DESA itu memang pernah terkenal.Tak cuma di Indonesia tapi juga
ke seluruh dunia. Tatkala Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda,
Syafruddin Prawiranegara yang mendapatkan mandat membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Idonesia (PDRI) di Sumatera,
memilih Desa Koto Tinggi, sebagai pusat PDRI. Dan desa yang
resminya menjadi ibukota pemerintahan darurat tanggal 22
Desember 1948 itu, juga merangkap ibukota Propinsi Sumatera
Tengah. Karena, Sutan Mochamad Kasyid,Gubernur Militer waktu
itu, turut bermarkas di sana.
Apa kabar Koto Tinggi sekarang? "Kami justru jadi terasing,
terjebak di pedalaman," ucap R.Dt.M. Basa, seorang tokoh desa
itu kepada Muchlis Sulin dari TEMPO. Desa bersejarah yang kini
hampir dilupakan orang itu memang terletak di daerah ketinggian
yang sulit dijangkau. Termasuk Kecamatan Suliki Gunung Mas, 43
Km di utara Payakumbuh itu dihubungkan oleh jalan yang parah.
Dari Payakumbuh, ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, sampai
Suliki yang berjarak 25 Km, meskipun penuh dengan lubang-lubang,
ada jalan yang agak lumayan Tapi dari kota kecamatan itu sampai
Koto Tinggi yang jaraknya cuma 18 Km, persis seperti jalan
jurusan Payakumbuh-Pakanharu tahun 60-an, walupun hanya
berjarak 18 Km. Mobil merangkak. Apalagi kalau musim hujan .
Tak jarang kendaraan terperosok masuk lumpur. Kalau sudah
begitu, penumpang pun terpaksa melanjutkan perjalanan dengan
jalan kaki. Waktu satu hari bisa habis untuk mencapai Suliki.
Dalam keadaan serupa itu maka warga desa yang berpenduduk hampir
enam ribu dari 8 jorong itu harus siap menderita. Untuk sampai
ke desa ini bahan-bahan kebutuhan pokok harus dipikul. Sebab
harga minyak tanah tiba-tiba naik jadi Rp 70 per-liter. Gula
garam, rokok, tiga kali lipat. Sebaliknya pendapatan penduduk
menurun. Misalnya harga kayu (bahan bangunan rumah), yang jadi
mata pcncaharian pokok penduduk di samping bertani di sawah,
hanya berharga Rp 500 tiap kubik. "Soalnya dengan apa mau dibawa
ke Payakumbuh," ujar A.Dt. Bandaro Mudo, Sekertaris Desa. Lebih
menyedihkan adalah bila penduduk tiba-tiba perlu dibawa ke rumah
sakit di Payakumbuh atau Bukittinggi. Taroklah hari panas dan
jalan cukup sering untuk dilewati, tapi untuk mencarter colt
misalnya dikenakan tarif sampai Rp 20 ribu.
Memang, yang diperlukan desa itu kini adalah sebuah jalan yang
baik. Sebab yang berkepentingan sebenarnya tidak cuma Koto
Tinggi. Tapi juga desa-desa lainnya seperti Kurai, Pandam Gadang
dan Talang Anau yang dikenal menghasilkan kayu, kulit manis dan
kopi. "Kami mengeluarkan tiap minggu lima ton kopi dari
desa-desa itu," kata seorang pedagang kopi di Payakumbuh. Belum
lagi ratusan kubik kayu. Dari segi ekonomi, seperti yang diakui
sekwilda kabupaten, drs M. Nursian, adanya jalan yang baik untuk
menghubungi desa itu bisa dipertanggungjawabkan.
Ingin Ditepati
Tapi bagi masyarakat Koto Tinggi masalah perlunya jalan yang
baik itu bukan hanya karena perimbangan ekonomi. Tapi juga
karena janji. anji itu diucapkan Sutan Mochamad Rasyid keika
meresmikan tugu PDRI pada tanggal 17 Agustus 1949. Atas nama
pemerintah, Gubernur Militer itu menegaskan bahwa bila keadaan
sudah memungkinkan, jalan ke Koto Tinggi akan diaspal. Bahkan
katanya, di sana juga akan dibangun pembangkit tenaga listrik.
"Jam 11 siang di depan tugu itu janji dikeluarkan. Seluruh warga
Koto Tinggi mendengar janji itu," ujar R.Dt.M. Basa, yang waktu
itu menjabat wali negeri. "Kami bukan minta jasa apa-apa. Kami
cuma ingin janji itu ditepati," tambah Ilyas Salim, bekas
Komandan Pertempuran Kecamatan Suliki zaman itu.
Kini, sudah hampir tigapuluh tahun, dana Inpres baru menyentuh
jalan sepanjang dua kilometer dari Koto Tinggi dan limakilometer
dari arah Suliki. Sisanya, 11 Km itulah yang sampai kini masih
terlantar. Ditaksir, biaya perbaikannya memerlukan lebih dari Rp
50 juta. "Dan itu perlu bantuan pusat secara khusus," ujar drs
Nursian. Ir H. Azwar Anas, Gubernur Sumbar, lewat
Humasnya,membenarkan Sekwilda 50 Kota itu. Gubernur Azwar
mengakui janji yang diucapkan Sutan Mochamad Rasyid itu,
merupakan janji pemerintah. Karena itu, gubernur-gubernur
berikutnya seharusnyalah mempunyai tanggungjawab moril untuk
menepatinya.
Pendapat gubernur itu nampaknya sesuai benar dengan jalan
pikiran Sutan Mochamad Rasyid sendiri. Bekas Gubernur Militer
Sumatera Tengah, yang kini tinggal di Jakarta itu tampaknya
memang merasa berhutang kepada rakyat Koto Tinggi. Katanya,
penduduk desa itu ketika PDRI sudah berkorban harta dan hatinya.
"Dan janji itu bukan janji Sutan Mochamad Rasyid pribadi, tapi
janji saya sebagai gubernur, sebagai orang pemerintah.
Sepantasnyalah pemerintah, siapapun gubernurnya, menepati janji
itu," katanya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini