KAHLID, nelayan dari desa Mantang, Riau, yang berusia 44 tahun,
dapat penghargaan dari pemerintah.Tapi bukan sebagai nelayan.
Penghargaan yang diberikan tahun lalu dalam wujud uang tunai Rp
250 ribu itu, adalah untuk jasa Kahlid dalam membina teater
rakyat setempat yang bernama Makyong. Sementara Makyong sendiri
sedang sekarat.
Makyong pernah muncul di teater arena TIM tahun 1975 sebagai
tontonan yang amat sederhana dan mengandung rangkaian upacara
rituil. Nasibnya sangat rawan sekarang. "Sudah di liang lahat,"
keluh seorang pejabat di sana. Kekayaan yang tersimpan dalam
teater tersebut sebenarnya tidak kecil. Kalau Makyong keburu
lenyap, berarti sebuah tamhang teater pribumi yang sudah ada
akan ngelayut sia-sia.
TV Malaysia
Setelah menikmati hadiah yang dianggapnya sebagai durian runtuh,
Kahlid yang agak kaya dan agak mendadak itu, ikut berkecil hati.
Makyong memang pernah digugah, ditegakkan, ramai-ramai
ditonjolkan ke Jakarta. Tapi lewat perlawatan yang hanya satu
hal itu, selanjutnya kembali dilupakan lagi seperti Isteri tua
yang sudah tidak berguna. Alasan satu-satunya untuk
penyia-nyiaan ini, adalah karena sebagian besar pendukungnya
tinggal berserakan. Di samping sulit dikumpulkan, mereka juga
sudah uzur dan tua bangka. Terutama pemain-pemain wanitanya
sudah semua jadi nenek. Kondisinya rata-rata setengah pikun.
Salah satu teras pendukung Makyong disebut "panjak" atau
pimpinan rombongan. Panjak Wak Hamzah yang berusia 62 tahun,
yang seharusnya lebih berhak menerima anugerah, kini juga sudah
tiada Dialah orangnya yang sampai akhir hayatnya betul-betul
setia membela Makyong. Iini 5 dari 12 pendukungnya yang masih
hidup, rasanya tak akan mungkin lagi main lenggang-lenggok.
Sebagaimana pernah disaksikan di TIM tahun 1975, ada di
antaranya yang menguap-nguap selama pertunjukan berlangsung.
Ada yang melonjak kelatahan begitu ada kejutan. Ada juga yang
kaget kena byar lampu blitz.. Mereka semua memerlukan
pengganti. Tapi tidak ada kader.
Makyong tidak punya ladang pembibitan. Ini berbeda dengan
kesenian bernama Mendu yang memiliki generasi penerus sebagai
sama-sama teater rakyat, Mendu yang juga pernah tampil di TIM
tahun yang lalu, masih memiliki masyarakat untuk berpijak. Ia
didukung oleh massa pelajar dan pemuda di Sedanau, Ranai dan
Siantan. Makyong sendiri pernah memiliki massa seperti itu
sekitar 40 sampai 50 tahun yang lalu. Sayang sekali padahal
sebagai cikal bakal teater Makyong memiliki dasar yang kaya.
Kalau melihat pertunjukan yang pernah disuguhkan di TIM, Makyong
tidak hanya bersifat menghibur, tapi juga dilandasi upacara dan
kepercayaan setempat.
Kekhawatiran terhadap punahnya Makyong, menyebabkan pihak P&K
Riau berniat untuk mengadakan semacam penataran. T.api entah
kenapa gagasan tersebut kemudian hanya dipermainkan angin.
Sementara itu bila di tanah Makyong teater itu menghilang, di
Malaysia orang sedang mencoba menegakkannya. ampai kini,
minimal 3 bulan sekali orang bisa menikmati Makyong Kelantan
atau Trengganu lewat acara TV.Di sana ada usaha menghidupkan
Makyong, bukan hanya mendokumentasikan, menjadikannya inventaris
sejarah atau diskusi-diskusi saja.
Tapi bila setelah diusahakan begini begitu teater rakyat ini
ternyata tetap tak didukung masyarakat, ya sudahlah. Artinya
masyarakat perlu teater yang lain barangkali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini