEMPO . Setelah itu ia baru tenteram mendekati bedug untuk
memukulnya bertalu-talu. Kalau anda punya perhatian terhadap
dunia bedug, tentu gampang membedakan mana bedug lohor dan bedug
magrib. Lebih-lebih dengan pukulan bedug di hari lebaran. "Jauh
berbeda, masing-masing ada iramanya," kata Darman yang kini
berusia 69 tahun.
Memang sekarang ini banyak tampil pemukul bedug muda yang asal
dug-dug saja. Kadangkala sama sekali tanpa perasaam "Mereka
memukulnya terlampau gancang dan akibatnya bedug cepat rusak
atau pecah," kata Darman. Jadi d samping mengingatkan waktu,
Darman juga berusaha memelihara usia bedug.
Setelah orang-orang selesai sembahyang, ia meninggalkan bedug,
mengambil air untuk ngepel. Tak jarang sesudah itu ia tampak di
halaman membawa cangkul mengikis rerumputan.
Menurut Darman, Tuhan Maha Adil serta bijaksana. Kenapa
Pendapatan kecil yang diberikan masjid kepadanya, memang kurang
cukup untuk menyambung nafas anak beranak di bawah
perlindungannya. Tapi setiap hari ada-ada saja orang yang mati.
Dari jumlah kematian yang tak putus-putusnya ini, paling tidak
setiap minggu Darman dapat bagian satu atau dua mayat untuk
dimandikan fardhu kifayah. Untuk setiap mayat paling tidak ia
dapat Rp 500. "Kalau yang mati kebetulan orang kaya, saya bisa
dapat Rp 1000 atau lebih," kata Darman. Lumrah atau tidak
lumrah, tapi kenyataan bahwa kematian orang lain menjadi sumber
penghidupan Darman.
Untuk membayar Darman dan kawan-kawan yang Rp 2.500 seminggu
tiap orang itu, masjid berarti harus menyediakan Rp 15 ribu
per-minggu. Untuk mendapatkan jumlah ini, masjid mengusahakan
celengan yang diedarkan pada para jamaah pada hari Jum'at. Tentu
saja ada yang tidak setuju mengapa sistim celengan ini
diterapkan. Darman hanya tidak setuju kalau pengedaran celengan
itu disebut sebagai "pungli". Saya tidak mengerti apa itu
pungli," katanya.
Penghidupan Darman sekeluarga kalau mau terang-terangan
sebetulnya tidak hanya tergantung pada celengan masjid. Dua
orang anak Darman sekarang di SMA. Yang bungsu, seorang gadis
juga akan dimasukkan ke PGA. Ini cukup menjelaskan bahwa masjid
saja tak: bisa diandalkan. Di sinilah peranan isterinya
sebagaimana Juga isteri rakaat kecil umumnya di desa. Isterinya
tidak hanya menjadi budak di dapur, tapi juga produktip. Ia
sepefti wanita-wanita desa yang lain adalah wanita pekerja.
Dengan mengusahakan sebuah warung kecil, ialah yang mengurus
kepentingan sekolah anak-anak. "Jadi saya tak turut campur soal
itu," ujar Darman terus terang.
Gerilya
Mengapa Darman mengabdi pada masjid, dapat dipengerti karena
pada mulanya ia guru agama. Itu zaman Jepang. Waktu datang
Belanda sekolahnya dibubarkam Darman berhenti jadi guru, lantas
masuk organisasi politik pimpinan Hassan Basri (sekarang Pamen
di Hankam) yang bernama: Barisan Indonesia (Bindo). Ia ikut
bergerilya dalam belukar sampai Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, ia tak tahu harus kerja apa. Sekolahnya tetap
bubar. Ia juga tidak jadi tentara sehingga namanya tidak
terdaftar sebagai veteran. Bimbang karena kemelut ini, Darman
mengarahkan kakinya ke Masjid Jami'. Ia sembahyang di sana
minta petunjuk. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumahnya di
Jalan Sungai Jingah. Iak dinyana di tengah jalan ia melihat
orang main orkes gambus. Darman tertegun lama sekali
memperhatikan alat gambus itu. Dalam hatinya muncul sesuatu.
Sampai di rumah lelaki ini iseng-iseng membuat gambus. Ternyata,
berhasil. Anehnya buatannya itu termasuk joto alias bagus. Cepat
saja ia dikenal sebagai pembuat instrumen gambus-gitar. Sejak
Itu Darman yang dulu guru agama menjadi pembuat dan penjual
gambus. Sayang sekali pendapatan pembikin gambus kurang
memadai.Ia cepat menyulap dirinya jadi tukang bangunan. Darman
sempat menjadi salah seorang pekerja bangunan sekolah di
kompleks Mulawarman yang terkenal itu. Tapi entah kenapa ini
juga tidak bisa kekal. "Yah kurang enak," ujar Darman. Iapun
berhenti.
Maka bertambah lagi barisan penganggur waktu itu. Tapi dasar ada
tanggung jawab, Darman tak bisa diam-diam terus. Hatinya
gelisah. Ia merasa diuber-uber. Sedang panik-paniknya itu ia
kembali ke Masjid Jami'. Nah di sinilah anehnya lagi -
setidak-tidaknya menurut perasaan Darman. "Hati saya selalu
merasa damai dan tenteram saban kali berada di masjid itu,"
ujarnya. Sejak itulah ia mengambil keputusan penting yang tak
pernah berubah sampai sekarang. Matok di masjid dan membiarkan
gelar "kaum" menjadi tembok terakhir dalam hidupnya.
Kelenteng
Pengabdian Darman berbeda dengan apa yang dialami oleh Tan. Tan
Seng len, kakek yang sekarang berusia 67 tahun, hidup di Jalan
Veteran Panjar masin, memang bukan tukang pukul bedug. Ia
penunggu kelenteng Toapekong "Tjoe Seng Kiong" sejak tahun 1970.
Pengabdiannya sebagai penjaga rumah ibadah hukan atas dasar
panggilan jiwa, wangsit dan sebagainya. Sederhana saja. Untuk
menyambung hidup, karena tak ada lagi pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan tubuhnya.
"Saya dulu dagang," kata Tan, sambil membayangkan sebuah toko di
Ujung Murung. "Lha, lantas terbakar amblas," sambungnya kemudian
dengan sedih. Pengurus kelenteng kemudian mengincarnya untuk
mengelola kelenteng. Kebetulan petugas sebelumnya adalah iparnya
sendiri yang kini sudah sangat lapuk. Tan yang sejak semula
bercita-cita jadi pedagang, sempat menolak. Alasannya karena
merasa tidak sanggup, atau mungkin juga idealisme berbeda. Tapi
coba bayangkan, menjaga kelenteng memang bukan pekerjaan yang
gampang. Harus selalu siap sewaktu-waktu berhadapan dengan
malilng.
"Di sini banyak benda-benda bersejarah, patung-patung dan
alat-alat untuk sembahyang," kata Tan. Bukan itu sala.
Maling-maling juga ngiler untuk nyabet barang-barang kecil,
seperti minyak goreng yang disumbangkan oieh mereka yang
menunaikan ibadahnya di sana. Minyak tersebut amat berguna untuk
kelenteng. Yaitu untuk menghidupkan lampu yang harus
terus-menerus menyala. Tidak boleh padam. Jadi kalau Tan
akhirnya menjaga kelenteng juga jelas bukan karena imbalannya
besar.
"Hanya, kita olang di sini susah dapat duit," kata Tan yang
pasang nama pribumi Sunardi Tanur. Ia jauh lebih miskin dari
Darman. Hanya menerima dua sampai tiga ribu perak setiap bulan.
Itupun sudah ditunjang dengan usaha sendiri jualan hio untuk
umat yang datang. Keuntungan menjual hio lumayan, Rp 25
per-batang. Tapi hio jarang sekali laku. Umat yang datang
rata-rata sudah membekali dirinya dengan hio. "Lebih-lebih kalau
yang datang sembahyang perempuan, mereka pelit sekali," kata Tan
sedih.
Sembahyang Tuhan
Kesibukan rutin si Tan ini, selain membersihkan kelenteng juga
membantu memberikan petunjuk orang yang sembahyang. Kerepotannya
mencapai klimaks menjelang tahun baru. Di bulan Januari ada hari
yang dikenal oleh umatnya sebagai hari "Kwan Un Po Sat" atawa
hari "Sembahyang Tuhan". Waktu itulah wajah lelaki tua ini
kembali cerah. Sama cerahnya dengan hari-hari besar lainnya
seperti hari "Kwan lem Co". "Hok Tek Cin Sin", "Kwan Te Ya,'
"Thian Siang Leng" dan "Coe Seng Nio-nio". Pada hari-hari itu
nasibnya sedikit berubah dalam soal duit. "Sayang," kata Tan,
"hari semacam itu hanya terjadi setahun sekali. Setelah itu
keadaan kelenteng kembali sunyi. Ini bedanya dengan orang
Islam."
Ia berani bicara soal Islam, karena isterinya orang Islam. Orang
Banjar tapi statusnya hanya isteri kedua. Tan ini tua-tua tapi
boleh juga. Perkawinannya mungkin disebabkan karena isterinya
yang pertama orang Cina tak membuahkan anak. Sekarang ia punya
anak sudah, masih di kelas V SD. Kedua isteri itu sama sekali
tidak bersandar kepadanya. Jadi kalau ia selalu memikirkan
duit-duit terus, mungkin karena darah dagangnya masih mendidih.
Padahal isteri mudanya cukup produktip, punya warung dan jualan
kue.
Sekarang Tan sudah mulai menyatu dengan kelenteng. Mungkin di
sana ia banyak menerima, apa yang tak mungkin ditemukannya
seandainya ia terus menjadi pedagang dan pemilik toko.
"Semestinya yang menjaga kelenteng itu orang yang benar-benar
bersih," kata Tan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini